bab 43.

2.3K 276 38
                                    

Aku selesai mengoles roti dengan selai, lalu mengambil beberapa apel dan pisang, terakhir menyiapkan susu putih untuk Lily. Begitu semua masakanku siap, tepat, saat itu Lily muncul. Baju tidurnya berantakan, rambutnya acak-acakan, mukanya kusut, seperti masih sangat mengantuk dia menyeret kursi dan duduk di kursi makan. "Gimana tidur kamu, nak?."

"Masih sangat ngantuk." Jawabnya sambil menahan kantuk.

"Ingin tidur lagi setelah sarapan?." Matanya melebar.

"Boleh, ma?."

"Tentu sayang." Dia tersenyum lebar, padahal ini bukan apa-apa, tapi dia tampak senang. Sehari-hari Matteo memang begitu ketat mendisiplinkan anak-anak, memberi anak-anak sedikit kelonggaran merupakan hal mewah untuk mereka.

"Mama ada jadwal setelah ini?."

"Hanya meeting dengan om Nande sementara kamu tidur." Dia mengangguk. "Kamu ingin makan sesuatu?." Lily berfikir sejenak, mukanya terlihat antusias tapi juga takut-takut.

"Nasi gorong abang-abang boleh?." Aku tersenyum.

"Selama di sini kamu boleh makan apa aja, nak. Kalo mau sesuatu bilang, ya."

"Bubur ayam?."

"Kamu mau?."

"Boleh?." Aku menghembuskan nafas panjang.

"Kapan sih mama pernah melarang-larang kamu."

Dia tersenyum kesenangan. "Makasih, ma."

"Buat anak mama yang paling manis ini apa sih yang enggak." Dia tertawa. Tuhan. Sesederhana ini tapi aku begitu bahagia, menjadi ibu dan melihat anak-anakku tumbuh dengan baik.

***

Aku sedang memimpin rapat di perusahaan, hari ini aku memang sengaja mengosongkan semua jadwalku karena Lily pulang. Setiap kali anak-anak pulang ke Indo, itu akan jadi jatah liburku. Berhubung pagi ini gadis manisku masih tidur dan belum bangun, aku berinisiatif ke kantor untuk memimpin rapat langsung. Dihadapanku ada lima orang jajaran direksi beserta Nande.

Perusahaanku memang belum jadi perusahaan raksasa, tapi perusahaan ini dalam kurun waktu hampir empat tahun sudah banyak bertumbuh. Dulu, kami menyewa kantor di gedung orang, sekarang kami sudah punya gedung sendiri meskipun hanya gedung enam lantai. Aku mencurahkan semua yang kubisa untuk perusahaan ditengah-tengah kesibukan keartisanku.

Aku menautkan telapak tangan di depan hidung. "Ada saran lain?." Pandanganku menyapu kelima jajaran direksi ini.

"Dari berita terpanas minggu ini Bimo Rava digosipkan sedang dekat dengan anda, bagaimana kalo kita memanfaatkan momentum ini dengan mengandeng Bimo Rava bersama anda untuk membintangi iklan terbaru produk kita." Pak Michel menyarankan, pria dengan kemeja rapi dan kacamata kotak. Dia dulu adalah salah satu lulusan terbaik UGM. Aku menemukannya dua tahun yang lalu, saat diundang ke UGM untuk menjadi pembicara di sebuah seminar. Dia dulu presiden BEM, masih muda tapi sangat kerismatik, sejak saat itulah aku terpesona dengan caranya memimpin.

Aku mempertimbangkan sejenak lalu menggeleng. "Yang lain?."

"Sepertinya artis Ridha Mikaela cocok dengan konsep kosmetik kita. Dia masih muda, bertalenta, terkenal, punya pembawaan yang manis dan ceria, sesuai dengan branding produk kita." Aku mengangguk-angguk, berfikir sebentar.

"Baik. Nande, tolong hubungi Ridha Mikaela untuk membicarakan kontrak ini, untuk selanjutnya atur pertemuan dengan perusahaan periklanan untuk membicarakan konsep iklan kita." Semua direksi mengangguk, aku menyapu semua pasang mata. "Ada lagi yang perlu kita bahas?."

"Mengenai--" Kalimat pak Deni tertahan karena ponselku tau-tau berdering. Nama 'kaka manis' tertera di layar, itu Lily. Aku langsung mengangkatnya.

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang