Itu Matteo. Dia tau-tau muncul dari pintu dapur. Dari arah datangnya membelakangi mbak Tere. Ekspresinya terlihat sangat khawatir, berlipat-lipat lebih khawatir ketimbang yang diperlihatkannya subuh tadi. Matteo berjalan cepat kearahku. Seluruh orang yang ada di dapur melihat kami dengan bibir melongo terbuka. Begitu sampai di depanku, Matteo langsung memeriksa tubuhku.
Dia melihat wajahku beberapa lama, sampai dia merasa tidak ada sesuatu yang dikhawatirkan dia beralih melihat tanganku, begitu menemukan telapak tanganku yang tergores dan luka yang cukup panjang dari lengan sampai sikuku, ekspresinya terlihat mengeras. Tangan panjang Matteo melipat kemeja lengan panjangku yang sobek, dia melakukannya hati-hati, sesekali dia melihatku, seolah memastikanku tidak kesakitan. Tapi bukannya mengangguk yang kulakukan malah memperhatikannya.
Setelah kemejaku tergulung sampai seluruh lukaku terlihat, Matteo beralih memeriksa kakiku. Aku mendadak takut melihat kemarahan tertahan Matteo ketika menemukan tulutku tergores, cukup banyak. Aku juga baru tahu, sedari tadi aku pura-pura tidak merasakan apa-apa. Tapi ketika menyadari luka itu rasa sakit yang lumayan langsung menyerangku. Seharusnya aku pura-pura tidak melihat saja.
"Sakit, Irene?." Matteo bertanya, bukan nada lembut seperti subuh tadi tapi nada cemas. Belum sempat aku menjawab, kedua tangan Matteo memegang bahuku, dia membimbingku duduk di kursi dapur. Mbak Nafa yang sedang meracik menu dan duduk di kursi dapur langsung berdiri memberi tempat untukku, begitu melihat Matteo membimbingku duduk di situ. Matteo tidak mengatakan apa-apa, dia juga tidak melihat mbak Nafa, fokusnya hanya padaku. Menyadari kenyataan itu, diam-diam aku melipat bibir menahan senyum. "Lucas." Matteo memanggil Lucas, nadanya khawatir tapi tetap bossy, kuingat-ingat ketika Matteo tadi bertanya padaku, nadanya cemas, sangat cemas malahan tapi tidak bossy. Jelas saja! Lucas kan supirnya. Tapi aku ...? Memangnya aku siapanya Matteo?
"Irene, apa sih yang kamu pikirkan? Kamu tidak sakit? Hmm?." Seketika aku melotot.
"Sakit kok." Kujawab cepat.
Dia malah terkekeh. "Kupikir aku akan mati, ternyata kamu hanya tergores. Syukurlah, bayi." Eh? Loh kok?
"Aku yang luka kok kamu yang mati?."
"Melihat kamu seperti ini saja, rasanya aku
hampir mati.""Kamu ngomong apa sih?."
"Intinya, aku sangat bersyukur kamu baik-baik saja." Dia melihat mataku, tersenyum lega sekali. Lalu Lucas datang membawa alkohol antiseptik, kapas dan teman-temannya. "Sini, diobati dulu ya, nanti sakitnya bakal ilang, kamu tahan sebentar aja." Aku tertawa, Matteo melihatku dengan kening berkerut. Berapa kali kukatakan aku sangat menyukainya saat dia mengerutkan kening, ekspresinya serius tapi malah terlihat berkali-kali lipat lebih seksi apalagi kemeja putihnya yang mahal ini acak-acakan. Dua kancing atas kemejanya terbuka. Bagian bawah kemejanya keluar dari celana. Lengan kemejanya digulung sampai siku, membuatnya jadi seksi sekali, lalu rambutnya yang biasanya rapi menjadi kacau, seperti dia baru saja terserang badai.
"Kamu abis ngapain sih? Kok berantakan gini?."
Matteo menuang alkohol di atas kapas. "Kalau kubilang aku hampir mati karena mengkhawatirkanmu apa kamu akan percaya?."
Aku kesusahan menahan senyum. Kurang ajar! Matteo sialan. Lebih sialannya lagi ketika dia mendongak melihatku. Cepat-cepat kupalingkan wajah sebelum mata hijau itu menemukan mataku. "Irene, astagaa! Kamu merona, bayi." Katanya terdengar takjub. Aku sampai mengganga mendengar nada takjub itu. Apa dia tidak pernah melihat perempuan merona sebelumnya? Kurasa bukan, mengingat simpanannya saja sampai tidak bisa terhitung saking banyaknya.
"Apaan sih?." Kajawab ketus.
Dia malah terkekeh. Lalu tidak mengatakan apa-apa karena Matteo sudah fokus pada kapas yang sudah di beri alkohol antiseptik, mengusap goresan ditelapak tanganku dengan sangat lembut. Kupejamkan mata ketika kapas itu mengenai kulitku, kukira rasanya akan sakit tapi ternyata yang kurasakan malah dingin. Tanganku terasa dingin, perih-perih itu mulai mereda. Kubuka mataku, Matteo masih fokus membersihkan lukaku. Mata hijau itu berkerut, alisnya berkerut tapi tidak sampai menyatu. Bibir tipis itu terbuka sedikit. Aku menahan diri, menahan diri sekuat tenaga untuk tidak menciumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Dream
RomanceDinikahi laki-laki beranak tiga yang setampan David Beckham saat masih muda, disaat usiaku masih 17 tahun! Aku menelan ludah. Dia... uhm ... Bagaimana aku menggambarkannya... Aku kehabisan nafas. Dia luar biasa tampan. Sangat seksi dan matang. Ini...