Arthur berlari ketempat kami sambil membawa empat tumpukan boks pizza yang kupesan. Matteo menyusul dari belakang lalu mereka duduk di bawah, di atas karpet sambil membuka pizza itu dengan sangat antusias. Aku turun dari kursi ruang keluargaku yang sempit ini sambil ikut bergabung dengan mereka. Arthur dengan jiwa pemimpinnya membuka pizza satu persatu dan memberikan kepada masing-masing orang sesuai pesanan. Aku mendapat pizza pesananku yang full keju.
Aku memakan pizza itu dengan sangat senang. Sampai Matteo berkali-kali menegurku lewat tatapan matanya, pasalnya tradisi keluarga mereka yang diciptakan Matteo itu tidak boleh berbicara saat sedang makan. Aku bersyukur dia jadi tidak bisa sewot denganku. Makan kali rasanya aku benar-benar kenyang, setelah menangis tadi pagi, lalu tertidur sampai sore kemudian mandi dan sekarang makan, makanan enak semua ini rasanya seperti oase. Apalagi ada anak-anak di sini, aku jadi tidak merasa sendiri lagi. Mereka seperti penyelamat untukku.
Kami makan dalam diam ketika suara tangis Alana tiba-tiba saja memecah kesunyian. Anak itu tadi sehabis mandi langsung tertidur. Aku buru-buru meloncat dan langsung menenangkannya dalam gendonganku. Dia tetap saja menangis seperti mencari-cari sesuatu, Matteo langsung berdiri. "Sebentar, dia butuh susu." Katanya lalu mengambil susu dalam tas bayi Alana yang diletakkan di dalam kamarku. Tuh kan! Kelakuan bapak tiga anak itu, tanpa seizinku dia masuk-masuk dan menaruh barang di kamarku. Rasanya aku ingin mengamuk tapi tidak bisa karena ada anak-anak.
"Alana akan tidur lagi setelah minum ini." Matteo memberikan botol susu untuk diminum Alana, aku membantunya memegang botol itu.
"Kamu makan lagi aja, nggak pa-pa." Matteo menurut, dia membiarkanku memegang susu Alana lalu Matteo melanjutkan makannya. Anak-anak juga sudah berpaling ikut makan lagi dengan bapaknya. Astaga! Aku baru sadar, jadi dari tadi anak-anak melihat kami sedekat itu. Kenapa aku merasa seperti baru saja melakukan kesalahan?
Benar kata Matteo. Alana langsung diam. Dia menyedot susu itu banyak sekali, seperti sangat kelaparan. Lalu setelah botol susu itu habis dia menangis lagi sambil masih terpejam, seolah tidak terima susunya habis. Matteo memberikanku susu yang sudah dia ambil lagi. "Dia hanya akan meminum sedikit setelah itu pasti tidur lagi." Katanya memberiku penjelasan. Aku masih fokus pada Alana, kuperhatikan Alana menyedot susu itu banyak sambil terpejam dengan sangat tenang. Bulu matanya yang lentik itu bergerak-gerak sedikit. Alisnya yang coklat terlihat datar tanpa kernyitan seperti ketika dia menangis tadi. "Kamu sangat pantas, Irene."
Aku berpaling, ternyata Matteo masih berdiri di sampingku. Aku hanya sebatas dadanya memang, jadi dia sedikit membungkuk untuk melihatku dan Alana. "Kalo gitu kamu nikahi aku dong." Reflek Lily dan Arthur yang sedari tadi sibuk makan mendadak menoleh melihatku, aku melupakan mereka. "Kakak bercanda." Jelasku, Matteo malah tertawa. Lalu dua anak itu lanjut makan tanpa mengatakan apa-apa, sepertinya mereka lebih peduli pada perut mereka ketimbang bapaknya yang kuminta menikahiku.
Tapi Matteo malah berbisik padaku. "Apa yang kamu inginkan dalam pernikahan?." Suaranya sangat lembut tapi terdengar seksi. Dia seperti menggodaku. Aku tertawa dalam hati. Baiklah, memangnya aku tidak bisa menggodanya balik?
"Aku ingin mandi sama kamu." Matteo menyemburkan tawanya keras sekali. Kusikut perutnya, aku susah payah menidurkan Alana tapi dia malah tertawa sekencang itu.
Matteo langsung berdehem dan cepat-cepat berhenti tertawa. Lalu dia membalasku lewat bisikan lagi. "Kurasa kamu bukan hanya ingin itu."
"Iya. Aku emang punya banyak keinginan kalo nikah sama kamu."
"Katakan apa saja itu, Irene?." Matteo menunggu jawabanku dengan jakun yang naik turun. Dimatanya ada binar yang sama ketika melihatku. Apa mata hijau itu selalu berbinar yang sama ketika dia dengan perempuan lain? Memikirkan kemungkinan itu tiba-tiba aku merasa kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Dream
RomanceDinikahi laki-laki beranak tiga yang setampan David Beckham saat masih muda, disaat usiaku masih 17 tahun! Aku menelan ludah. Dia... uhm ... Bagaimana aku menggambarkannya... Aku kehabisan nafas. Dia luar biasa tampan. Sangat seksi dan matang. Ini...