bab 45.

2.4K 287 57
                                    

Sebelum ke sini aku tadi menginformasikan kedatanganku pada kepala pelayan yang bertanggung jawab pada rumah Matteo, jadi begitu mobilku menyentuh pagar dua orang satpam langsung membuka pagar lebar-lebar. Sekilas aku terpanah, rumah besar ini tidak berubah, hamparan rumput yang luas akan menyambutmu ketika kamu masuk, ada jalan yang cukup untuk mobil masuk ke garasi di samping kiri rumput yang kotak itu.

Bangunannya juga sama, kaca-kaca besar yang tinggi juga masih sama, masih secantik terakhir kali kuingat. Hamparan rumputnya juga masih sehijau dulu, rupanya para pekerja merawat rumah ini dengan baik, benar-benar tampak seperti rumah yang dihuni hanya saja suasananya terasa sepi. Terasa hampa dan kosong, rumah sebesar ini meskipun dulu kami hanya berlima tapi suasana di sini benar-benar hidup. Anak-anak membuat semuanya jadi ramai dan menyenangkan, sekarang rumah ini tampak begitu angkuh tapi kosong, begitu besar tapi sepi.

Dulu kami sering bermain di halaman itu. Aku mengajari Alana bersepeda di sana, di sore-sore dengan matahari oranye yang menemani sambil menunggu Matteo pulang bekerja. Aku tersenyum mengingat dulu, sedang anakku sudah beberapa kali menarik tisu dan membuang muka. Jadi ide mengunjungi rumah ini adalah ide Lily tapi dia juga yang akhirnya menangis.

"Wow .... Mereka merawatnya dengan baik." Lily bergumam takjub, aku juga begitu sih. Saat kami mendorong pintu besar dan masuk ke dalam semua perabot, semua dekorasi semuanya masih sama, seperti bukan enam tahun yang lalu seperti kemarin aku meninggalkan rumah ini.

Sofa di ruang tamu juga sofa yang sama, pada beberapa lukisan hiasan di dinding juga sama. Beberapa vas bunga, pot raksasa dengan tumbuhan hidupnya juga dirawat dengan baik, sama persis seperti terakhir kali kulihat. Entah apa alasannya Matteo menjaga rumah ini dengan baik. Dulu Lily masih SD, sekarang sudah berkuliah. Dulu Arthur masih TK, sekarang dia sudah SD dan akan masuk SMP. Alana yang dulu kugendong sekarang sudah SD, semua berlalu dan bertumbuh masing-masing tapi rumah ini masih sama.

Pertama kali Matteo membawaku ke sini, hujan-hujan sore itu. Pakaianku yang basah membasahi lantai marmernya bahkan membasahi sofa mahalnya tapi dia sama sekali tidak keberatan, dia tidak marah. Dia memintaku mandi dan membersihkan diri. Hari pertama aku mengenalnya hari itu juga aku menginap di sini. Di dalam kamarnya, dulu aku menyebutnya kamar kami, sekarang apa kabar kamar itu. Masihkah sama seperti dulu atau Matteo mengubahnya?

Dulu sewaktu pertama kali ke sini, rumah ini begitu asing untukku, terlalu besar, terlalu angkuh, terlalu mewah dan menyilaukan, sekarang aku mengenang rumah ini sebagai bagian perjalananku. Pada setiap kisah yang terjadi sini, yang tersimpan di sini, aku mengingatnya sambil tersenyum. Aku tidak pernah menyesal pernah datang ke sini. Aku merangkul Lily. Aku melihat anak itu dengan tatapan menerawang lembut, tatapan seorang ibu yang menyimpan banyak kenangan pertumbuhan anaknya. "Dulu waktu pertama kali mengenalmu, kamu masih SD, nak." Lily tersenyum.

"Dulu mama bahkan masih SMA tapi sangat keibuan."

Aku menerawang. "Waktu berlalu begitu cepat." Aku melihat Lily, merasa bangga anakku sudah bertumbuh sebesar ini. "Kamu sudah sebesar ini."

"Aku sudah sebesar ini tapi mama masih muda."

"Harusnya kamu bangga." Dia tersenyum bangga.

"Tentu saja." Kami sama-sama tertawa. Aku menelusuri ruangan. "Ma, aku ke atas dulu, ya." Aku melihat Lily.

"Kalo ada apa-apa panggil mama." Dia mengangguk.

"Siap ibu bos."

Dulu anak-anak berlarian di sini, Arthur dan Alana saling mengejar, Lily yang paling anteng sibuk dengan laptopnya sedang kami duduk berdua di sofa. Aku bersandar padamu, kamu merangkul bahuku, kaki panjangmu mengurung kakiku. Kami membicarakan banyak hal, aku tertawa karena leluconmu meskipun kadang sedikit kaku. Dunia begitu indah saat itu, begitu penuh kebahagiaan dan sangat menyenangkan. Benar kata orang cinta membuat dunia serasa menyenangkan. Tapi itu dulu, sekarang semua itu sudah berlalu dan hilang.

Aku menelusuri pantry, dulu Matteo memasak untukku lalu aku akan menontonnya. Aku akan menggodanya, dia akan mencubit hidungku, kami membicarakan apa saja lalu tertawa, kami baru berhenti saat kamu harus melihat masakanmu. Pantry ini juga masih sama, aku mengernyit menemukan jas laki-laki tergeletak di kursi bar. Jas milik siapa? Pekerja di sini? Milik Matteo, yang ditinggalkan enam tahun yang lalu? Masa para pekerja membiarkannya begitu saja selama bertahun-tahun. Aku berdecak, pemikiran yang konyol Irene.

Kuambil jas itu, aku semakin terheran-heran, ada aroma alkohol yang kuat sekali di sana tapi aku tidak mungkin salah mengenali, aroma ini, aroma yang terbenam diantara kuatnya aroma alkohol dan rokok. Aroma ini, aroma Matteo. Aku masih mengingatnya bahkan setelah enam tahun, aku tidak mungkin salah. Apa Matteo berkunjung ke sini? Dia meninggalkan jasnya? Tidak mungkin ada orang lain yang memiliki jas beraroma persis dengan miliknya. Aku memanggil seorang pelayan.

"Saya menemukan jas di sini." Dua orang pelayan itu mengangguk.

"Itu jas milik Mr. Matteo yang tertinggal."

"Tertinggal?." Tidak mungkin tertinggal enam tahun yang lalu kan? "Mr. Matteo baru saja berkunjung dan meninggalkan jasnya?."

"Berkunjung?." Aku semakin tidak mengerti.

"Mr. Matteo kemarin berkunjung dan menginap di sini. Beliau baru saja pergi pukul sepuluh dan meninggalkan jasnya." Tentu saja aku tercengang.

"Dia sering ke sini?."

"Setiap bulan Agustus sampai September beliau sering berkunjung ke sini." Agustus dan September adalah bulan kami tinggal bersama. Ini sedikit tidak bisa dipercaya tapi aku perlu meyakinkan.

"Untuk urusan perkejaan?."

"Saya rasa untuk urusan pribadi." Aku semakin tidak bisa percaya. Jadi dia sering ke sini. Apa kamu masih mengingat kita dulu? Mengingat yang pernah ada yang kamu hancurkan sendiri? Aku jadi penasaran bagaimana dia sekarang? Bagaimana dia menikmati kehancuran yang dia buat sendiri? Aku ingin tahu seberapa kacau dan berdukanya dia sekarang? Kalau begitu menyakitkan dan sangat sulit melupakannya kenapa dulu kamu memintaku pergi. Kamu bisa berterus terang padaku, kita pikirkan sama-sama solusinya tapi kamu malah membuat keputusan sendiri yang mengacaukan kita. Kurasa kami sama-sama hancur, bedanya aku pulih lebih cepat sedang kamu masih meresapi luka itu.

Aku mendorong pintu kamarnya, pintu kamar kita. Gelap gulita. Aku tepuk tangan dan dalam sekejap ruangan jadi terang benderang, tapi sesuatu yang membuatku terkesiap adalah kamar ini begitu berantakan, seperti baru saja ada badai yang memporak-porandakan. Bantal dan selimut jatuh di lantai, ada banyak majalah-majalah yang menampakkan fotoku yang dibiarkan terbuka. Aku menutup mulut saking terkesiapnya, ada yang tergeletak di atas kursi santai, di meja, sampai jatuh di lantai, kira-kira lebih dari sepuluh semua majalah ini.

Botol-botol alkohol yang sudah kosong juga tergeletak di lantai, ada bubuk putih menyerupai tepung yang berjatuhan juga di lantai, ada yang masih tersimpan dalam plastik kotak kecil. Aku benar-benar terkesiap, itu narkoba. Aku tidak mungkin salah. Dia menyiksa dirinya sendiri selama ini. Aku mematung beberapa saat mencerna semua ini, semua kekacauan ini berawal dari dirinya tapi dia sendiri juga yang jadi kacau begini.

Aku tidak peduli bagaimana hidupnya enam tahun ini tapi anak-anak, dia mengasuh anak-anak dengan kacau seperti itu. Apa anak-anak baik-baik aja selama ini, apa mereka tumbuh dengan baik? Apa Matteo memperlakukan mereka dengan baik? Pikiran seperti itu membuat kekhawatiranku menjadi-jadi. Astaga. Apa yang sudah kulakukan. Aku menyerahkan anak-anak pada orang kacau seperti itu, meski dia orang tua kandungnya tapi tetap saja aku merasa khawatir.

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang