bab 13

5.7K 265 2
                                    

Yang dimaksud pulang adalah pulang kerumahnya. Iya. Rumah Matteo yang super besar itu.

Matteo membukankanku pintu mobil, aku turun dari mobil dengan dibimbingnya. Meskipun rasanya terlalu berlebihan tapi kalau harus jujur, kuakui aku menikmatinya. Sebelah tangannya mendorong punggungku membimbingku memasuki rumahnya.

Didalam mobil tadi Matteo menghubungi seseorang, kurasa orang itu adalah tangan kanannya. Mereka sempat berdebat, kurasa juga mereka tadi saling mengumpati satu sama lain. Meskipun mereka berbicara bahasa prancis yang sama sekali tidak kumengerti, tapi dari nada yang ditunjukkan Matteo, mereka seperti saling mempertahankan argumen masing-masing. Mereka berbicara cukup lama, sampai kurasa sepanjang perjalan Matteo hanya berbicara dengan orang itu. Aku yang katanya ratunya saja ... Ekhm ... Sedari tadi dicuekin. Dasar Matteo.

Tapi setelah perdebatan sengit itu, Matteo jadi tidak banyak bicara. Dia seperti menahan amarah. Wajahnya mengeras. Mata hijaunya jadi menyapa-nyala. Aku menelan ludah, berusaha menahan ketakutan sekaligus menenangkan diri sendiri. Matteo tidak akan menyakitiku, dia bukan ayah dan yang jelas Matteo akan menjagaku. Aku akan baik-baik saja. Aku aman. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Irene.

Matteo membawaku ke ruang makan paling indah yang pernah kulihat.

Ruang makan itu berkeramik marmer coklat yang terang membuatnya jadi terlihat elegan. Ada dinding kaca yang tinggi sekali, yang memisahkan ruang makan ini dengan kolam renang berwarna biru diluar sana. Ada delapan kursi empuk berwarna coklat yang masing-masing mengelilingi meja panjang berwarna hitam, sangat khas Matteo. Jantan sekali kupikir. Jelas saja, dia bujangan, tinggal seorang diri dengan ketiga anak-anaknya meskipun aku tidak yakin makna sendiri itu dalam artian sesungguhnya.

 Jelas saja, dia bujangan, tinggal seorang diri dengan ketiga anak-anaknya meskipun aku tidak yakin makna sendiri itu dalam artian sesungguhnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Duduk dulu, tunggu aku di sini ya, ratu."

Aku mendengus lalu memutar bola mata. "Tadi bayi, sekarang ratu sebenarnya kamu manggil aku itu apa sih?."

Matteo malah mengulum bibir tipisnya, tapi aku yakin dia sebenarnya menahan senyum terlihat dari ujung lipatan bibir itu yang tertarik keatas. Dan mata hijau itu, dia menyembunyikan senyum di sana. Matteo mendekat ke tempat dudukku, dia menunduk untuk melihat mataku langsung. Aku menciumnya, kucium sebanyak yang kubisa. Aroma kayu-kayuan yang sangat kusuka dari Matteo.

"Memangnya kamu ingin aku memanggilmu apa, Irene?." Suaranya terdengar menggoda. Kutertawakan dia didalam hati. Aku tidak akan tergoda.

Kutatap matanya dengan berani. Lalu sedetik kemudian cepat-cepat berpaling. Ya ampun. Aku kalah duluan bahkan sebelum berperang. Kupegang pinggiran meja seerat yang kubisa. Aku kesusahan bernafas. Matteo semakin mendekat. Rasanya sesuatu yang ada didalam jantungku seperti mau meletus. Kurasakan bulu ditubuhku merinding. Dia ini punya kekuatan magis atau apa sih yang membuatku seperti nyaris pingsan begini. Kudorong dadanya sekuat yang kubisa ketika dia semakin mendekat.

"Matteo sialan! Kurang ajar!." Dia malah tertawa keras.

"Astagaaa bayi, tenangkan dulu dirimu, kamu terlalu banyak mengumpat."

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang