Matteo membawaku pulang ke rumahnya, karena sejak kejadian kemarin kupikir ibu tidak akan pulang. Sebelumnya memang ibu jarang pulang. Beliau hanya pulang untuk mengambil beberapa barang lalu pergi lagi, katanya sedang repot karena ditugaskan mengurus toko di luar kota. Tidak peduli seaneh apapun alasan ibu, sekalipun ibu membohongiku aku tetap saja mempercayainya. Karena hanya dengan itu aku masih bisa hidup sampai sekarang.
"Bayi, kamu harus makan sesuatu? Kamu mau makan apa, sayang?." Matteo menanyaiku, kami sedang duduk di kursi ruang keluarga. Aku merenggangkan otot lalu menyandarkan tubuh pada kursi. Benar-benar sangat pegal dan mengantuk.
"Aku mau langsung tidur aja." Aku melihat sekeliling pada beberapa ruangan di lantai dua ini. "Kamar aku di mana?." Matteo berjalan ke tempatku. Aku melihat tatapannya seperti menantangku. Ada seringai yang tiba-tiba saja muncul di wajah itu. Dia duduk di sebelahku. Lalu dengan gerakan cepatnya dia mengangkatku. Aku terduduk diatasnya. Nyaris menjerit, kupukul dadanya.
"Memangnya aku akan membiarkan kamu tidur sendirian, Irene?." Ada senyum bajingan di sana. Aku memberinya tatapan peringatan.
"Ntar anak-anak bangun."
"Memangnya kita melakukan apa sampai membuat mereka terbangun?." Aku melotot mendengarnya. Matteo terkekeh.
"Kita melakukan apa aja yang menyenangkan."
"Seperti?."
"Cerita sampai ketiduran. Jalan-jalan sampai pegal. Makan-makan sampai sangat kenyang. Apa aja."
"Kamu ingin kita melakukan itu?." Aku mengangguk. "Okay. Ayo kita lakukan." Aku melihat senyum ringan diwajahnya. Aku melihat tatapan antusias seperti tatapan balita ketika diajak ibunya membeli lolipop. Apa dia benar-benar sangat senang? Apa dia benar-benar sangat antusias? Aku tersenyum melihatnya. Melihatnya dengan senyum ringan yang antusias seperti ini rasanya seperti dia bukanlah apa-apa. Seperti dia bukanlah Matteo dengan segala kuasanya. Seperti dia hanyalah anak kecil bertubuh besar yang kegirangan dibelikan mainan baru. "Kenapa kamu tersenyum begitu bayi?."
Bukannya menjawab aku malah balik bertanya. "Apa sangat senang?."
Dia tertawa sebelum menjawab. "Tidak ada alasan aku tidak senang ketika dekat denganmu." Gantian aku yang tertawa.
Aku memberinya tatapan serius. "Matteo jangan boong." Matteo mendorong jidatku dengan telunjuknya yang panjang. Aku hampir terjatuh kebelakang jika Matteo tidak segera menarik punggungku mendekat ke dadanya. "Astaga, kalo aku jatuh gimana?." Seruku masih setengah syok.
Matteo tertawa lalu menjawab. "Itu salahmu karena meragukan kepercayaanku bayi."
"Dadda." Itu suara Lily. Suara Lily yang masih serak karena baru bangun tidur. Bukannya melepaskan pelukan kami, Matteo malah mengeratkan pelukan kami, sepertinya dia tahu aku akan langsung meloncat turun dari pelukannya begitu suara anak-anak terdengar. Lily menghampiri kami dengan mata khas bangun tidur. Rambutnya acak-acakan, dia memakai baju tidur berwarna biru yang membuatnya tampak sangat cantik sekali.
Aku merentangkan tangan menyambutnya. Dia menghampiriku lalu kupeluk dia seerat mungkin. Lily bahkan harum aroma parfum Matteo yang bercampur bedak bayi. Aku menciumnya banyak sekali. Kini aroma itu yang sangat kusuka. "Lily kenapa bangun?."
"Aku kebangun tadi terus cariin Dadda." Aku tersenyum.
"Mau tidur lagi sama kakak Irene?." Dia mengangguk.
"Oke." Aku berdiri lalu mengandeng tangan Lily. Matteo ikutan berdiri, dia mendorong bahuku. Aku menoleh melihatnya.
"Kamu mau ikut juga?."
"Sudah kubilang aku tidak akan membiarkanmu tidur sendirian, bayi."
"Aku tidur sama Lily."
"Lalu kamu membiarkanku tidur sendirian?."
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Dream
RomanceDinikahi laki-laki beranak tiga yang setampan David Beckham saat masih muda, disaat usiaku masih 17 tahun! Aku menelan ludah. Dia... uhm ... Bagaimana aku menggambarkannya... Aku kehabisan nafas. Dia luar biasa tampan. Sangat seksi dan matang. Ini...