Aku duduk bersila di atas tempat tidurku sambil memeluk bantal. Sudah dua jam aku hanya begini. Pukul sembilan tadi Matteo mengantarkanku pulang, sejak kejadian tadi aku resmi keluar dari sekolah. Matteo bersikeras mengeluarkanku dari sekolah. Aku sebenarnya tidak mau. Toh aku masih bisa bertahan satu tahun lagi. Tapi Matteo yang keras kepala itu terus-terusan membujukku.
"Bukankah ini yang kamu inginkan, kamu ingin keluar dari sini, kamu sekarang bebas, bayi."
Aku melotot. "Aku cuma mau keluar dari sini kalo aku lulus."
"Kamu bisa lulus tanpa bersekolah di sini."
"Aku cuma mau sekolah di sini sampe aku lulus. Kenapa sih kamu kekeh banget."
"Karena itu sebenarnya yang kamu inginkan."
"Kamu ini budeg atau pura-pura nggak denger! Aku cuman mau lulus dari sini."
Matteo menghela nafas panjang. "Kalau kamu home schooling kamu bisa punya waktu yang lebih banyak buat kerja di Cafe, kamu bisa dapet lebih banyak bonus, bayi."
Aku nyaris mengumpatinya. "Kamu pikir aku semiskin itu!."
Kami sampai berdebat di ruangan kepala sekolah. Yang berakhir tentu saja dengan kekalahanku, Matteo itu tidak akan berhenti sampai aku mengalah. Jadi kuputuskan akan mengikuti maunya. Dia menjanjikanku home schooling, jadi aku tidak perlu bertemu dengan orang-orang yang kurasa tidak cocok denganku setiap hari. Sebenarnya aku harus bersyukur juga, dia mau sampai sejauh itu peduli denganku.
Kubuka galeri di ponselku yang lama, lalu aku tertawa miris untuk diriku sendiri. Didalam geleriku hanya ada foto ibu, fotoku dengan Tia lalu selebihnya hanya ada foto-foto kiriman dari grup WA. Sesuatu yang tidak pernah kusadari selama ini, ternyata aku sendiri. Tenyata aku sama sekali tidak punya teman. Ternyata aku tidak punya seseorang yang bisa kuandalkan.
Semua itu kulakukan karena aku terlalu banyak bekerja, bekerja untuk membahagiakan ibu. Aku tidak sempat memulai hubungan dengan orang baru. Aku tidak sempat mencari teman. Bertahun-tahun aku begitu. Sejak lulus SD sampai sekarang SMA, aku sama sekali tidak punya teman. Kukira itu bukan sesuatu yang perlu kukhawatirkan. Aku bisa hidup dengan baik tanpa teman. Toh aku masih bisa bahagia ketika ibu bahagia. Aku bisa bekerja dan mengumpulkan uang banyak. Bagiku itu sudah cukup. Teman... Ah, kurasa aku tidak perlu itu.
Sampai kejadian tadi menimpaku. Kalian tahu yang kurasakan... Teman sekelasku melihatku dibully habis-habisan oleh Reta dan Kalisa tapi tidak ada satupun dari mereka yang mengulurkan tangan menolongku. Seasing itukah aku untuk mereka? Kukira itu memang salahku, dulu sewaktu kami masih anak baru, orang-orang berebut berteman denganku, mereka menyukaiku karena mereka pikir aku anak yang paling anteng dan tidak neko-neko. Mereka pikir berteman denganku adalah cari aman. Di kelas, geng perempuan dibagi menjadi dua kubu. Perempuan-perempuan yang tidak tergabung kedalam kedua kubu itu memutuskan mengajakku berteman.
"Irene, ayo ke kantin bareng." Ajak Nessi cewek berponi yang punya tubuh gemuk.
Aku mengangguk lalu kami makan di kantin sambil membicarakan sekolah baru kami.
Sejak saat itu Nessi yang mudah bergaul dan sudah punya banyak tema pun, mengajak teman-temannya untuk ikut berteman denganku. "Irene ya." Afi, temannya Nessi yang bertubuh tinggi dan kurus tapi punya wajah dengan lesung pipi yang membuatnya tampak sangat manis. Afi mengulurkan tangan mengajakku kenalan. Aku menjabat uluran tangannya. "Afi." Katanya dengan lesung pipi yang mengembang.
Lalu Dena, Nella, Wilda, Yoshi yang juga teman-temannya Nessi ikutan berteman denganku. Kami selalu berkumpul dan membicarakan kakak kelas yang tampan ketika jam kosong. Kami juga selalu ke kantin bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Dream
RomanceDinikahi laki-laki beranak tiga yang setampan David Beckham saat masih muda, disaat usiaku masih 17 tahun! Aku menelan ludah. Dia... uhm ... Bagaimana aku menggambarkannya... Aku kehabisan nafas. Dia luar biasa tampan. Sangat seksi dan matang. Ini...