bab 65.

1.8K 190 21
                                    

Sebelum ke sekolah tadi aku sempat membaca beberapa informasi mengenai anak-anak yang bertengkar dengan Alana. Mereka ada tiga anak, Kila, Shana dan Vero. Ketiganya memang memiliki catatan yang buruk di sekolah. Apalagi si Vero yang sepertinya ketua geng mereka, Vero beberapa kali pindah sekolah karena kenakalannya. Ini adalah sekolah ke tujuhnya. Dia terkenal suka merundung anak-anak lain.

Saat mobil sampai di sekolah, Matteo memarkirkan mobilnya. Dia membukakan pintu mobil untukku, dia juga melindungiku barangkali dari kamera-kamera yang menyorot diam-diam saat berjalan masuk keruangan wali kelas Alana. Suasana sekolah memang sedang sepi, kegiatan belajar mengajar memang sedang berlangsung. Aku memakai kacamata hitam dan masker, menyembunyikan identitasku. Bisa gawat darurat kalau ada yang tahu aku ke sini sebagai wali murid Alana. Cukup wali kelasnya saja yang tahu aku ibunya Alana.

Aku berusaha tampil tidak terlalu mencolok. Tidak ada barang-barang mahal yang kukenakan. Hanya blazer hitam, kaos yang sama hitamnya dan celana jins hitam serta boots coklat. Berbeda dengan Matteo yang formal, aku lebih santai.

Matteo mengetuk pintu, dia mendorongnya sewaktu dipersilahkan dari dalam. Dia mempersilahkanku untuk masuk lebih dulu. Kami duduk di kursi tamu, ada wali kelas Alana. Dia masih muda. Masih muda dan cantik. Guru itu bahkan sempat melongo sejenak sewaktu melihat Matteo masuk. Wajar sih, tidak ada perempuan waras yang tidak terpesona oleh ketampanannya.

Guru muda itu sampai gugup. Dia menyenggol kotak pensil yang diletakkan di pinggir meja sewaktu akan melewati meja untuk bergabung dengan kami di kursi tamu. Kukira Matteo akan membantunya mengambil kotak pensil itu. Ternyata dia hanya diam saja, kalau guru itu adalah aku dia akan melakukannya tapi guru itu bukan aku dan dia tidak melakukannya. Apa semua kelembutan sikapnya dan perhatian-perhatian kecil itu hanya untukku? Apa hanya denganku dia begitu?

Aku berdiri membantu guru itu. Melihatku membantu guru itu, Matteo ikutan membantu. Dia melakukannya untukku tapi yang gemetar sedari tadi guru itu. Lima menit kemudian sudah datang tiga wali murid dari anak-anak itu. "Anak saya nggak mungkin melakukan itu?." Bapak dengan jenggot tebal itu melihatku dengan tatapan menuduh, seolah aku yang melakukan kesalahan. "Ini pasti anaknya ibu Irene. Semua anak artis pasti begitu kok. Mereka itu nggak pernah di didik. Lah, gimana caranya di didik wong ibunya sibuk syuting mulu." Dia melihat wali murid yang lain, meminta pembelaan. "Benar begitu kan, bapak ibu." Dia melihatku lagi dengan tatapan penghakiman. "Memang begitu kan anak artis."

"Lihat." Suara ibu gendut dengan tas LV yang sepertinya KW. "Masih muda tapi udah punya anak SD. Pasti anak diluar nikah. Nggak heran sih kelakuannya begitu. Sekarang semua publik figur sama aja. Kelihatan baik di depan kamera tapi aslinya busuk."

"Kalau polisi tidak dapat menciduknya sepertinya saya bisa melakukannya menggantikan polisi-polisi itu." Matteo membuat ekspresi pura-pura kesal setengah malas. Dia mengatakannya tenang tapi terlihat menakutkan. Tanpa melihat si lawan bicara pun dengan mata telanjang saja sudah tahu siapa yang sedang diperingatinya. Itu adalah bapak dengan jenggot tebal itu. Dari data yang kubaca, dia memang bandar narkoba. "Bagaimana? Hmm?." Tanyanya seperti sedang bercanda dengan anak kecil. Dia terlalu santai. Terlalu santai tapi begitu menakutkan. Seolah dia punya kekuatan bisa membunuh tanpa menyentuh.

"Saya sebenarnya malas mengusiknya tapi kamu membuat saya melakukannya. Andai kamu dari tadi diam dan mengakui kesalahan anak kamu." Matteo menggeleng pura-pura sedih. "Maka kamu aman." Dia melihat bapak itu yang punya muka seperti menahan kencing. "Sayangnya mulut berisikmu yang mendorongmu ke lubang galianmu sendiri." Matteo diam, tatapannya mengawasi bapak itu. "Cepat. Minta maaf dengan Irene." Dia menggeleng kesal. "Matamu saat melihatnya membuatku sangat marah!." Suaranya saat mengatakan 'marah' penuh dengan kebencian, sepertinya dia marah sungguhan. Bukan karena anaknya tapi karena aku. Karena tatapan penghinaan bapak itu padaku.

"Memangnya anda siapa?." Padahal dia sudah seperti menahan tangis tapi masih saja membela diri. Matteo tertawa. Tertawa meremehkan.

"Apa kamu tidak punya ponsel? Tanya saja pada Wikipedia." Bapak dengan jenggot itu mengeluarkan ponselnya cepat-cepat. Dari gerakannya mengeluarkan ponsel yang tergesa. Dia gemetar. Dia melotot, melihat apa yang ditampilkan diponselnya. Dia mendongak melihat Matteo takut-takut lalu menelan ludah. Matteo melihatnya dengan senyum meremehkan. "Sudah tahu siapa saya."

"Hanya karena anda kaya anda bisa melakukan segalanya." Dia sepertinya masih belum menyadari bahaya seperti apa yang sedang menantinya di depan sana. Aku hanya berharap dia tidak salah mengambil langkah.

"Tentu saja." Katanya santai. "Semua bisa dilakukan kalau kamu punya banyak uang." Bapak itu tersenyum meremehkan.

"Anda pikir saya nggak punya uang." Matteo mengangkat alis santai.

Dia menggeleng pura-pura sedih. "Masalahnya, uangmu tidak akan cukup. Uangku lebih banyak." Dia berdecak sebentar, lalu menggeleng kesal. "Sudahlah minta maaf saja, kamu ingin saya benar-benar membawamu bertemu malaikat maut." Matteo melihat orang itu seperti malas menghabiskan terlalu banyak waktu untuk urusan yang tidak penting. Dia mengangguk, pura-pura sedih, seperti tidak punya pilihan. "Baiklah kalau itu yang kamu inginkan--"

"Iya. Iya. Pak Matteo, saya akan minta maaf." Matteo mengangkat alis. Bapak itu melihatku, seperti sangat kesal denganku tapi tidak punya pilihan. "Saya minta maaf ibu Irene." Matteo mengebrak meja. Aduh! Dia ini kenapa lagi sih?

"Apa begitu orang meminta maaf?." Matteo menendang bawah meja dengan kakinya. Suara gebrakannya membuat orang-orang terkesiap. Aku tidak pernah melihatnya begitu emosi begini. Dia sepertinya sangat marah.

"M--maaf." Suara bapak itu seperti cicitan tikus terjepit. Dia benar-benar ketakutan sekarang. Tidak ada yang berani bersuara di ruangan ini. "Saya minta maaf ibu, Irene." Aku mengangguk saja. Berharap semua drama ini segera selesai dan Matteo tidak memperparah segalanya.

"Dan anda ... " Matteo melihat ibu yang bertubuh gemuk itu. "Veronika anak anda, dia merencanakan akan mencuri ponsel anak saya. Itulah kenapa dia mengolok-olok anak saya. Membuat anak saya terpancing emosi lalu mereka akan bertengkar, sementara mereka bertengkar anak anda Kila." Matteo melihat bapak dengan kacamata. Bapak yang paling pendiam di sini dengan tatapan iba. "Kila yang polos itu dimanfaatkan mereka untuk mencuri ponsel anak saya. Mereka memancingnya untuk bertengkar dan Kila diminta mengambil ponsel anak saya saat anak saya lengah dengan pertengkaran itu." Matteo tersenyum. Seperti senyuman bangga. "Tapi anak saya terlalu cerdas, dia menggagalkan rencana pencurian itu." Itulah kenapa Alana menamparnya, karena dia tahu anak itu tidak akan berhenti sampai mereka bertengkar sungguhan. Dia menamparnya untuk membuat mereka berhenti. Aku memahami jalan pikiran Alana tapi caranya salah.

"Apa anda sudah menjadi ibu yang paling baik? Ibu yang paling sempurna? Anda harus belajar banyak. Belajarlah menilai diri sendiri sebelum menilai orang lain." Matteo membelaku. Matteo membelaku yang dikatakan tidak bisa mengurus anak oleh ibu gemuk itu. Matteo melihat guru muda itu. "Tolong pindahkan saja mereka ke sekolah lain, saya tidak ingin anak saya berada dalam satu lingkungan yang sama dengan mereka." Dia menyapu semua wajah-wajah di sini. "Saya tidak akan menuntut terlalu banyak. Pindahkan saja mereka."

"Apa nggak berlebihan?." Setelah sedari tadi diam, aku bersuara. Matteo melihatku seperti melihat ayam jantan bertelur.

"Apa sayang--" Dia mengerjab saat tersadar. "Maksudku Irene."

"Mereka meminta maaf dan nggak mengulangi aja menurutku udah cukup." Aku menggeleng. "Terlalu berlebihan kalau meminta mereka pindah." Aku melihat guru itu. "Tolong diberikan sanksi yang tegas." Guru itu tersenyum sedikit dan mengangguk.

"Irene mereka--" Suaranya terdengar memohon.

Aku menggeleng. "Kita bicarakan nanti sama Alana aja. Aku mau tau apa yang dia inginkan sebenarnya." Matteo tersenyum penuh arti. 'Kita bicarakan nanti' memang terdengar seperti kami benar-benar pasangan sungguhan yang tinggal serumah. Iya, serumah tapi itu dulu.

"Baik. Kami--" Dia mengambil botol air mineral yang akan kubuka. Dia berhenti berbicara dan membukakan botol itu untukku. Dia melanjutkan saat sudah memberikan botol yang dibuka itu padaku. Padahal aku bisa melakukannya sendiri. Lihat, kelembutannya begitu, mana mungkin aku tidak diabetes.

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang