bab 57.

2.3K 237 20
                                    

Aku pulang ke apartemen setelah dua hari di rawat di rumah sakit. Nande sendiri yang mengantarkanku pulang. Dia sekarang makin posesif. Ini pasti perintah Mike. Mike itu astagaaa, kadang aku sangat menyayanginya tapi kadang juga aku sangat membencinya. Kalau dia sudah mulai mengatur-atur begini, aku merasa aku adalah barang yang dipelihara. Dia tidak mendengarkan apapun dariku, dia hanya mau aku melakukan apa yang diinginkannya.

Aku melemparkan diri di sofa, Nande meletakkan tas jinjing besar berisi pakaianku di sofa sebelah. Tia menyusul di belakang. Selama di rumah sakit, Tia yang mengurusku, Nande datang sesekali memeriksaku lalu melaporkannya pada tuan posesif menyebalkan itu.

Kata dokter selama di rumah aku harus istirahat minimal tiga hari, aku mendesah panjang. Tiga hari, man. Yang benar saja. Itu berarti tepat dua Minggu aku tidak bekerja. Satu Minggu karena menemani anak-anak dan satu Minggu lagi karena sakit. Tidak bisa kubayangkan betapa bosannya harus terkurung di apartemen tiga hari. Biasanya aku bisa kemana-mana dan melakukan banyak hal, sekarang aku hanya bisa rebahan sambil menonton film dan YouTube. Sungguh waktu yang terbuang sia-sia.

Sore harinya karena sangat bosan seharian hanya di dalam apartemen, aku bersama Tia mutuskan untuk turun ke bawah, meski masih sedikit lemas tapi aku cukup kuat untuk berjalan-jalan di jogging track. "Aduh yaaampun, mengizinkan elo turun sekedar berjalan-jalan aja gue musti lapor dulu sama yang mulia Nande si yang makin protektif kayak bapak-bapak." Tia mulai mengomel, kadang aku merasa aku yang bekerja dengan Tia bukan Tia yang bekerja denganku. Dia berani sekali denganku. Kadang kesal juga tapi karena kami memang berteman jadi aku tidak bisa berbuat banyak. "Lagian kenapa sih harus lewat Nande, kenapa nggak langsung ke Mike aja."

"Kalo gue udah beneran sembuh, Nande bakal menjadwalkan gue buat mengunjungi Mike ke Milan." Aku melihat Tia. "Ini kesempatan yang bagus buat elo mendekati Mike." Tia mendesah panjang.

"Elo tuh ya emang gampang banget kalo ngomong! Halooo~~." Dia memutar bola mata. "Mike dengan segala tampang keren kece able-nya, mau sama gue! Yang burik begini! Miskin pula! Masih masuk akal elo balikan sama Matteo ketimbang itu terjadi."

Aku pura-pura berfikir. "Iya juga, ya."

"Heiiii!." Tia berteriak keras di samping wajahku. Sesuatu yang patut kusyukuri adalah area yang kami lewati ini sepi, jadi teriakan Tia tidak menganggu yang lain.

"Elo lupa gue juga makhluk yang dipungutnya, gue miskin dan nggak berdaya." Tia berdecak. Seharusnya aku yang bosnya yang hanya boleh begitu tapi Tia pengecualian. Mike, Nande dan Tia sama-sama gemar melawanku.

"Tapi elo cantik, Irene. Sangat cantik, itulah kenapa Matteo sampai tergila-gila sama elo."

"Karena gue cantik?." Aku tertawa, menertawakan diriku sendiri.

"Mana ada pangeran tampan yang mau memungut gadis miskin kecuali kalo dia benar-benar cantik. Kecantikan itu yang membuat para pangeran terpikat."

Aku tersenyum mengejek. "Tapi karena kecantikan itu juga gue disakiti." Aku melihat Tia. "Dunia ini kejam, kalo elo nggak benar-benar kuat dan jadi pemenang."

"Elo udah kuat dan jadi pemenang."

Aku tersenyum kecut. "Meskipun gitu, dunia masih bersikap kejam."

"Kenapa sih elo nggak bahagia, Ren?." Aku tersenyum menyadari kebenaran pertanyaan Tia. Kami sampai berhenti dan memilih duduk di bangku pinggir area jogging track.

Aku menarik nafas panjang seolah melepas semua beban yang kupunya.

Bahagia? Dulu, sejak ditinggal ayah aku tidak pernah lagi merasakan yang namanya bahagia lalu aku bertemu Matteo, dulu kupikir Matteo adalah penyelamat dari semua kegelapan hidupku, keyakinanku ternyata salah. Justru dia adalah awal petaka dari semua kerusakan hidupku. Lalu sekarang, setelah enam tahun tanpanya, apa aku masih bahagia?

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang