"Apa kamu sungguh-sungguh?." Rasanya mataku panas, menatap mata hijau itu, kurasa sebentar lagi air mataku meleleh turun. Apa sebenarnya yang kamu pikirkan ketika melihatku begini?
"Aku tidak pernah berbohong." Jawabnya mantap yang membuat hatiku makin sakit.
"Apa tiga hari ini kamu begitu sibuk karena perempuan itu?." Dia mengangguk, hatiku seperti hancur berkeping-keping. "Lalu kenapa kamu kemarin membiskkanku untuk tidak pergi kemana-mana?."
"Kemarin aku terlalu lelah jadi melantur."
"Itu terdengar sungguh-sungguh."
"Aku memikirkan Tasya ketika mengatakannya."
"Terima kasih, aku akan coba percaya." Aku tersenyum menyedihkan. "Melihat begitu keras usaha kamu untuk membohongiku, aku akan coba percaya."
"Silahkan." Matteo mempersilahku keluar dengan sebelah tangannya. Aku benar-benar tidak percaya dia sungguh-sungguh.
"Kamu ini kenapa sih? Kalo ada yang salah sama aku kamu bisa bilang? Apa sesuatu menganggu kamu? Kamu bisa ngomong sama aku, kita bisa bicara." Aku setengah menjerit, setengah frustasi. Benar-benar tidak mengerti yang dipikirkannya.
"Irene maafkan aku, aku tidak pernah benar-benar serius dengan kamu. Sewaktu melihatmu pertama kali, aku begitu penasaran, lalu aku mendekatimu, kamu begitu rapuh dan polos, begitu mudah untuk ditaklukkan. Ini kesalahan, aku mengakui, kedekatan kita terlalu intens, dan pasti membuat kamu berfikir aku bersungguh-sungguh. Aku mendekatimu hanya sebagai pelampiasan, karena kami LDR dan aku begitu kesepian. Sekarang Tasya sudah di sini, kamu boleh pergi." Aku tercengang luar biasa sampai tidak bisa berkata-kata. Meski masih berusaha keras tidak mempercayainya.
"Kamu pikir aku percaya ! ."
"Aku tidak memintamu untuk percaya."
"Kalau cuman main-main niatmu, kenapa kamu membiarkan anak-anak begitu dekat denganku?."
"Tidak ada suster yang bisa mengurus mereka dengan sepenuh hatinya kecuali kamu, pekerjaanku begitu banyak, aku membutuhkan kamu selama Tasya pergi, orang yang bisa kupercaya untuk menjaga anak-anak."
"Tapi yang kurasakan aku menjadi ibu mereka."
"Itulah alasan aku mempercayakan anak-anak dengan kamu."
Aku tertawa setengah tercengang. "Kamu memanfaatkan kepolosan dan kebaikanku?."
"Tentu saja."
"Selamat! Kamu berhasil, aku benar-benar terkejut sekarang."
"Pintu keluar ada di sana."
Aku memberinya senyum simpul, seanggun yang kubisa meski rasanya dadaku sesak luar biasa. "Dengan senang hati." Aku melihat matanya yang sebelumnya sangat kusuka itu. Mata yang biasa menatapku dengan binar, binar yang membuatku begitu berharga. Kini mata itu melihatku dengan datar, seperti orang asing. Seperti aku bukan apa-apa dan tidak penting. Secepat ini kamu berubah? Ataukah ini adalah dirimu yang sebenarnya? Yang selama ini kamu sembunyikan.
Aku tahu, aku begitu bodoh. Begitu polos, rapuh sehingga mudah diperdaya tapi jika harus mengulang, aku akan tetap dengan senang hati membawa pergi jasmu dan mengembalikannya seperti sore hujan kala itu. Hari di mana kami pertama kali bertemu. Sampai detik ini aku tidak pernah menyesal mengenalmu. Jika ini adalah akhir perjalanan kami, meski luar biasa berat, jika kamu memintaku pergi aku akan pergi.
Kutatap matanya tanpa rasa takut, kutatap matanya dengan segenap pertahanan yang hampir hancur. "Aku tanya sekali lagi, Matteo kamu serius?." Dia mengangguk.
"Harus dengan cara apalagi aku meyakinkan." Matanya menatapku tajam.
Aku menghela nafas panjang yang terasa sesak sekali. "Semua alasanmu itu benar? Aku menggantikan Tasya?." Matteo mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Dream
RomanceDinikahi laki-laki beranak tiga yang setampan David Beckham saat masih muda, disaat usiaku masih 17 tahun! Aku menelan ludah. Dia... uhm ... Bagaimana aku menggambarkannya... Aku kehabisan nafas. Dia luar biasa tampan. Sangat seksi dan matang. Ini...