Kami membelah orang-orang yang berjoget liar. Cowok yang tidak kutahu namanya itu berjalan lebih dulu di depanku. Dia tidak seperti Matteo yang berjalan di belakangku. Dia tidak berusaha melindungiku dari tubuh orang-orang yang barangkali menabrakku. Dia berjalan sendiri di depan, tidak peduli barangkali aku kesusahan mengimbangi langkahnya dibelakang.
Lagi-lagi, setiap kali aku sedang bersama laki-laki lain, kenapa malah Matteo yang kuingat. Dari sekian banyak laki-laki yang dekat denganku. Satu kali pun tidak ada laki-laki yang sanggup membuatku melupakan Matteo. Matteo memang seistimewa itu dengan segala kelembutan sikapnya. Tidak ada laki-laki manapun yang sanggup menyamai kelembutannya. Dia berbeda. Dan hanya ada Matteo. Bagaimana caranya aku bisa melihat laki-laki lain di saat tidak ada laki-laki manapun yang sanggup memperlakukanku dengan cara selembut Matteo memperlakukanku?
Aku mendongak saat berhasil keluar sepenuhnya dari dalam bar lalu terkesiap untuk kemudian cepat-cepat menguasai diri. Di sana, di samping body Mercedez hitam ada Matteo. Dia bersandar pada body samping mobilnya. Kaki kanannya terlipat di depan kaki kiri. Dia bersedakep dengan kaos polos hitam lengan pendek. Dia mengenakan celana panjang yang sama hitamnya. Mata hijau itu melihatku dengan tatapan yang sulit kuartikan.
Dia tidak terlihat marah atau menahan amarah. Dia juga tidak terlihat datar, dia seperti mengawasiku. Hanya mengawasiku, seperti enam tahun yang lalu di dalam aula sekolahku, tempat pertama kali kami bertemu. Hari ini, enam tahun setelah hari itu, dia melihatku dengan tatapan yang sama. Apa yang kamu pikirkan ketika melihatku begitu? Lagi-lagi, bahkan setelah enam tahun, aku masih menanyakan pertanyaan yang sama.
Cowok dengan tindik itu, bolak-balik dia memperhatikanku dengan Matteo. Dia pasti kebingungan. "Mobil gue di situ." Aku menunjuk mobilku dengan daguku. Cowok itu mengangguk salah tingkah, dia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Matteo melihat cowok itu dengan tatapan datar tapi mematikan.
"Ah iya." Dia melihat Matteo tidak enak lalu melihatku menyesal. "Sori, Ren ... Gue baru ingat gue ada janji sama teman." Dia mengangguk padaku. "Gue duluan, ya." Dia mengangguk pada Matteo lalu setengah tergesa setengah ketakutan dia pergi meninggalkan kami. Hanya dengan tatapan itu Matteo sukses membuat cowok dengan tindik itu kabur tidak berkutik.
Aku berdiri tenang di depannya. Padahal sebenarnya mati-matian menahan diri untuk tidak menyumpahinya rentetan sumpah serapah. Ingin sekali rasanya aku menjejalkan tong sampah di sampingku ini ke mukanya. Ingin sekali aku berteriak marah mengatakan banyak hal yang tidak bisa kukatakan dulu sampai saat ini. Kemarahan yang kupendam bertahun-tahun. Sakit hati dan kecewa luar biasa ini, aku ingin memakinya dengan banyak bahasa kotor dan umpatan. Tapi aku tidak begitu. Aku tidak seperti itu. Aku harus lebih menahan diri. Irene Ava tidak begitu.
"Mari pulang." Ajaknya dengan lembut. Dia selalu memperlakukanku dengan cara selembut itu. Dia tidak seperti cowok tadi. Dia tahu cara memperlakukanku. Dari dulu sampai saat ini dia tahu cara membuatku merasa istimewa. Tidak ada laki-laki manapun yang sanggup melakukannya kecuali Matteo. Bajingan ini memang menjengkelkan. Aku membencinya.
"Aku bawa mobil." Kujawab dingin. Bukannya apa, aku hanya melindungi diri sendiri. Dalam keadaan aku masih memujanya bahkan setelah kerusakan yang dia buat .. aku khawatir kalau aku terlalu banyak membuka diri pada akhirnya aku juga yang akan luluh. Itu mimpi buruk.
"Aku yang akan menyetir untukmu." Lihat kan, betapa manis kelakuannya.
Aku menggeleng. "Nggak perlu. Aku bisa menyetir sendiri."
"Irene." Nadanya setengah menuntut setengah memohon.
Tanpa melihatnya aku berlalu pergi meninggalkannya. Dia mengejarku. Dia menggenggam tanganku. Air mataku turun saat tangan besar itu menggenggam tanganku. Cepat-cepat aku menguasai diri dan menghapus air mata ini. Tuhan, kenapa jatuh cinta sesakit ini? Kenapa tidak kau hilangkan saja perasaan ini ketimbang kau siksa kami berdua begini? Kami sama-sama hancur. Kami sama-sama sakit. Dan rasanya begitu menyesakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Dream
RomanceDinikahi laki-laki beranak tiga yang setampan David Beckham saat masih muda, disaat usiaku masih 17 tahun! Aku menelan ludah. Dia... uhm ... Bagaimana aku menggambarkannya... Aku kehabisan nafas. Dia luar biasa tampan. Sangat seksi dan matang. Ini...