bab 47.

2.3K 263 50
                                    

Lily mengambil tasnya dan berdiri, aku memakai masker, keluar tanpa masker dengan diriku yang sekarang, jangan harap pulang ke rumah dengan selamat. Orang-orang pasti akan berbondong-bondong mengerubungiku dan aku sendiri yang akan repot.

Aku akan mengantar Lily ke bandara, dia akan kembali ke Italia hari ini. Sebenarnya sejak tiga hari yang lalu dia terus-terusan merengek, mengatakan ingin lebih lama di sini. Aku juga sebenarnya tidak tega, tapi mau bagaimana. Dia meski kuliah.

Karena di sini sudah seperti rumah untuknya, jadi dia kembali ke Italia, hanya membawa satu tas ransel kecil, yang berisi ponsel dan beberapa barang pribadinya. Tidak ada koper atau tas besar berisi pakaian. Anak-anak punya banyak sekali pakaian di lemari di dalam kamarnya masing-masing, kadang kalau merasa tertarik aku biasa membelikan anak-anak pakaian kalau berkunjung ke mall.

"Ma ..." Lily memanggilku manja. Mukanya memberengut. Dari kemarin dia kesal tidak mau dipulangkan. "Satu hari lagi, ya." Mukanya penuh permohonan. Aku menatapnya tegas.

"Nanti kalo liburan semester kamu bisa pulang ke sini sepuasnya." Dia makin memberengut.

"Lamaaaa." Keluhnya.

"Mama akan usahakan berkunjung ke sana kalau gitu." Lily menghela nafas berat. Menyeret kakinya dan keluar apartemen. Aku tersenyum, menyusulnya dan merangkul pundaknya. Kucium pipinya. "Mama akan sering-sering ke sana." Dia hanya memberengut, tidak mengatakan apa-apa. Aku tertawa. "Kangen banget ya sama mama?." Dia mengangguk. Lalu memelukku. Aku tertawa kencang.

"Mama ! ." Lily berteriak.

***

Kami turun dari mobil begitu mobil sampai di bandara. Mukanya makin kesal. Dia benar-benar tidak ingin pulang. "Nanti kalo udah sampai sana kabari mama, ya." Lily mengangguk loyo. "Kalo manyun mukanya jadi jelek." Dia merubah mukanya jadi datar. Aku tertawa. "Kayak kita nggak bakal ketemu aja, ntar juga ketemu lagi, kak." Dia memelukku erat. Tangannya melingkari punggungku.

"Aku mau hidup sama mama selamanya. Masa sampe aku gede, sampai aku dewasa kita LDR terus. Aku juga mau di masakin mama setiap kali sarapan. Aku juga mau dibangunin mama kalo mau ngampus. Aku pengen kayak anak lainnya, hari-hari sama mamanya." Aku memeluknya tanpa bisa berkata apa-apa selain permintaan maaf.

"Kalo kamu pulang ke sini, kamu lihat mama tiap hari."

"Aku bingung sebenarnya rumahku di mana?."

"Rumah kamu banyak, itu artinya kamu punya banyak keluarga yang menyayangi kamu. Di sini kamu punya mama, kamu punya Tante Tia, kamu punya om Nande." Dia menghela nafas, sedetik kemudian ekspresinya jadi tenang. Aku tertawa. Dia bisa jadi begitu manja dan merajuk seperti balita dan dalam sekejap juga Lily bisa sangat tenang, seperti orang dewasa. Anak ini memang benar-benar ajaib.

"Mama benar, aku terlalu kekanak-kanakan." Dia menyalimiku. "Aku pergi dulu." Dia mencium pipiku. "Mama baik-baik, jangan kerja terlalu keras. Mama udah cukup kaya untuk membesarkan tiga anak seorang diri kalo dadda bangkrut. Kalo terlalu banyak kerja mama ntar cepat tua." Aku tertawa, melihatnya dengan perasaan bangga. "Aku sayang mama, pergi dulu ya. I love you." Dia memelukku sekali lagi. Aku balas memeluknya. Kuciumi seluruh wajahnya. Aku melihatnya dengan senyum sambil menepuk bahunya beberapa kali.

"Baik baik sayang, bahagia di sana." Dia mengangguk lalu mengatakan.

"Aku sayang mama."

Kucium keningnya. "Mama juga sayang kamu, anak manis." Dia mengangguk, melepas pelukan kami lalu pergi dengan berat hati. Aku tahu dari tatapannya dia masih ingin di sini. Dia berat meninggalkan Indonesia tapi ya bagaimana. Lily sekarang tinggal dan hidup di sana. Meski tidak rela aku mengikhlaskannya. Rasanya ingin sekali memaksa merebut hak asuh anak-anak tapi aku sadar aku bukan siapa-siapa untuk mereka. Aku hanya orang tua angkatnya. Dan mereka masih punya orang tua kandung yang merawatnya.

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang