bab 29.

3.2K 187 0
                                    

"Twinkle, twinkle, little star. How I wonder what you are. Up above the world so high....." Aku bernyanyi sambil menggoyang-goyangkan kedua tangan kecil Alana di udara. Anak itu kegirangan dan ikut bernyanyi denganku meskipun pengucapannya berantakan. Pagi ini, kami sedang ada di ruang tengah, aku duduk di sofa bersama Alana yang duduk di depanku, dia menghadap padaku. Wajah Spanyol-nya yang menawan jadi makin terlihat cantik ketika dia banyak tersenyum begitu. Kusentuh hidungnya dengan hidungku, dia tertawa lalu kuciumi wajahnya berkali-kali, dia mengikik kegelian. Memukul wajahku beberapa kali sampai nyaris terperosot dari gendonganku. Kudekap dia dengan erat. Alana diam saja, kubisikkan sesuatu lalu tawanya terdengar kencang. Kami tertawa, bersamaan dengan itu Matteo datang, di tangannya ada mug kopi. Matteo pagi-pagi sudah sangat rapi, dia memakai kaos polos hitam dan celana pendek selutut berwarna nude, tatanan rambutnya juga sudah rapi, sepertinya masih basah. Apa dia baru saja keramas?

Matteo duduk di sampingku, melihat kami sambil terus saja tersenyum. Aku mengernyit, bertanya-tanya, apa sih yang lucu di sini? Dia selalu saja melihatku dengan senyum. "Selamat pagi Irene, apa pagimu menyenangkan?."

"Tentu saja."

Matteo berpaling melihat Alana. "Alana, senang dengan kakak Irene?." Anak itu mengangguk cepat-cepat.

Matteo tertawa. Dia melihatku. "Kamu memang yang terbaik, Irene?." Aku mengangkat alis.

"Apa?."

"Anak-anak." Tangan besarnya terulur mengusap rambutku, usapannya sangat lembut, seperti mbak-mbak salon yang terbiasa melayani creambath. "Kamu orang kedua yang sangat dekat dengan anak-anak, sebelumnya tidak pernah ada yang bisa melakukannya, termasuk para suster yang kupekerjakan." Aku tertawa.

"Berarti mereka nggak ahli."

Matteo tersenyum dengan binar yang sama. "Kamu melakukannya dengan hati, Irene." Belum sempat aku menjawab, Mike datang dan tiba-tiba menginterupsi kami, ekspresinya yang biasa datar itu kini terlihat khawatir, dia membisikkan sesuatu pada Matteo, Matteo mengangguk. Dia berdiri dari duduknya lalu melihatku dan Alana, dia mencium Alana lalu berganti mencium kepalaku. Saat kutanya dia akan kemana, Matteo hanya tersenyum saja, lalu mengatakan akan langsung pergi tanpa menunggu Lily dan Arthur yang sedang membersihkan diri di kamarnya masing-masing.

Dari yang kulihat, ini bukan urusan pekerjaan biasa. Seperti ada sesuatu yang darurat tapi Matteo masih terlihat tenang, tidak biasanya dia begitu, pergi tanpa berpamit pada anak-anak, biasanya seburu-buru apapun, dia selalu menyempatkan berpamit pada anak-anak. Tiba-tiba perasaan cemas menghampiriku, bagaimana jika terjadi sesuatu dengan Matteo? Bagaimana jika dia ... aku menarik nafas panjang, tenang Irene. Tenang. Aku menggeleng kuat-kuat, tidak ada sesuatu apapun yang terjadi pada Matteo, dia akan baik-baik saja, dia selalu baik-baik saja.

"Kaka Irene, Dadda dimana?." Arthur mendatangiku dengan rapi, anak itu sudah mandi, rambutnya masih basah tapi sudah di sisir dengan rapi. Dia mengenakan baju model dewasa tapi versi anak-anak yang membuatnya tampak mengemaskan, kalian tahu Raphael moeis, anaknya Sandra dewi itu, kira-kira begitulah gambaran menggemaskannya Arthur.

"Dadda tadi pergi, ada urusan yang sangat mendesak dengan om Mike." Anak itu langsung cemberut. Dia mengerutkan bibir lalu duduk dengan loyo di sebelahku.

"Kenapa, Arthur?."

"Dadda sudah janji mau beliin Arthur mainan tapi kok Dadda malah pergi." Aku menghembuskan nafas, kuulurkan tanganku untuk mengusap punggungnya, usapan lembut yang sama, seperti yang selama ini Matteo lakukan padaku.

"Dadda kemarin bilang apa?."

Anak itu menjawab tanpa melihatku. "Dadda kemarin bilang, hari ini kita bakal ke mall beli mainan, karena aku udah nyelesaiin revisi buku keduaku." Anak itu masih cemberut. Jujur saja, melihatnya begitu membuatku menahan tawa. Anak tampan, yang benar saja! Dia sangat mengemaskan ketika begitu.

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang