Aku terbangun. Gelap. Ruangan ini gelap. Sesuatu yang lembut dan sangat empuk. Ah nyamannya, ranjang paling nyaman yang pernah kutiduri. Kuketatkan selimut tebal paling halus yang pernah kusentuh. Pendingin ruangan serasa menusuk kulitku. Aku langsung tersentak. Buru-buru terduduk dengan cepat. Ranjang nyaman dan pendingin ruangan. Ini bukan kamarku. Kamarku panas, pengap dan punya ranjang yang keras.
Aku mengingatnya. Dengan bodoh kutepuk jidatku. Sore tadi aku merengek pada Matteo, aku merengek sampai menangis meminta dipulangkan. Tapi Matteo dengan keras kepala menahanku. Katanya diluar masih hujan. Aku tidak diperbolehkan pulang. Tapi aku masih keras kepala merengek, menangis sampai ketiduran. Astaga!
Aku ketiduran di rumah orang asing. Apa kamu seceroboh itu Irene? Kurasa iya. Cepat-cepat aku menyibak selimut, turun dari ranjang yang empuk itu. Sebenarnya aku tidak rela berpisah dengan ranjang itu. Ranjang paling empuk yang pernah kutiduri. Tapi masa iya aku membawa pulang ranjang itu. Sialan! Kebodohanku bertambah berkali-kali lipat sepertinya.
Baru dua langkah aku berjalan, membelah kegelapan yang seperti tidak punya ujung ketika lampu tau-tau dinyalakan. Ruangan yang sebelumnya gelap gulita itu jadi terang benderang. Aku mengernyit sedikit, menyesuaikan pencahayaan yang tiba-tiba terang.
"Mau kemana, Irene?." Suara itu, sangat seksi dan bulu kuduku langsung merinding. Matteo, astaga.
Aku menelan ludah. Dia duduk santai di kursi tunggal pojok ruangan, mata hijau itu melihatku dengan tatapan yang sama. Dia mengenakan piyama satin biru dongker. Rambutnya acak-acakan dan basah, seperti dia baru saja selesai mandi. Mandi tengah malam begini, apa sih yang dipikirkannya? Ditangan kanannya ada segelas anggur yang sangat merah, semerah darah. Apa dia mabuk? Terakhir kali aku melihat orang mabuk adalah ayah. Ayah mabuk seperti orang kesurupan. Dia membanting benda-benda. Menyeret kursi sampai patah. Menendang pintu sampai pintu itu nyaris roboh. Apa Matteo juga akan begitu kalau mabuk? Apa dia akan menyeretku lalu membanting benda-benda seperti ayah menyeretku sepuluh tahun yang lalu.
Apa jika aku kabur sekarang aku masih punya kesempatan untuk menghindari Matteo? Aku seharusnya sudah kabur sejak awal. Aku seharusnya pulang sekarang. Aku seharusnya tidak terlibat apapun dengan Matteo. Matteo mengingatkanku pada ayah, kebaikan dan keburukannya. Mereka sama.
Matteo berdiri dengan sebelah tangan masih membawa gelas anggur itu. Keningnya berkerut, tadi aku menyukai kerutan itu, kerutan itu membuatnya jadi semakin seksi. Tapi sekarang kerutan di kening itu mengingatkanku pada pukulan ayah yang masih kuingat rasa sakitnya. Dia jadi terlihat menyeramkan.
Aku mundur ketika dia semakin mendekatiku. Tatapannya masih sama tapi kerutan di kening itu yang membuatku takut. Dia semakin mendekat tapi tidak mengatakan apa-apa. Aku mundur. Alisnya yang tebal terangkat, mungkin dia melihat ketakutanku. Dulu, dulu sekali setiap kali ayah melihatku ketakutanku dia semakin membabi buta. Ayah akan memukul, menendang dan menjambakku. Ibu melihatku, tapi ibu tidak mengatakan apa-apa. Ibu sama dihukumnya denganku.
Dulu, kami sering mengambil uang ayah tanpa izin. Kami butuh bertahan hidup. Kami butuh makan sedangkan ayah tidak memberikan uang-uangnya pada ibu. Kami meminta pada ayah, tapi ayah malah membentak kami. Jadi, kuberanikan diri mengambil uang ayah tanpa izin. Ayah mengetahui itu. Dia menghajar kami sampai kami demam empat hari. Sejak saat itu aku tidak lagi berani meminta uang pada ayah. Kurasa sejak saat itulah ayah berubah jadi monster. Gara-gara alkohol itu. Ayahku yang baik jadi mengerikan.
