"Jadi kalian balikan!." Si Alana tau-tau saja menyimpulkan sendiri. Tuhan, rasanya aku ingin pingsan saja di sini. "Yaammmpuun maaaa .... Astagaaaa ...." Dia jadi heboh sendiri. Arthur memberinya pelototan tajam.
"Dengerin mama dulu, dek."
Si adiknya memberikan tatapan sengit tidak terima. "Apaan sih elo, bang."
Arthur memberiku tatapan penuh pengertian. Aku tersenyum. "Ma, itu benar?." Tanyanya lembut.
"Pasti kan! Pasti kalian balikan lagi. Yaammmpun Dadda, mama tauuuuu, Dadda mengomel dan tiba-tiba sangat cerewet perkara setelan mana yang cocok dia pakai. Dadda sampai mencukur semua brewoknya. Dadda juga mendatangkan orang untuk merapikan rambutnya. Ternyata semua itu buat mama." Selain sedikit kurang ajar, Alana juga sangat cerewet. "Nggak heran sih, Dadda emang sangat mencintai mama. Mangkanya Dadda sangat heboh sewaktu kalian akan bertemu. Apa ini pertemuan pertama kalian setelah enam tahun?." Anak ini, aku ingin menutup mulutnya dengan selotip.
"Dek, dibilangin dengerin mama dulu." Suara Arthur jadi sedikit tegas. Dia memang tau bagaimana harusnya bersikap. Dia tidak membuat kesimpulan sendiri dan tidak menyudutkanku, berbeda sekali dengan adiknya.
"Elo ada masalah idup apa sih sama gue, bang." Alana mulai kesal.
"Dek, gue mohon. Diam dan dengarkan mama dulu. Setelah itu mau ngomel, mau ngomong apa aja terserah kamu." Suara Arthur jadi lembut dan memohon seperti Matteo. Anak-anak memang mewarisi kelembutan bapaknya. Diam-diam aku sangat bersyukur, Matteo membesarkan mereka dengan kelembutan. Mereka juga tumbuh dewasa dengan kelembutan.
Alana mendengus tapi tetap menurut. "Oke, silahkan, ma." Aku melihat kedua anakku sambil menahan senyuman geli.
"Mama kemarin memang menemui Dadda--"
"Mama pergi ke Milan?." Belum selesai melanjutkan Alana menyelaku. Aku mengangguk.
Dia menutup mulutnya tidak percaya. "Berarti mama tadi sangat terlambat karena baru pulang dari Milan?!." Alu mengangguk, dia terkesiap. "Yaammpuun, bisa-bisanya mama ke sana tanpa bilang ke aku."
Arthur mengetuk kepala adiknya. "Dek, yaampun, dengerin mama dulu nape sih."
"Yaampun bawel banget sih elo, bang."
Aku menghadap setir kemudi dan akan pura-pura menghidupkan mesin mobil. "Ya, udah, kita akan langsung pulang aja kalo gitu. Mama nggak akan cerita."
"Iya ma, iya." Alana menahanku. Aku berbalik melihat mereka berdua.
"Mama memang menemui Dadda, di hari kalian akan berangkat itu. Benar itu adalah pertemuan pertama kami setelah enam tahun." Aku menahan kecerewetan Alana dengan tanganku, anak itu langsung menutup mulutnya dan memutuskan diam. "Tapi tidak ada apapun yang terjadi diantara kami. Kami enggak balikan dan kami bertemu untuk suatu urusan. Yang jelas bukan utusan diantara mama dan Dadda tapi urusan lain yang harus kami urus." Itu adalah kalian.
"Mama nggak balikan sama Dadda? Kok jas Dadda bisa sama mama?." Alana mengernyit curiga.
"Dadda memberikan jasnya karena mama kehujanan."
"Tapi kok bisa jas itu ada--" Aku melihat Alana tidak mengerti.
"Sebenarnya berapa sih umur kamu, nak? Mama nggak yakin kamu masih sembilan tahun?."
"Kerasnya hidup membuat aku dewasa lebih cepat."
"Koa, cowok yang dia taksir ternyata naksir kakak Lily." Aku menganga.
"Yang bener, bang?."
Arthur mengangguk kalem. Sedang muka adiknya sudah memerah menahan amarah. "Tapi adek udah mengikhlaskan, kayaknya mereka emang nggak berjodoh." Memang kadang saudara perempuan itu begitu, mereka bisa menyukai laki-laki yang disukai saudarinya atau pacar saudarinya sendiri tapi aku benar-benar tidak menyangka anak-anakku akan begitu. Selama ini kuanggap mereka aman-aman saja ternyata aku salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Dream
RomanceDinikahi laki-laki beranak tiga yang setampan David Beckham saat masih muda, disaat usiaku masih 17 tahun! Aku menelan ludah. Dia... uhm ... Bagaimana aku menggambarkannya... Aku kehabisan nafas. Dia luar biasa tampan. Sangat seksi dan matang. Ini...