bab 16

4.6K 250 5
                                    

Aku masih tidak habis pikir sambil memegangi tote bag dari toko ponsel itu. Matteo membelikanku ponsel mewah keluaran terbaru yang harganya sekitar dua puluh juta. Padahal tadi aku sudah menunjuk ponsel yang cantik dengan harga satu jutaan, itu sudah cukup untukku. Tapi Matteo yang katanya memintaku memilih mana saja yang kusuka malah dengan lancang melarangku memilih yang satu juta itu. Aku tetap keras kepala, satu juta saja sudah bagus kok. Ini malah dua puluh juta, bisa-bisa aku beli motor aja sekalian.

Akhirnya setelah kelamaan Matteo mau memanipulasiku tapi tidak berhasil-berhasil, dia memilih menyerah. Menyerah bukan dalam artian dia menuruti kemauanku. Enggak. Dia malah membelikanku dua-duanya. Ponsel yang satu juta dan dua puluh juta buang-buang duit itu. Padahal dengan dua puluh juta aku bisa membayar SPP, aku bisa memberikannya pada ibu sampai aku dan ibu tidak perlu bekerja beberapa bulan. Tapi dua puluh juta ini aku cuma dapat ponsel. Kesalnya itu loh. Aku sejak tadi menahan umpatan.

Kami masih berjalan beriringan. Matteo menunjuk toko pakaian langganannya. Dia harus membeli beberapa kemeja katanya. Apa aku negosiasi saja? Aku akan meminta dia menukar ponsel ini dengan uang dua puluh juta. Kenapa enggak? Kalau Matteo masih keras kepala, aku akan merengek, dia pasti akan luluh.

Aku menelan ludah sebelum beraksi. Kupegang lengannya yang besar. Dia mendongak dari ponsel ditangannya. Aku tahu dia sedang memeriksa cctv di rumahnya yang tersambung ke ponsel itu. Memeriksa anak-anak. Dia melihatku dengan alis terangkat. Lalu membasahi bibir bawahnya. Sumpah mati aku menahan diri untuk tidak tergoda. "Kenapa, Irene?." Tanyanya dengan lembut. Merasa tidak kujawab dia bertanya lagi. "Ada yang ingin kamu beli?." Aku menggeleng.

Kuberikan dia senyum paling lembut yang kubisa. Matteo melihatku tidak mengerti. "Gimana kalo hp yang dua puluh juta itu aku tuker sama uang cash, Yaaa? Boleh yaaa?." Kukatakan dengan pelan-pelan dan tetap mempertahankan tatapan mata kami. Aku menyatukan telapak tangan didepan dada, benar-benar memohon. Tapi dia tidak menampilkan ekspresi apa-apa, ekspresinya tetap tenang. Ekspresi yang sama sewaktu mata hijau itu pertama kali menemukanku. Aku bertanya-tanya, apa sih yang dipikirkannya dengan tatapan seperti itu?

"Memangnya apa yang akan kamu lakukan dengan dua puluh juta itu?."

Aku sudah bersorak dalam hati. Semoga dia setuju! Yeay! "Aku mau buat bayar SPP. Aku mau buat kasih ke ibu semua. Biar kita nggak usah kerja lagi selama mungkin beberapa bulan. Biar kita punya waktu kayak dulu lagi buat nonton tivi bareng. Buat masak bareng. Buat meluk ibu kayak dulu lagi." Rasanya sesuatu terasa menyesakkan didadaku. Rasanya sesuatu terasa panas dimataku. Aku berkedip, sebulir air mata turun dari mataku. Ternyata aku menangis. Aku kangen ibu. Aku kangen ayah. Aku kangen dipeluk mereka. Aku kangen kita bahagia kayak dulu. Aku ingin cerita banyak hal sama ibu lagi. Aku pengen bilang itu ke ibu. Bertahun-tahun aku punya banyak hal yang kusimpan dan ingin kuceritan banyak sekali sama ibu. Sayangnya kesibukan kami yang sama-sama harus bekerja membuat kami tidak bisa melakukan itu.

Tangan besar Matteo meraihku. Aku dibawa ke pelukannya. Rasanya hangat. Aku merasakan kedamaian yang sama setiap kali dia memelukku. Sebelah tangannya mengelus punggungku, rasanya menenangkan. Sebelah tangannya lagi mengusap-usap rambutku. Aku membutuhkannya. Aku membutuhkannya sangat banyak. Aku juga mendengarnya, detak jantung Matteo. Aku sudah tidak peduli detak jantung siapa itu, aku atau dia. Yang jelas aku hanya ingin menangis. Aku menangis beberapa lama. Matteo tidak mengatakan apapun. Dia hanya menenangkanku lewat sentuhan dan pelukannya. Kurasa aku membasahi pakaiannya. Aku tidak peduli. Kurasa dia juga sama tidak pedulinya denganku. Dia tidak mengatakan apa-apa. Dia juga tidak mengomel.

"Kamu masih ingin terus menangis? Aku bisa meminta orang untuk menyiapkan ruangan untuk kita. Kamu bisa menangis sampai pegal di sana. Bagaimana, Irene?."

