bab 30.

4.2K 249 19
                                    

Aku pernah patah hati, aku pernah sakit hati sampai rasanya duniaku hancur. Sampai rasanya bunuh diri kupikir lebih baik ketimbang merasakan sakit yang tak tertahankan ini. Ketika ayah dulu memukuli kami, rasanya aku lebih baik menghilang saja dari muka bumi, berkali-kali aku berfikir bunuh diri tapi selalu gagal karena teringat ibu. Bagaimana jika aku meninggalkan ibu seorang diri? Bagaimana ibu harus berjuang seorang diri ketika ayah menyakitinya? Bagaimana hidup ibu ketika aku tidak ada disisinya? Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku mengurungkan niatku. Kuyakinkan diriku, aku bisa. Sekeras apapun pukulan ayah. Sesakit apapun rasanya, aku hanya harus bertahan demi itu.

Alasan itulah yang membuatku bertahan hingga detik ini. Sejak ayah memukuli kami, ibu tidak lagi sama. Ibu tidak lagi memarahiku ketika aku berbuat salah. Ibu tidak lagi memelukku ketika aku berhasil mengerjakan pr sekolah dengan sempurna. Ibu juga tidak lagi membacakanku dongeng sebelum tidur. Ibu benar-benar berubah. Ibu hanya berdiam diri di kamar, ibu keluar hanya untuk makan. Aku selalu mencari cara agar bisa masuk ke kamarnya tapi ibu malah mengamuk, aku menunggui ibu di depan pintu kamarnya sambil menangis sampai aku ketiduran.

Lalu sejak saat itulah aku mencari cara agar ibu bisa seperti dulu lagi, aku belajar giat supaya jadi juara kelas, tidak berhasil ibu tetap pemurung dan suka marah-marah. Aku membantu mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sampai demam, tidak juga berhasil. Tapi ketika aku bekerja dan memberikan uangnya pada ibu, disitulah aku tahu, cara ini berhasil. Ibu tersenyum lagi, ibu memelukku lagi lalu pergi keluar dan berbelanja sampai tidak pulang beberapa hari. Dulu, aku tidak pernah bertanya dan tidak pernah mempermasalahkannya, sekarang aku tahu alasannya.

Duniaku serasa hancur, apa yang kulakukan bertahun-tahun ini sia-sia, aku sampai kehilangan banyak teman dan menyia-nyiakan sekolahku, ternyata ini bull shit. Aku tidak membahagiakan ibu, justru aku membuatnya menemukan kebahagian lain dan mereka bukan aku. Kalian tahu apa yang kurasakan, aku mau mati!

Aku menelan ludah, rasanya banyak hal yang ingin kutanyakan, rasanya banyak hal yang ingin keluar dari mulutku. Tapi kenapa rasanya sangat susah, kenapa rasanya sangat berat.

"Halo, Irene Ava, kita tidak pernah bertemu sebelumnya, kenalkan saya Heri Kusuma." Orang gila ini mengulurkan tangannya padaku. Susah payah aku menahan diri supaya tidak menghajarnya sampai mampus. Tidak kupedulikan jabatan tangannya, aku berpaling pada ibu. Orang itu tertawa. Tawanya terdengar meremehkan. "Anak nggak tau sopan santun." Aku menarik nafas panjang sambil susah payah menormalkan ekspresiku, aku tidak mau mereka melihat kemarahanku. Itu hanya membuat mereka menertawakanku.

"Ibu, Farida Ella?."

Ibu melotot padaku seperti ingin membunuhku. "Ngapain kamu di sini! Pulang sana." Bertahun-tahun, sekasar apapun ibu padaku, kuyakinkan diri suatu saat ibu akan berubah, beliau seperti itu juga karena ayah, mungkin hatinya sedang sakit. Tapi kini, kurasa aku bukan anaknya.

Sakit di hatiku rasanya luar biasa. Susah payah aku menahan tangis. Aku berpaling pada laki-laki itu. "Om ini, suami baru ibu?."

Laki-laki itu mendecih. "Peduli apa kamu! Kamu sama ibumu aja nggak peduli."

Aku menahan diri untuk tidak memukul wajahnya. "Saya perlu tau."

Dia melihat ibu dengan tatapan sangat terganggu. "Ma, anakmu itu loh, berisik banget." Ibu melihat laki-laki itu lalu mengusap lengannya dengan lembut. Rasanya, ingin sekali kupatahkan lengan itu.

Ibu melihatku, tatapannya seketika penuh kebencian. "Irene, pergi kamu sana."

Meski rasanya sakit sekali. Melihat mata ibu, air mataku nyaris meluncur turun. "Aku bakal pergi, kalo itu yang ibu inginkan, tapi jawab dulu pertanyaanku."

Laki-laki itu bertepuk tangan di depan wajahku. "Wow, penawaran yang bagus sekali ya, sayang." Dia melihat ibu. "Kalau perlu, pergi selamanya." Ibu melihat laki-laki itu lalu melihatku sambil mendesis.

"Pergi selamanya dan jangan pernah muncul lagi, kamu itu merepotkan sekali." Aku mengangguk dengan sangat yakin. Baiklah. Tidak ada lagi yang perlu kupertahankan di sini. Kenapa tidak kulakukan dari dulu-dulu sih?

"Apa kalian sudah menikah?." Laki-laki itu tersenyum kemenangan yang sangat meremehkan. Dia mengangguk.

"Kamu sudah menikah."

"Berapa tahun?." Aku menelan ludah, rasanya sakit sekali. "Berapa tahun kalian menikah?."

"Satu Minggu setelah ayahmu yang bajingan itu pergi." Bajingan katanya! Jika tidak ingat ada Alana dalam gendonganku, aku yakin sudah kutampar wajahnya. Bagaimana caranya ibu bisa mendapat suami sebusuk dia.

Aku mengangguk. "Baik. Saya akan pergi. Terimakasih." Barangkali untuk terakhir kalinya, aku mengulurkan tangan berniat menyalimi ibu, bukannya menyambut tanganku ibu malah melihat tanganku seolah tanganku ini penuh kuman menjijikkan. Kutarik uluran tanganku kembali. "Aku pergi." Aku mengangguk. "Permisi." Bertepatan dengan itu, segerombolan ajudan Matteo tau-tau muncul. Mereka berjumlah delapan orang, kesemuanya mengepung kami. Mereka berpakaian hitam-hitam yang rapi, aku melihat di sisi kanan atas dada mereka ada emblem dari perusahaan Matteo, rupanya mereka memang pasukan khusus pengamanan Matteo dan anak-anak, mereka di latih khusus, bukan di sewa dari perusahaan jasa keamanan.

"Nona, kami akan menahan mereka jika mereka menganggu anda." Kuhembuskan nafas panjang sebelum menjawab.

"Nggak perlu, bukan sesuatu yang serius." Aku berpaling, mendongak melihat lantai di atasku. "Tolong bawa anak-anak langsung ke mobil."

"Anak-anak menunggu anda nona." Aku mengangguk.

"Saya akan ke atas.".

"Saya akan meminta mereka turun." Aku mengangguk saja. Lalu tidak lama anak-anak turun, mereka langsung berlari ke arahku, ketika sampai mereka memelukku erat sekali. Seperti menyalurkan kehangatan yang mereka punya.

"Apa aku boleh menghajar mereka?." Bisik Arthur ditelingaku, aku tertawa setengah menahan tangis lalu menggeleng.

"Jagoan tidak begitu, sayang."

Mata bulatnya melihatku dengan kilatan kemarahan. Kemarahan untuk mereka kurasa. "Lalu apa yang harus kulakukan, ma!." Katanya setengah jengkel. Aku tidak sempat menjawabnya ketika suara laki-laki itu terdengar.

"Oh jadi kamu udah punya anak, pantesan jarang pulang. Masih SMA kok anaknya udah tiga."

"Urusi saja urusan anda sendiri."

"Jadi bener mereka anak kamu, pasti bapaknya bule. Pasti kamu mau tidur sama dia karena dia kaya raya. Aduh. Aduh Irene, kamu sama bapakmu nggak ada bedanya. Anak sama bapak sama aja." Sesuatu yang sangat kutakutkan bukan kalimatnya tapi ada anak-anak di sini, aku mengkhawatirkan mereka. Bagaimana jika sampah dari mulut laki-laki itu mempengaruhi pola pikir anak-anak? Aduh, aku sungguhan merasa bersalah. Kugandeng tangan mereka masing-masing.

"Ayo kids, kita pulang aja."

"Dasar anak durhaka, nggak ada sopan-sopannya kamu sama saya. Kami ini masih baik, kami nggak membuang kamu dari dulu. Kamu seharusnya berterimakasih dodol bukannya..." Aku terkesiap ketika Lily tau-tau melepas gandengan tangan kami, dia menghampiri laki-laki itu dengan langkah tenang yang mengintimidasi. Aku heran, anak sekecil itu sangat pandai menempatkan diri, dia tahu harus bersikap apa ketika dihadapkan pada situasi tertentu.

Ketika sampai di depan laki-laki itu Lily mengambil sesuatu dari dalam tasnya, dia mengeluarkan dompet lalu mengambil satu black card dari dalam sana, mengulurkannya pada laki-laki itu. "Pakai ini buat beli attitude." Aku melongo tercengang. Rasanya aku keliru menganggap Lily selama ini masih anak-anak, dia sangat luar biasa dibanding yang kubayangkan. Muka laki-laki itu seperti dilempari kotoran. Lily berbalik tanpa mengatakan apapun, wajah datarnya membuatku terheran-heran, anak manis ini bisa sangat keren.

Dia mengandeng tanganku. "Ayo pulang, ma." Aku mengangguk saja sambil tersenyum sedikit. Anak-anak ternyata bisa sangat diandalkan.

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang