bab 9

7K 339 3
                                    

Aku menganga lalu menelan ludah. Matteo gila. Dia mengajakku makan di salah satu restoran paling mewah di daerah SCBD. Yang benar saja. Kuraba kantong jinsku. Selamat dompetku masih ada di sana. Masalahnya isi dompetku. Aku belum gajian. Kalaupun gajian juga pasti tidak akan cukup. Harga per makanannya saja bisa mencapai satu juta.

Kutarik lengan Matteo yang besar. Dia menoleh melihatku. Alisnya terangkat. Aku menelan ludah sebelum berbicara kupasang tampang paling melas yang kupunnya. Berharap dia mengasihaniku. "Gimana kalo kita pulang aja."

Alisnya mengkerut tidak suka. Kok aku jadi takut? Saat kukira dia akan marah. Dia malah menanyaiku. Kuhembuskan nafas lega. "Pulang? Kenapa? Kamu harus makan dulu bayi." Perintahnya tegas. Seperti ayah dulu. Seperti ayah saat belum berubah jadi monster mengerikan.

Aku menggeleng. Bodohnya kamu, Irene! Kamu belum menyiapkan alasan kenapa kamu mau pulang. Aku menelan ludah bersamaan dengan sebuah ide pintar dari otakku yang kecil ini yang tau-tau muncul. "Gimana kalo kita makan di rumahku aja. Aku masak buat kamu deh."

Dia mengulum bibir, bibir tipisnya jadi berkali-kali lipat lebih seksi. "Memangnya kamu bisa masak?." Katanya dengan sebelah alis terangkat dan ujung bibir yang membentuk senyum mengejek.

"Aku memang enggak bisa masak tapi kalo cuma masak mie aku bisa." Matteo menyemburkan tawanya. Dia tertawa keras sekali. Dengan suara baritonnya yang berat. Duh! Kupingku. Rasanya aku ingin mendengarnya lebih banyak lagi. Aku ingin mendengar suara tawanya yang ... Sangat seksi itu.

Dia mengangguk-angguk setelah puas tertawa. "Baiklah. Baiklah kalo itu yang kamu mau. Kita harus cepat ke rumahnu." Tangannya yang besar mendorong punggungku yang kecil. Aku kehabisan nafas. Rasa tangannya di punggungku, rasanya kakiku seperti tidak bertulang. Sesuatu yang bermekaran memenuhi perutku. Sesuatu yang menyenangkan. Rasanya aku ingin melayang.

***

Begitu sampai di rumahku, hal pertama yang kulakukan adalah membersihkan diri sebentar, cuci muka dan sikat gigi. Lalu cepat-cepat ke dapur karena Matteo sudah menunggu di ruang tamu. Kemudian aku terlonjak ketika melewati kamarku. Aku menelan ludah. Matteo di dalam sana. Dia duduk di ranjangku yang keras di dalam kamar yang sempit. Apa dia tidak merasa pengap?

Ketika aku mendekat ke tempatnya dia bersuara lebih dulu. "Kamarmu mencerminkan kepribadianmu, aku hanya ingin tau lebih banyak tentangmu." Dia mengatakannya dengan santai. Kalian tau rasanya jantungku? Aku merasa baru saja terjun bebas dari gedung lima puluh lantai. Bisa-bisanya dia! Apa sih yang dipikirkannya.

Merasa aku masih berdiri mengawasinya, dia melihatku. "Kamu tidak ingin memasak, bayi?."

Kuberikan eskpresi kesal. Bisa-bisanya dia memasuki kamarku seolah ini kamarnya. Seolah rumah ini rumahnya. Dia duduk santai di ranjangku. Seolah ranjang itu miliknya. Ditangannya ada sebotol air mineral dingin, diambil dari kulkasku kurasa. Aku saja di rumahnya tidak berani macam-macam, kenapa dia malah sok sekali di rumahku. "Kenapa sih aku kesel banget sama kamu." Kataku ketus sambil berjalan cepat meninggalkannya.

"Kenapa sih aku tertarik sekali denganmu." Eh? Aku menoleh. Kulihat mata hijaunya. Dia malah tersenyum nakal dengan tampang brengsek. Ada apa sih dengan tampangnya? Dengan senyumnya? Dengan perlakuannya? Dengan dirinya? Aku seperti menemukannya ... Sesuatu yang kucari selama ini.

Tapi yang keluar dari mulutku malah berentangan. Bertentangan dengan yang kurasakan. "Kenapa sih kamu nggak pulang aja biar urusan kita cepet selesai."

"Aku lebih senang kamu mengomel biar urusan kita lebih lama." Jantung. Jantung. Bertahanlah. Matteo akan pulang secepatnya dari sini, jantung nggak usah lompat tali ya.

***

Aku masih menguap ketika pagi-pagi sekali membuka pintu rumah, rencananya hari ini aku akan bolos sekolah untuk bekerja di Victorius Cafe. Aku harus mencicil spp. Lalu terdiam ketika menyadari motorku masih dirumahnya Matteo. Astaga. Pagi ini masih benar-benar gelap. Aku tidak mungkin mencari angkot di ujung jalan sana.

Aku melihat sekeliling. Ini masih pukul setengah lima subuh. Rencananya aku akan datang pagi-pagi sekali di Cafe, ada beberapa pekerjaan yang harus kulakukan untuk menambah bonusku seperti membuang sampah dan bersih-bersih. Tapi semuanya malah jadi kacau gara-gara motorku masih tertinggal di rumahnya Matteo.

Aku tidak mungkin menunggu matahari terlihat lalu mencari angkot diujung jalan sana. Berapa jam waktuku akan terbuang hanya untuk menunggui angkot, astaga. Seharusnya aku bisa sampai di Cafe, melakukan beberapa pekerjaan dan dapat bonus. Maka kuputuskan untuk berjalan kaki saja. Mencari ojek di perempatan sana.

Aku tersenyum, menyadari aku tidak pernah berjalan kaki sama sekali di sekitar rumahku. Setidaknya setelah sepuluh tahun terakhir ini. Dulu sekali, ketika ayah masih bersama kami. Ketika sore sepulang ayah bekerja, ayah akan mengajakku membeli susu botol di warung depan sana. Aku akan mengandeng kelingking ayah yang besar sambil bersenandung, memamerkan botol susu yang dibelikan ayah. Bertahun-tahun begitu, entah kebiasaan itu dimulai sejak kapan, aku sudah tidak mengingatnya lagi.

Rasanya seperti bukan sepuluh tahun yang lalu, rasanya seperti masih kemarin. Seperti kemarin masih ada ayah, kemarin masih ada Irene Ava yang manja dan pecicilan. Sekarang setelah sepuluh tahun, ditempat yang sama, masih ada aku di sini tapi tanpa ayah. Bersama Irene Ava yang tidak lagi sama.

Aku melihat lingkungan sekitarku yang tidak pernah kuperhatikan lagi, sepuluh tahun terakhir ini. Pada pohon mangga di depan rumah tetanggaku yang sekarang sudah lebat sekali, dulu pohon ini masih kecil dan jarang berbuah, sekalinya berbuah aku jadi orang pertama yang mengambilnya tanpa izin. Itu, sebelas tahun yang lalu, saat aku masih bisa melakukan apapun yang kumau. Aku melihat pagar besi tinggi, pada satu-satunya rumah paling besar sekaligus paling angker disini. Rumah itu hanya dibangun lalu tidak pernah dihuni sama sekali. Dulu, rumah itu menjulang besar sekali, dengan pagar besi tinggi yang menampakkan kekokohannya. Sekarang setelah bertahun-tahun kosong, rumah itu jadi menyeramkan. Pagar besinya yang berkarat dipenuhi rerumputan, halaman depannya yang besar juga bernasib sama, apalagi teras rumah itu yang kotor sekali.

Sejak ayah meninggalkan kami, aku harus bekerja bersama ibu. Awalnya ibu bersikeras melarangku tapi aku keras kepala ingin membantu. Jadi ibu mengizinkanku bekerja hanya saat pulang sekolah. Lalu setelah sepuluh tahun, menjalani hari-hari seperti itu. Sekolah dan bekerja lalu pulang malam dan tidur. Rasanya aku sudah tidak lagi mengingat siapa tetanggaku. Rasanya aku sudah tidak lagi ingat bagaimana lingkungan sekitar rumahku. Rasanya aku sudah lupa nama-nama tetanggaku yang dulu akrab sekali dengan kami, maksudku, aku, ayah dan ibu. Sekarang hanya bertegur sapa pun rasanya tidak pernah, atau aku yang melupakan wajah-wajah mereka.

"He, cantik." Aku terlonjak. Sebuah suara yang tidak kukenal. Aku menoleh kebelakang, mencari sumber suara itu. Ada enam orang laki-laki, keenam enamnya berjalan sempoyongan. Masing-masing ditangan mereka ada botol bir. Aku langsung menelan ludah. Bayangan ayah yang mengamuk setelah mabuk. Ayah yang memukulku. Ayah yang menginjak rusukku. Ayah yang membanting barang-barang. Ayah yang menendang pintu. Ayah yang menampar ibu. Ibu menjerit, mencoba melawan ayah, ayah berteriak, menyumpahi ibu dengan makian paling hina yang pernah kudengar.

Sesuatu memukul kepalaku rasanya keras dan sakit, ketika salah satu dari mereka maju ketempatku dan mencekal tanganku. Mereka tidak memukul kepalaku, tapi aku merasakan sakit yang sama sewaktu ayah memukul kepalaku. Sekarang cekalan laki-laki itu ditanganku rasanya sakit. Aku masih mengingatnya, cekalan ayah yang keras dilenganku. Lalu ayah membantingku. Aku menjerit. Rasa sakit itu kembali. Aku merasakannya lagi. Padahal laki-laki itu tidak membantingku. Padahal laki-laki itu tidak memukulku seperti ayah memukulku. Tapi aku merasakan rasa sakit yang sama.

Aku menangis, terduduk. Kulindungi kepalaku dengan sebelah tangan yang bebas. Rasa sakit itu menghantamku dengan cara yang sama. Rasanya bukan hanya kepala dan lenganku yang mengingat rasa sakitnya tapi seluruh tubuhku. Rasa sakit ditulang belakangku ketika ayah menginjakku. Rasa sakit di pipiku ketika ayah menamparku. Rasa sakit ditulang rusukku. Rasa sakit ...

"Irene!." Suara bariton yang kukenal. Aku mengenalinya. Itu Matteo. Aku menoleh kebelakang, ketempat asal suara itu. Matteo baru saja turun dari mobil, dia berlari ketempatku. Ekspresinya sangat khawatir. Aku menangis. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku menangis melihat Matteo. Aku menangis Matteo menolongku. Aku menangis Matteo ada disini, memelukku. Aku menangis Matteo datang untukku. Aku menangis karena aku membutuhkan Matteo.

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang