Sepertinya aku sudah tertidur lama, aku sudah dipindahkan ke dalam ruang perawatan. Aku dibaringkan di ranjang tunggu, di sebelah kiri ranjangku ada Arthur yang tertidur. Luka-lukanya sudah diobati, dia juga sudah berganti baju. Kalau dalam keadaan baik-baik saja malam-malam pukul dua begini anak itu akan tidur dalam dekapanku. Kami memang selalu tidur bersama, Alana di sisi kiriku dan Arthur di sisi kananku. Kalau ada Lily dia tidur di sebelah kiri Alana.
Tapi malam ini berbeda, Arthur ada di rumah sakit. Aku memejamkan mata menahan amarah mengingat bagaimana anak-anak itu menyakiti anakku. Dia anak yang manis. Dia kesayanganku. Dia disakiti. Rasa sakit yang kurasakan bahkan mengalahkan rasa sakit saat Matteo meninggalkanku dulu. Rasanya aku ingin sekali membuat anak-anak itu merasakan apa yang anakku rasakan. Bagaimana Arthur menahan kesakitannya. Bagaimana Arthur tidak berdaya dan anak-anak itu mengeroyokinya. Dia sendirian. Tidak ada yang menolongnya. Aku bersumpah tidak akan pernah membiarkan hidup anak-anak itu baik-baik saja. Mereka menyakiti anakku, mereka berurusan denganku, mereka berurusan dengan orang yang salah.
Aku turun dari ranjang dan duduk di samping ranjang Arthur. Kuperhatikan dia baik-baik, ada lebam membiru dipipinya, luka dibibirnya yang sobek sudah dibersihkan. Didahinya ada perban kecil. Tulang pipinya tampak lebih membiru. Anakku yang manis. Kenapa kamu begini nak? Kenapa tidak melawan saja? Kenapa tidak melapor pada mama saja? Kenapa kamu sampai musti berbohong sedang di kantor padahal pergi dengan teman-temanmu? Mereka mengancammu? Mereka memintamu ikut pergi? Katakan sama mama? Katakan sama mama apa yang terjadi nak? Katakan sama mama apa yang mereka lakukan padamu?
Sayangnya Arthur masih pingsan dia tidak mengatakan apa-apa padaku.
"Dia tadi sudah sadar, baru saja tidur lagi pukul dua belas." Matteo menyodoriku kopi panas. Dia sudah berganti baju, Matteo mengenakan kaos yang lebih santai. Wajahnya juga tampak lebih tenang, tidak tegang dan ketakutan seperti tadi sore. Aku tidak menyadari keberadaanya saking sibuknya dengan pikiran sendiri. Mungkin dia terbangun mendengar pergerakanku, Matteo sangat peka, sedikit suara atau bahkan gerakan saja meskipun sedang terlelap dia bisa langsung terjaga. "Bagaimana keadaanmu, Irene? Pusing atau ada yang sakit?." Aku menggeleng, menerima coklat panas itu, panas dari gelas itu membuat tanganku berjingkat. Matteo langsung mengambilnya dari tanganku. Wajahnya jadi terkejut. "Apa sangat panas?."
Aku menggeleng. "Aku harusnya pegang cangkirnya bukan di gelasnya." Matteo tersenyum.
"Biar aku tiup." Katanya lalu meniup coklat itu. Setelah merasa sudah agak hangat diberikannya coklat itu padaku lagi.
Aku menyeruput coklat itu, panas coklat itu membakar lidahku. "Apa kata dokter?." Matteo bersandar pada ranjang anaknya, dia bersedakep, mata hijau itu melihatku lurus.
"Tidak ada yang serius, hanya lebam-lebam." Mendengar itu rasanya seperti ada bongkahan es yang menyiram dadaku, aku tidak pernah merasa lega sekali begini. Rasanya rasa syukurku tidak terhingga. "Mereka mengatakan Arthur boleh rawat jalan tapi aku meminta dia dirawat inap, kupikir itu lebih baik." Aku mengangguk menyetujuinya sambil meminum coklat itu. "Aku akan panaskan makanan, kamu belum makan apa-apa sejak sore. Kamu ingin makan sesuatu, kalo kamu mau makan sesuatu aku akan minta mereka untuk membuatkannya? Kamu menginginkan sesuatu?."
Aku menggeleng. Membicarakan makanan mendadak membuatku merasa lapar, aku terlalu marah, terlalu khawatir, terlalu kesal dengan diri sendiri sampai lupa sedari sore tidak memakan apapun. "Aku makan apa saja." Matteo tersenyum kecil.
"Sangat khas Irene Ava. Suka lagu apa? Aku suka lagu apa aja. Suka makanan apa? Aku makan aja saja. Sesekali kamu harus menyukai sesuatu, kamu harus tahu rasanya menginginkan sesuatu sampai rasanya sangat ingin, seperti berambisi."
Harusnya kamu tahu, aku menginginkanmu sampai rasanya mau mati. Aku menggeleng, menyingkirkan pikiran biadab itu. Aku tidak menjawabnya, Matteo pergi ke pantry untuk memanaskan makanan di microwave.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Dream
RomanceDinikahi laki-laki beranak tiga yang setampan David Beckham saat masih muda, disaat usiaku masih 17 tahun! Aku menelan ludah. Dia... uhm ... Bagaimana aku menggambarkannya... Aku kehabisan nafas. Dia luar biasa tampan. Sangat seksi dan matang. Ini...