"Aku nggak mau bikin ibu khawatir." Dia tersenyum. Seperti bangga padaku. Tapi apa yang dibanggakannya denganku.
"Anak pintar." Matteo mengacak-acak rambutku. Jantungku rasanya mau copot. "Baik. Ganti bajumu aku tunggu di mobil." Aku mengernyit. Kulihat bajuku. Piyama sutra yang sangat lembut. Astaga! Siapa yang menggantikan bajuku.
"Matteo, sialan! Siapa yang gantiin bajuku?!." Aku menjerit. Membuatnya berbalik melihatku. Kukira dia akan marah. Tapi ternyata dia cuman tersenyum tipis yang nakal lalu mengangkat alis. Aku ... Aku tidak berkedip melihat ekspresinya. Dia bapak-bapak beranak tiga, kok bisa sih punya tampang sebajingan itu. Dia memiringkan kepalanya dengan tampang brengsek. Kurasakan sesuatu mengelitiki perutku.
"Shhtt ... Mengumpatnya nanti saja di mobil, Lily nanti dengar." Dia hanya mengatakan itu, tersenyum lagi lalu berbalik begitu saja. Aku terpaku beberapa saat. Begitu tersadar cepat-cepat mengganti bajuku.
***
Matteo sudah menunggu di mobil ketika aku keluar rumah. Dia sudah berganti baju. Dia mengenakan kaos polos hijau navy, jins dan jaket tebal. Begitu melihatku masuk mobil tampangnya langsung berubah tidak suka. Kenapa sih dia? Kurasa aku tidak melakukan kesalahan, kenapa dia terlihat marah?
Aku duduk di kursi belakang, didekatnya. "Kamu ini kenapa sih?." Kataku sewot. Bodoh amat! Matteo melakukan apapun sesukanya di depanku masa aku jaim-jaim didepannya.
"Setidaknya pakai sesuatu yang lebih tebal. Malam-malam begini! Apa yang ku pikirkan?." Suaranya terdengar kesal.
"Apa sih pedulimu?!." Aku memutar bola mata, menjawabnya ketus. Siapa yang menggantikan bajuku masih membuatku kesal.
Dia memakaikanku jaket tebalnya. Aku membeku. "Pakai itu dan tidur, Irene. Rumahmu masih jauh, setengah jam lagi." Dia seperti ayah. Dia mendewasaiku. Dia peduli denganku. Dia tahu aku kedinginan.
Aku masih melihatnya, ketika dia memakaikanku sabuk pengaman. Caranya memperlakukanku sangat lembut. Dia memahamiku. Kurasakan sesuatu meluncur turun dari dadaku, sesuatu yang dingin seperti es. "Sudah tidur lagi, bayi." Dia mengatakan itu, membenarkan posisinya mendekat ke tempatku. Lalu dengan lembut dibawanya kepalaku dipundaknya. Aku menurut seperti orang bodoh.
Selama ini, sepuluh tahun terakhir ini, selain ayah, tidak pernah ada lagi yang memperhatikanku seperti ini. Matteo ... Aku ingin dia melakukannya lagi. Aku ... Aku kangen ayah. Air mataku meluncur turun. Aku tidak ingin menghapusnya. Toh Matteo tidak tahu. Aku menangis tanpa suara kok.
"Kamu menangis, Irene?." Eh? Kok dia tahu. Aku langsung menggeleng dipundaknya.
"Enggak kok. Aku nggak nangis." Kataku cepat-cepat.
Dia malah tertawa. "Tapi kok bahuku basah." Cepat-cepat kulihat bahunya. Astaga! Air mataku turun membasahi bahunya.
"Kenapa sih kamu selalu menangis, Irene? Hmm? Sesuatu menganggu kamu? Kamu teringat sesuatu? Atau kamu terharu aku ternyata sebaik ini." Kucubit pahanya. Dia malah terkekeh. Tangan besarnya mengusap-usap rambutku dengan gerakan pelan. Rasanya lembut dan menenangkan. Lalu aku teringat sesuatu. Aku belum keramas tiga hari ini karena terlalu repot bekerja. Apa Matteo menyadari itu? Apa dia tahu? Dia saja tengah malam keramas, masa aku yang cewek malah males begini. Kupejamkan mata rapat-rapat, berharap dia tidak menyadari itu.
"Kamu tidak keramas berapa hari, Irene?." Katanya dengan nada mengejek. Astaga. Dia tahu. Tapi anehnya tangan besar itu masih mengusap rambutku, padahal dia tahu aku belum keramas. Apa dia tidak risih?
***
Aku terbangun ketika sesuatu menepuk-nepuk pipiku pelan. Aku terlonjak sebentar. Mata hijau itu langsung menatapku, aku gelagapan. Matteo mengangkat alis. "Kamu kenapa sih? Kita udah nyampe?." Aku melihat sekeliling yang masih gelap. Ini bukan kawasan rumahku, ini kawasan SCBD. Sebenarnya aku mau dibawa kemana sih? "Kita kemana?."
Bukannya menjawab pertanyaanku, Matteo malah balik bertanya. "Kamu baik-baik saja?." Katanya terdengar khawatir. Alisnya mengkerut, dia melihatku seperti ingin memastikan sesuatu. Tapi sesuatu apa?
Kuacuhkan dia dengan berpaling melihat jendela. "Apa sih? Nggak nyambung banget!."
Terdengar suara kekehannya yang renyah. Kenapa dia malah terkekeh. "Bagus kalo begitu." Eh? Apanya yang bagus. Aku langsung menoleh, melihatnya kesal. "Kamu langsung mengomel, itu artinya kamu baik-baik saja. Ayo turun, Irene." Dia melepaskan safety beltku dengan hati-hati. Aku masih memperhatikannya. Lalu cepat-cepat berpaling ketika dia tau-tau mendongak dan langsung melihat mataku. Ya ampun! Aku tertangkap basah memperhatikannya. "Aku tahu aku sangat tampan. Seharusnya kamu tidak perlu malu memperhatikanku begitu."
"Ngomong apa sih? Nggak jelas!." Kujawab ketus.
Dia malah tertawa. "Ayo turun." Ajaknya lembut. Padahal dia laki-laki dengan tubuh proposional, sangat tampan dan tentu saja seksi tapi kenapa aku merasa dia seperti ibu-ibu. Perlakuannya lembut. Cara bicaranya, seolah aku ini anaknya. Ibu saja tidak pernah memperlakukanku dengan cara selembut ini. "Kamu tidak ingin turun, Irene?."
Aku melotot. Dia sejak tadi keras kepala menyuruhku turun. Ini tengah malam. Aku mau dibawa kemana? Aku memejamkan mata, dasar bodoh! Matteo itu orang asing. Dia laki-laki liar yang bisa tidur dengan perempuan mana saja yang ditemuinya. Bodohnya kamu, Irene! Aku melipat tangan didepan dada, melindungi diri sendiri. Kuberikan tatapan paling galak yang kupunnya. "Aku mau pulang! Anterin aku pulang! Kalo enggak ... " Aku mengawasi matanya, dia terlihat susah payah menahan tawa. Apa sih yang lucu disini? "Kalo enggak! Aku bakal teriak. Disini masih banyak orang. Aku bakal teriak! Matteo!!!." Kuultimatum dia dengan segalak yang kubisa.
Dia malah tertawa, setelah susah payah menahan tawa. Lalu berdehmen sebentar sebelum berbicara. "Apa sih yang kamu pikirkan gadis cantik. Aku hanya memintamu turun untuk makan." Dia tersenyum dengan tampang bajingan. "Atau kamu memikirkan sesuatu yang lain?." Dia mengejekku.
Kutegakkan punggungku. Kuangkat daguku. Kulebarkan bahuku. Pura-pura tidak menyadari kebodohanku. Kukatakan dengan ketus. "Aku mau pulang. Aku nggak mau makan."
Dia terlihat menghela nafas panjang. "Kamu akan kuantar pulang setelah makan. Makan dulu, bayi."
"Enggak! Aku mau pulang!." Aku merengek. Berapa kali sih aku merengek didepannya. Dasar Irene bodoh!
"Seberapa keras sih kepalamu? Kamu belum makan sejak sore. Makan dulu lalu kuantar pulang, setelah itu kamu boleh langsung tidur sampai pagi." Aku mendadak diam, ternyata dia memintaku makan karena aku belum makan sejak sore. Seharusnya ini biasa saja. Seharusnya aku tidak terharu karena dia mengkhawatirkanku. Tapi kenapa aku malah ingin menangis. Aku tidak terbiasa makam malam, karena harus kerja. Setelah kerja aku langsung pulang dan tidur. Tidak ada yang memperhatikanku. Tidak ada yang memperdulikanku sudah makan atau belum. Dia ... Dia memberi yang tidak kupunya selama ini. "Ayo makan dulu, bayi." Dia melebarkan mata hijaunya mendekat melihat mataku. Ekspresinya langsung berubah serius. "Sesuatu menggangu kamu? Setiap dekat denganku kamu selalu menangis. Kamu ingin cerita? Kamu ingin aku mendengarmu? Atau kamu ingin aku melakukan sesuatu untukmu?."
Air mataku meleleh. Kuhapus cepat-cepat. Lalu aku menggeleng tegas. Membuka pintu mobil lalu turun dengan cepat.
***
Halo semuaaa🐰,
Saya update lagiSemoga suka ya,
Kalo suka kalian bisa vote dan comen😚Love u all guys❣️
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Dream
RomanceDinikahi laki-laki beranak tiga yang setampan David Beckham saat masih muda, disaat usiaku masih 17 tahun! Aku menelan ludah. Dia... uhm ... Bagaimana aku menggambarkannya... Aku kehabisan nafas. Dia luar biasa tampan. Sangat seksi dan matang. Ini...