Matteo semakin mendekat, aku mundur sampai kurasa punggungku menabrak ranjang. Aku terduduk. Di pikiranku hanya ada kehancuran. Hanya ada bayangan benda-benda dibanting. Suara seretan kursi yang memekakkan. Suara tendangan pintu. Suara ibu menjerit. Suara tamparan ayah. Suara tangisanku. Rasa sakit dari tendangan ayah. Rasa sakit jambakan ayah. Suara dengungan di kupingku karena tamparan ayah. Rasa sakit ditulang-tulangku karena bantingan ayah. Semua itu berputar-putar menjadi satu. Aku menangis. Kulindungi diriku sendiri dengan kedua tanganku.
Kurasa aku menjerit. Matteo langsung terduduk. Dia menangkapku. Dia menangkap kedua bahuku. Dibawanya bahuku ke dadanya. Aku menangis di pelukannya. Kukira aku akan merasakan sakit seperti sepuluh tahun yang lalu. Ternyata Matteo tidak menyakitiku. Matteo memelukku. Aku masih menangis tapi tidak menjerit. Rasanya sesuatu seperti mendorongku tidak berhenti menangis. Tapi Matteo masih memelukku seberapapun lamanya aku menangis.
Aku menggeleng. Dia tidak menyakitiku. Dia bukan ayah. Dia hanya sedang minum dan kebetulan aku melihatnya. Bukan berarti dia akan melakukan seperti yang ayah lakukan. Irene bodoh. Kuhapus air mataku. Susah payah kuhentikan tangisku. Aku menangis sampai sesenggukan. Apa sih yang kupikirkan? Ayah? Rasa sakit yang ditinggalkan ayah? Adegan yang sama ketika melihat orang mabuk?
Aku melepaskan diri dari tubuh besar Matteo, ekspresinya seperti baru saja melihat anaknya jatuh dari tangga. Apa dia khawatir? Apa Matteo mengkhawatirkanku? Aku ... Apa sekarang saatnya GR, Irene? Aku menggeleng.
Kutatap mata hijau itu meski takut-takut. Dimata itu ada ketenangan. Dimata itu ada kelembutan. Dimata itu ada kedamaian. Sesuatu yang tidak kumiliki selama ini. Dia menatapku seperti dia menatap anak-anaknya. Tatapannya teduh. Apa dimatanya aku masih anak-anak? Irene bodoh. Apa sih yang kamu pikirkan?
"Aku ..." Aku gugup lagi. Selalu seperti itu. Aku menelan ludah, berharap setelah ini tidak gugup lagi. "Aku." Baru satu kata, aku langsung tersenyum. Berhasil. Aku sudah tidak gugup lagi.
"Apa yang kamu pikirkan, Irene?." Dia tidak memarahiku karena tau-tau menangis. Dia hanya memelukku tanpa bertanya apapun. Dia tidak menegurku sewaktu aku menjerit padahal ini tengah malam. Dia ... Dia bertanya apa yang aku pikirkan. Sepertinya aku akan menangis lagi. Tidak. Tahan dulu. Ada apa sih dengan Matteo... Dia... Dia yang aku butuhkan.
Aku menggeleng. "Aku mau pulang!." Aku merengek. Aku merengek lagi. Astaga. Kenapa sih aku selalu tidak bisa menahan diri setiap dengannya. Matteo melipat bibir tipisnya, kurasa dia menahan senyum.
"Gimana caranya kamu jadi ibunya Lily kalo masih merengek begitu?." Eh? Apa? Lily? Anak perempuannya yang paling besar. Kurasa kupingku bermasalah. Sepertinya aku salah dengar. Dia mengangkatku berdiri. Kedua tangannya yang besar memegangi bahuku. Dia menunduk untuk melihat mataku. Aku tahu, aku memang hanya sebatas dadanya. "Tidur dulu bayi, besok kuantar pulang."
Aku menggeleng kesal. "Aku mau pulang sekarang! Ibu pasti nunggu aku." Aku merengek lagi. Kali ini benar-benar parah.
Dia terlihat menghela nafas panjang. "Apa kalo kamu nggak pulang sekarang ibumu akan marah?." Dia menanyaiku dengan lembut. Aku meleleh. Kuingat-ingat, apa ibu pernah marah ketika aku pulang terlambat? Kurasa tidak. Ibu tidak pernah menanyaiku seperti Matteo menanyaiku. Ibu tidak pernah mau tahu apapun tentangku. Ibu hanya peduli tentang dirinya. Lalu selama ini apa yang kulakukan, memastikan ibu bahagia sampai melupakan kebahagiaanku?
###
Heyyy🐰
Akhirnya aku update lagi😙,
Maaf ya lama nggak update.
Semoga kalian sukaaa😘
Jangan lupa tinggalin vote sama komen guys.
Love u all form me❣️
Sayang kalian banyak banyak🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Dream
RomanceDinikahi laki-laki beranak tiga yang setampan David Beckham saat masih muda, disaat usiaku masih 17 tahun! Aku menelan ludah. Dia... uhm ... Bagaimana aku menggambarkannya... Aku kehabisan nafas. Dia luar biasa tampan. Sangat seksi dan matang. Ini...