Aku menggeleng lalu cepat-cepat kulepas pelukannya. Aku tahu kami sudah berpelukan cukup lama. Aku juga tahu orang-orang memperhatikan kami sejak tadi. Tapi tetap saja rasanya tidak rela ... Memisahkan diri dari Matteo.

"Kita jalan-jalan lagi aja, ntar juga baperku ilang." Kujawab sekenanya. Matteo tertawa. "Aku terlalu banyak nangis. Jangan ejek aku ya... Kalo aku masih kayak anak kecil, ntar aku nangis lagi." Matteo mengangguk sambil melipat bibir, aku tahu dia menahan tawa.

"Ya sudah, kamu mau kemana supaya tidak menangis lagi?."

"Kemana aja. Kamu boleh bawa aku kemana aja."

"Aku sangat ingin membawamu agar selalu ada di sampingku."

"Kalo gitu bawa aja."

"Apa kalo orang lain yang bilang ini kamu juga akan menjawab begitu?." Aku menelan ludah. Susah payah menahan senyum. Dadaku? Rasanya sesuatu bermekaran didadaku.

"Itu cuma berlaku kalo sama kamu."

Matteo menahan senyum. Aku tahu, meski dia tidak melipat bibir seperti tadi, tapi wajahnya jadi keras, dia menahan sesuatu yang berkedut diwajahnya, seperti susah payah membuat wajahnya terlihat normal. "Kamu membuatku merasa istimewa, bayi."

"Aku lebih suka membuat kamu merasa dicintai."

Bulu mata tebal milik Matteo itu berkedip beberapa kali. Dia seperti terkejut. Apa peryataanku terlalu berani?

"Apa yang kamu tahu dariku?." Aku menggeleng. Ekspresi Matteo seperti aku baru saja mengetahui hal dalam dirinya yang Matteo sendiri saja tidak tahu. Apa aku benar? Apa asumsiku benar?

Kujawab seadanya. Seperti yang kutahu. "Kamu itu kosong. Kamu punya banyak cinta dari anak-anak kamu tapi... Sesuatu terlihat.... " Aku menelan ludah sebentar. Rasanya aku seperti membongkar celah yang Matteo punya. "Kayak cinta itu masih belum cukup. Kamu masih kekurangan. Kamu belum penuh, kamu butuh seseorang untuk melengkapimu." Aku menatap mata hijau itu. Sedikit takut sih tapi, memang ini kok yang kurasakan. "Kamu butuh pasangan." Aku menggeleng. "Bukan pasangan yang hanya kamu tiduri tapi pasangan yang mengurus dan mendampingi kamu."

"Bagaimana kalo ternyata kamu salah."

Aku menghela nafas sebentar. Selain keras kepala. Matteo juga tidak mau kalah. Persis sepertiku. "Kamu itu terlalu aman di zona kamu. Kamu bisa tidur dengan perempuan manapun yang kamu mau. Kamu bisa kerja sambil ngurus anak. Kamu melakukan banyak hal untuk anak-anak dan bisnis kamu. Kamu bahkan sampai rela jadi donatur di sekolah supaya bisa kasih contoh yang baik buat anak-anak kamu. Kamu pengen anak-anak kamu tumbuh dengan baik dan jadi anak-anak yang berguna... Kamu kayak terkurung di zona itu. Zona yang memberi kamu keamanan. Padahal jauh di sana." Kutunjuk dadanya. "Kamu juga butuh seseorang untuk mengurus kamu. Kamu butuh seseorang untuk mendampingi kamu."

"Apa kamu yakin kamu masih tujuh belas?."

"Apa kamu yakin kamu udah tiga tiga?." Kupikir Matteo akan tertawa seperti biasanya. Tapi kali ini dia tidak tertawa. Dia hanya menampilkan ekspresi yang tidak bisa kubaca. Apa ini cara kamu memanipulasi orang? Atau ini cara kamu melindungi diri? Seberapa keras hidup yang kamu punya?

"Bagaimana kamu bisa menyimpulkan itu?." Dia terlihat tidak percaya? Atau aku yang tidak percaya aku bisa mengatakan hal seperti itu?

Aku menggeleng. Tapi Matteo masih menuntutku dengan tatapannya. Aku tahu dia ingin mendengar alasanku bukan hanya gelengganku. "Aku nggak tahu Matteo, aku ngomong gitu karena..." Aku menggeleng lagi kuat-kuat, berusaha meyakinkan Matteo kalau aku benar-benar tidak tahu. "Aku nggak tahu. Aku bahkan nggak pernah kepikiran itu sebelumnya." Aku mengangkat bahu. "Aku cuman... Itu meluncur gitu aja."

###

Halooooo semuaaa,
Maaf lama banget gaupdate hehe

Soooo, semoga suka yaaa.
Klo suka jangan lupa vote ya,
Love kalian semua.

Semoga dimanapun kalian, sehat-sehat semua yaaa🤗

By meee🐰

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang