bab 19

3.7K 237 12
                                    

Aku duduk di kantor ruang kepala sekolah yang selama tiga tahun bersekolah di sini tidak pernah kukunjungi. Kami, maksudku Aku, Reta dan Kalisa sama-sama duduk di kursi tamu ruang kepala sekolah. Bersama bu Nanda wali kelasku yang duduk di sampingku, bu Nanda ini yang sedari tadi mendukungku. Beliau mengusap-usap punggungku, sambil membisikkan kata-kata yang menenangkan. Ada juga Bu Dani, wali kelas Reta dan Kalisa, Bu Dani tidak mengatakan apa-apa tapi tatapannya lurus kepadaku, memandangku dengan kemarahan tertahan. Sedang bu Retno sudah heboh sendiri mengompres wajah Kalisa dengan air hangat. Aku malah nyaris menumpahkan air hangat itu ke wajahnya sekalian.

Pak Sutardjo kepala sekolah di sini, beberapa kali menghela nafas. Beliau tidak mengatakan apa-apa hanya memperhatikan kami. "Ada yang bisa menjelaskan kenapa ini bisa terjadi?." Kata pak Sutardjo dengan hati-hati yang menyimpan ketakutan. Aku tidak pernah melihat ekspresi pak Sutardjo begitu. Beliau itu doyan menghukum dan sangat galak. Sebuah keajaiban dunia beliau terlihat takut-takut begitu, apa karena Kalisa yang bapak belur dan bisa saja membuat walikota sangat marah?

"Saya tadi datang ke kelasnya Irene cuman buat mastiin dia nggak mencoreng nama baik sekolah kita karena tidur dengan Matteo--."

"Reta, jaga bicara kamu!." Pak Sutardjo menyela dengan keras.

"Emang kayak gitu kok pak kenyataannya." Si kunti ini masih saja membela diri.

Pak Sutardjo berpaling melihatku. "Benar begitu, Irene?." Tanyanya padaku.

Aku menggeleng.

Kalisa mengeluarkan ponsel dari dalam saku seragamnya. Dia mengutak-atik ponsel itu sebentar lalu memperlihatkannya pada kami semua. Gambar di ponsel itu membuatku terkesiap. Itu adalah fotoku dengan Matteo sewaktu kami kemarin ke mall. Seseorang sengaja memotretnya tanpa sepengetahuanku. Di foto itu tangan besar Matteo memeluk pinggangku, dari foto itu sih kami memang terlihat sangat dekat. Foto itu diambil dari belakang, di situ terlihat Matteo mencium rambutku. Rasanya aku lemas. Rasanya kupu-kupu bermekaran di perutku. Aku saja tidak tahu dia mencium rambutku kemarin. Sesuatu yang patut kusyukuri adalah aku kemarin sempat keramas.

"Bu Nanda, apa kemarin Irene tidak masuk?." Pak Sutardjo bertanya pada bu Nanda. Bu Nanda mengangguk dengan ekspresi sungkan. Seharusnya aku tidak membuat bu Nanda malu begini. Kuremas tanganku di atas paha, aku tidak punya siapa-siapa untuk membelaku, satu-satunya yang kupunya bu Nanda dan berita buruknya aku baru saja mengecewakannya.

Pak Sutardjo melihatku lama, ekspresinya seperti menilai-nilaiku. Aku menelan ludah. Tidak berani mengangkat kepala. Beliau menghembuskan nafas lalu berkata dengan hati-hati. Masalahnya di sini yang terlibat denganku adalah Matteo. Milyarder paling disegani di kota ini yang juga sangat dihormati pak Sutardjo. "Benar yang ada di foto itu, Irene?." Tanya pak Sutardjo padaku.

Aku mengangguk. Pak Sutardjo terlihat menutup mata. Beliau menghela nafas lalu membenarkan posisi duduknya, terlihat lebih serius mendekat kearahku. Kupikir ini akan jadi masalah besar.

"Mengapa kamu sampai membolos dan pergi dengan Mr. Matteo?." Tanya pak Sutardjo hati-hati. Kulirik dari ekor mataku, aku masih menunduk, semua pasang mata yang ada di ruangan ini melihatku, menantikan jawabanku tepatnya.

"Yah jelaslah pak, Irene pasti tidur dengan Matteo dan sebagai bayarannya dia diajak ke mall buat beli apapun yang dia mau. Elo SPP aja masih ngutang sok belagu banget elo ngemall, munafik!."

"Kalisa! Biar Irene yang jawab." Pak Sutardjo menengahi. "Jadi, bagaimana Irene?."

Aku menelan ludah sebelum menjawab. Kuremas tanganku dengan lebih kuat. Kujawab dengan setenang dan setegas yang kubisa. "Jadi, kemarin saya bolos buat kerja. Saya kerja di Victorius Cafe--."

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang