"Salim dulu sama kaka Irene, Kids." Ketiga bayi-bayi itu langsung serempak menyodorkan tangan mereka satu persatu. Kurasa Matteo sengaja menanamkan budaya ketimuran ke anak-anak.
"Kalian mau dibeliin apa kalo nanti kaka Irene pulang?."
"Mie instan ya kaka Irene." Arthur yang menjawab cepat. Anak itu selalu antusias di manapun dan kapanpun.
Aku tersenyum geli sebelum menjawab melihat ekspresi Matteo yang seperti kesal denganku. Dia yang mati-matian tidak mengenalkan segala jenis mie instan pada anak-anak dan aku yang malah membuat mereka menyukainya. "Tanya saja sama Dadda." Arthur langsung melihat Daddanya, mata lebar yang selalu menyorot tajam dan penuh ketegasan itu berubah memohon seketika. Aku melihat pipinya mengembung dengan bibir yang tertekuk ke atas. Aku menutup mulutku dengan tangan menahan tawa.
"Boleh ya, Dadda." Kedua tangan kecilnya menyatu di depan dada sebagai bentuk permohonan.
"Apa Arthur pernah makan mie instan?." Pertanyaan itu dari Matteo yang mendadak sangat tegas ketika anak-anak melakukan sesuatu yang tidak disukainya. Arthur menggeleng. "Tapi kok Arthur mau makan mie instan?."
Arthur menunduk dengan bibir yang mengkerut cemberut. Tatapan memohon yang menggemaskan itu sudah tidak ada berganti dengan tatapan sedih karena putus asa. "Arthur mau coba gimana rasanya."
"Kalo rasanya nggak enak?."
"Arthur nggak bakal makan lagi."
Aku tahu dari tatapan Matteo ini, dia ingin memanipulasi anak-anak. Aku diam saja sambil mengulum bibir menahan senyum. "Arthur, sini nak." Arthur menurut, dia maju mendekati bapaknya, Matteo mengangkatnya untuk duduk di pangkuannya. "Mie instan itu nggak baik buat kesehatan kamu, mie instan itu punya kandungan yang bisa bikin--."
"Siapa yang mau cium kaka Irene nanti kaka Irene beliin mie instan." Sudah kutebak ketika Arthur memberontak dari pangkuan bapaknya dan mencium pipiku. Kupikir anak itu lebih menurut padaku ketimbang dengan bapaknya sendiri. Aku membalas mencium pipi kiri kanannya yang mengembung itu. Lalu kami tertawa bersama. Sedang Matteo melihatku seperti ingin memarahiku. "Lily mau dibeliin apa sayang?." Anak itu hanya tersenyum simpul yang manis sekali.
"Nggak ada. Lily nggak ingin apa-apa." Dia menjawab dengan lembut.
"Serius?." Dia mengangguk lagi. "Ya, udah deh, ntar kaka Irene beliin Lily mie instan aja, biar samaan sama Arthur."
"Irene." Matteo memanggilku dengan suara lembut tapi ada nada menuntut di sana.
"Kenapa?."
"Bukankah kamu sudah seharusnya masuk kerja?." Aku memberinya senyum sebelum menjawab.
"Kaka Irene harus pergi." Aku melihat anak-anak. "Ada yang mau cium kaka Irene sebelum kaka Irene pergi." Arthur menciumku lebih dulu, lalu dia turun dari pangkuanku untuk memberi tempat Lily menciumku. "Lily sayang kakak Irene nggak?." Dia mengangguk.
"Sayang."
"Banyak apa banyak banget?."
Dia tersenyum sebelum menjawab. "Banyak banget." Binar dimatanya ketika dia tersenyum persis dengan milik Matteo. Aku tertawa mendengarnya. "Kakak Irene juga sayang Lily." Kukatakan sambil mencium pipi kanan kirinya. Aku berganti melihat Arthur.
"Kalo Arthur sayang nggak sama kaka Irene?."
"Sayang kakak Irene banyak-banyak." Bukan hanya aku yang tertawa tapi Matteo juga. Aku menciumnya sekali lagi.
"Kakak Irene juga sayang Arthur banyak-banyak."
"Bagus." Arthur memberiku jempolnya. Keningku mengkerut.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Dream
RomanceDinikahi laki-laki beranak tiga yang setampan David Beckham saat masih muda, disaat usiaku masih 17 tahun! Aku menelan ludah. Dia... uhm ... Bagaimana aku menggambarkannya... Aku kehabisan nafas. Dia luar biasa tampan. Sangat seksi dan matang. Ini...