Aku semakin membaik setelah seharian istirahat total. Anak-anak juga sangat bisa diandalkan, mereka merawatku dengan baik. Meski masih panas, sedikit batuk, pilek dan pusing tapi sudah agak lebih baik. Anak-anak yang seharusnya pulang hari ini, mereka mengeluh tidak ingin pulang, aku menenangkannya dengan mengatakan kondisiku sudah betulan membaik. Mereka pergi sendiri ke bandara tanpa kuantar.
"Ma ... Satu hari aja ... Setelah mama benar-benar sembuh nanti kita akan pergi tanpa kuatir lagi." Alana memohon, dia duduk di pinggir ranjang. Dengan jaket, topi dan celana panjang, siap pergi ke bandara. Arthur juga melihatku tidak tega.
"Kita nanti khawatir kalo di sana, ma."
Aku melihat keduanya dengan tatapan teduh. "Sayang, mama benar-benar nggak pa-pa. Cuman kecapean biasa aja, namanya sembuh ya harus bertahap, nak." Aku memegang tangan Alana. "Besok mama juga pasti sembuh. Hari ini kalian merawat mama dengan sangat baik." Aku mengusap pipi anak itu. "Kalian sangat bisa diandalkan, mama bangga sama kalian."
"Ma ..." Alana merengek. Aku memberinya senyum menenangkan.
"Mama beneran nggak pa-pa. Kalian harus pulang. Besok kalian sekolah, nak." Aku melihat Arthur.
"Kita bolos satu hari aja nggak pa-pa kok, ma." Kata Arthur memohon.
"Mama besok pasti udah sembuh, lagian besok mama harus balik kerja." Dua anak itu melihatku tidak rela. "Mama beneran nggak pa-pa." Aku meyakinkan mereka. Dengan berat hati mereka akhirnya mau pulang. Mereka bangkit berdiri dan meninggalkanku dengan tidak rela.
Keesokan harinya aku bangun dini hari seperti biasa. Panasku sudah lumayan turun, batuk pilekku juga sudah mendingan, meski masih sedikit pusing. Dengan jaket tebal dan tubuh yang tertutup selimut semuanya, aku memeriksa beberapa berkas, menyelesaikan pekerjaan kantor di atas tempat tidur. Karena masih dalam pemulihan dan tubuhku yang sedikit sempoyongan jika harus turun dari ranjang.
Seharusnya hari ini aku masih belum boleh beraktivitas, dokter menyarakan agar beristirahat dalam beberapa hari, tapi aku punya kontrak yang tidak dapat dibatalkan. Kontrak di salah satu acara tv yang live. Aku nanti akan yoga, makan banyak-banyak dan meminum obat, semoga setelah ini kondisiku makin membaik.
Nyatanya pukul enam setelah yoga yang tertatih-tatih, sarapan banyak sekali dan meminum obat, kondisiku tidak juga membaik, hanya untuk turun dari ranjang saja rasanya sempoyongan. Entah kenapa aku merasa lemas dan tidak punya tenaga sama sekali. Aku sampai harus membatalkan rapat pagi dengan Nande. Dia memeriksa kondisiku sebentar, lalu menelfon dokter untuk memeriksaku lagi. Dokter itu menyarankanku untuk istirahat lagi karena belum pulih total. Aku mengangguk, tapi tetap mendatangi acara variety show pagi itu. Mungkin sedikit memaksakan diri tidak masalah.
Hal buruknya aku harus ke acara itu seorang diri karena Tia cuti, semingguan dia cuti karena ada anak-anak di sini, dia sama sekali tidak tahu kalau aku sakit. Aku juga tidak berniat memberitahunya, dia sedang berlibur dengan kedua orang tuanya, aku tidak mungkin menganggu liburan mereka. Aku membawa perlengkapanku sendiri dalam tas jinjing yang lumayan besar.
Di dalam mobil aku hanya memejamkan mata sambil menahan pusing, pilek dan batuknya sudah mereda hanya badanku makin panas. Semoga syuting nanti semua lancar meski sedikit sempoyongan. Aku tiba di sana, duduk di kursi khusus yang sudah di siapkan untukku, make up artis itu sampai berjingkat merasakan panas tubuhku. Aku tersenyum menenangkan dan mengatakan tidak apa-apa, aku bisa mengatasinya. Cewek itu melihatku tidak percaya tapi akhirnya mengangguk dan memilih tidak ambil pusing lagi.
Pada segmen pertama aku muntah. Astaga aku lupa, aku tadi meminum obat pereda pusing tanpa makan. Dalam perjalanan tadi aku pusing sekali, aku lupa aku hanya sarapan pagi dan tidak makan sesuatu sebelum menenggak pil itu. Argh! Yaampun, bisa-bisanya aku ceroboh begitu.
Beberapa kru mengerubungiku, mereka memberiku minyak kayu putih dan memijat tengkukku. Bayu Sadewo, pemain film yang sedang naik daun itu sampai memapahku berjalan. Orang-orang jadi ribut sendiri. Aku menggeleng sewaktu mereka mengusulkan aku pulang saja dan istirahat. Aku sudah dikontrak, aku tidak ingin mengecewakan kontrak yang sudah kusepakati.
Segmen kedua mulai dan aku menarik nafas panjang. Berusaha mengusir pusing di kepala. Mati-matian aku tetap fokus sewaktu ditanyai beberapa pertanyaan. Aku nyaris jatuh kebelakang sewaktu Dewo tidak sengaja menyenggol lenganku. Dalam kondisi begini, sedikit senggolan saja aku bisa ambruk.
Kamera beralih pada para host, Dewo dan beberapa kru bertanya khawatir apa aku masih bisa melanjutkan. Aku mengangguk meski tidak yakin. Dewo yang tahu kapan saja aku bisa ambruk, dia mendekat ke tempatku. Tangannya menahan tubuhku dibelakang, menjaga tubuhku agar tetap duduk tegap. Dia berkelakar dengan tampang jahil di depan kamera. Dia menggantikanku menjawab setiap pertanyaan. Sewaktu kamera beralih ke yang lain, dia beberapa kali bertanya apa aku baik-baik saja. Aku mengangguk dan memberinya senyum sedikit.
Mataku makin panas, tubuhku juga makin panas. Aku tersenyum saja sewaktu ditanyai pertanyaan, Dewo yang mengerti meski tanpa kuberi tahu langsung sigap menggantikanku menjawab. Rasanya semua tubuhku panas, lemas dan aku hampir terjungkal ke depan kalau saja Dewo tidak menahanku. Dia yang sedang berbicara dengan yang lain sampai terkejut merasakan aku yang hampir terjungkal. Tidak peduli di depan kamera, tidak peduli kamera sedang menyorotnya. Dia menunduk padaku, menyingkirkan anak rambutku, melihatku sangat khawatir.
Sampai akhirnya acara di stop dahulu dan beralih pada iklan. Orang-orang mengerubungiku dan saat ini aku benar-benar tidak kuat, aku menyerah, menyandarkan tubuh pada bahu Dewo yang lebar. Dewo menjaga tubuhku, lalu kegelapan membawaku pergi.
***
Aku merasa seseorang berteriak menepuk-nepuk pipiku. Suara orang-orang ribut, suara berisik. Suara Dewo yang dekat sekali. Seseorang menghirupkan minyak kayu putih di hidungku. Mataku panas, seluruh tubuhku panas, aku bahkan tidak punya tenaga untuk membuka mata. Tapi aku mengenali suara itu, suara berat yang sangat kukenal, itu suara Matteo. Suaranya terdengar sangat khawatir, persis seperti enam tahun yang lalu saat dia mencegahku bunuh diri.
Dia dekat sekali, suaranya di atasku. Aku bahkan bisa merasakan deru nafasnya yang memburu di atas hidungku. Tangannya yang besar menepuk-nepuk pipiku dengan lembut. Dari semua tepukan tangan di pipi hanya Matteo yang bisa melakukannya dengan cara selembut itu. Dia berbicara lagi, menyebut namaku dengan suara beratnya yang selalu lembut untukku.
Lalu merasa tidak berhasil, dia mengangkat tubuhku. Tubuhku terayun-ayun di udara. Tangan besarnya mengangkat tubuhku. Suara orang-orang terkesiap. Decakan takjub orang-orang terdengar. Sepertinya Matteo membawaku keluar. Tubuhku terayun lama, dia berbelok beberapa kali, disepanjang yang kami lewati aku mendengar banyak suara pekikan perempuan. Laki-laki juga. Aku tahu, mereka pasti terkejut ada seorang laki-laki yang tau-tau datang menyelamatkanku padahal biasanya aku terkenal dingin dan sangat susah didekati laki-laki manapun.
Langkahnya tergesa, dia membawaku masuk ke mobil. Aku terlalu lemah untuk menolak sewaktu dia membawaku ke pangkuannya. Dia membawaku duduk di kursi belakang dan memangkuku, sepertinya dia membawa supir. Rasanya seperti de javu, kapan terakhir kali kami begini. Kapan terakhir kali aku mencium aromamu sedekat ini. Kapan terakhir kali kami sedekat ini. Ah enam tahun yang lalu, saat khayalanku tentang cinta sejatu dan menjadi ratu terasa nyata waktu itu.
Matteo mengumpat beberapa kali, dari gerakannya dia tidak tenang. Dia membentak supir yang membawa mobil lamban sekali katanya padahal kurasa kami sedari tadi ngebut.
Susah payah aku membuka mata. Sebelah tanganku berpegangan pada lengannya. "M--matt ... tteo ... a--ku ... duduk sendiri aja." Seketika mata yang tampak gusar itu melihatku. Begitu melihatku tersadar, dia memelukku. Aku merasakan detak di dadanya yang luar biasa memburu. Aku merasakan kehangatan dada itu lagi, dada yang dulu memelukku penuh kelembutan. Apa sekarang aku merindukannya? Setelah kejahatannya? Setelah semua kerusakannya padaku? Lebih baik aku mati daripada melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Dream
RomanceDinikahi laki-laki beranak tiga yang setampan David Beckham saat masih muda, disaat usiaku masih 17 tahun! Aku menelan ludah. Dia... uhm ... Bagaimana aku menggambarkannya... Aku kehabisan nafas. Dia luar biasa tampan. Sangat seksi dan matang. Ini...