bab 11

6.2K 287 2
                                    

Aku memarkirkan motor di parkiran khusus karyawan Victorius Cafe. Sial. Sial. Sial.

Berapa kali sih aku mengumpat pagi ini. Drama kurang ajar subuh-subuh tadi, aku menangis di pelukan Matteo, dan orang-orang melihatku, betapa memalukannya! Lalu perasaan berbunga-bunga seperti orang tidak pernah jatuh cinta ketika Matteo mengantarku tadi, lalu mendadak nyaris gila karena Matteo menurunkanku di sekolah. Aku harus memutar otak untuk sampai ke Victorius Cafe secepatnya. Saat kupikir drama panjang itu sudah berakhir dengan aku yang berhasil sampai di Victorius Cafe dengan selamat, lalu melaksanakan tugasku dan dapat bonus.

Ternyata semua itu salah. Salah besar malahan. Drama sejak pagi itu ternyata bukan apa-apa, yang membuatku puyeng setengah mati adalah amukan mbak Tere nanti. Ketakutan itu nyaris membuatku tidak berani kembali ke Victorius Cafe.

Setelah membuang sampah dan bersih-bersih, mbak Tere memintaku mengantarkan beberapa pesanan. Sebenarnya itu bukan tugas utamaku, tugasku hanya melayani pembeli di dalam Cafe tapi demi bonus, aku rela melaksanakannya. Aku mengantarkan pesanan dengan baik, dengan hati berbunga-bunga karena Matteo tentu saja, dan perasaan senang karena akan dapat bonus. Semakin banyak pekerjaan, semakin banyak uang yang kamu dapatkan, itulah mottoku. Tapi semua kebahagian itu hancur ketika seseorang menabrak motorku. Seorang ibu-ibu terburu-buru karena mengantarkan anaknya yang terlambat masuk sekolah.

Ibu itu menabrakku, semua pesanan yang kubawa tumpah ke jalanan dengan mengenaskan. Yang kurasakan seperti mimpi. Seperti itu tidak terjadi. Seperti aku tidak jatuh dari motor. Seperti tidak nyata. Aku baru tersadar ketika orang-orang mengerubungiku. Mereka memberiku air putih, aku menenggaknya. Beberapa dari mereka memapahku ke pinggir jalan. Mereke memijat kakiku yang tergelincir. Kurasakan telapak tanganku panas. Ketika kuperiksa ternyata telapak tanganku tergores aspal. Lama-kelamaan rasanya perih, kukibaskan sebisaku, aku belum sarapan. Aku tidak punya banyak tenaga. Aku tidak ingin merasakan sakit, jadi kuputuskan untuk melupakan rasa sakit itu. Aku tahu beberapa bagian tubuhku berdarah, tapi aku tidak ingin tahu dan tidak ingin merasakan sakit.

Bukan itu yang penting sekarang. Pesanan yang kujatuhkan. Ini menyangkut hidupku. Bosku yang galak, mbak Tere yang tukang marah. Mbak Tere pasti akan menyemprotku habis-habisan. Aku tidak yakin mbak Tere akan memaafkanku. Aku bisa dipecat.

Ibu yang menabrakku itu, bukannya turun dari motor, minimal mengecek kondisiku atau barangkali meminta maaf, ibu itu malah memarahiku. Dia mengatakan aku yang salah, katanya motorku terlalu mepet kepinggir, bukannya dia yang salah karena berkendara dengan lawan arus. Kenapa aku jadi yang disalahkan? Lebih menjengkelkannya, ibu itu berteriak seolah-olah aku yang salah, orang-orang melihat kami, mereka seperti berpihak padaku tapi tidak berani mengatakan apa-apa, ibu itu sangat emosi dan bar-bar sekali, dia juga mengatakan anaknya akan terlambat sekolah dan itu juga karenaku. Aku bingung, sebenarnya siapa sih di sini yang salah? Siapa sih di sini yang jadi korban?

Kupikir semua ini tidak akan berhenti sampai ada yang mengalah, ibu itu akan mengomel sampai dia tidak disalahkan. Dan orang-orang akan menonton kami sampai .... Entah kapan. Jadi, kuputuskan cepat-cepat menyudahi ini semua. Kusalami ibu itu, aku meminta maaf setulus yang kubisa. Mengatakan terimakasih pada orang-orang yang telah membantuku. Kupungguti pesanan yang sudah tumpah ruah itu, orang-orang membantuku, aku tidak pernah dalam keadaan kena musibah bisa merasa sebahagia ini. Orang-orang membantuku, mereka memunguti pesanan yang kubawa, mereka menanyai apa aku masih bisa naik motor? Mereka bahkan menawari mengantarku.

Aku menggeleng sambil tersenyum, benar-benar terharu, sayang, aku tidak punya uang atau sesuatu yang bisa kuberikan untuk mereka. Tapi kupikir kebaikan tidak perlu dinilai dengan materi, kebaikan itu lebih besar. Materi, kukira bukan apa-apa. Bayangkan jika kamu kaya, kamu berkendara seorang diri, lalu ditengah jalan, mobilmu bermasalah tapi orang-orang tidak ada yang menolongmu, karena mereka pikir kamu kaya. Apa kebaikan seperti itu? Tidak. Kebaikan tidak ternilai dengan materi. Kebaikan tidak melihat kaya atau miskin. Kebaikan melingkupi kedua-duanya.

Betapa aku bersyukur atas kejadian ini, aku melihat banyak sekali kebaikan di sekelilingku. Melingkupiku. Ternyata aku terlindungi, bukan oleh Matteo atau ayah tapi oleh sekitarku dan tentu saja tuhanku. Aku tidak mengenal mereka, aku tidak tahu mereka sebelumnya. Tapi mereka ada. Mereka menolongku. Mereka menolongku tanpa tahu siapa aku. Mereka menolongku tanpa berharap aku memberikan sesuatu. Saat aku pergi dengan senyuman dan rasa terimakasih yang sungguh-sungguh, mereka melepasku juga dengan senyuman. Mereka tidak meminta apapun padaku, mereka hanya ada, menolongku. Rasanya, rasa terimakasih tidak cukup, diperjalanan pulang, kudo'akan mereka. Aku tidak punya apa-apa, yang kupunnya hanya do'a, maka itu yang kuberi.

Semua itu sudah selesai, beberapa menit yang lalu, sekarang di parkiran Victorius Cafe khusus karyawan, aku duduk di atas motor dengan perasaan kacau. Menyiapkan diri, mbak Tere akan memarahiku habis-habisan. Aku butuh tenaga untuk menahan kesabaran, tentu saja. Jadi, kuhembuskan nafas beberapa kali lalu kutenangkan diriku.

Kuhembuskan nafas panjang sekali lagi, kuyakinkan diriku untuk terakhir kalinya. Lalu dengan takut-takut kudorong pintu belakang Cafe sepelan yang kubisa. Lalu mendadak terkesiap ketika mendapati mbak Tere sudah ada di depanku, melipat tangan didepan dada, dengan ekspresi menahan marah seperti yang kubayangkan. Aku tersenyum kikuk, mbak Tere menurunkan lipatan tangannya. Tatapan kesal itu berubah lebih menyeramkan. Mbak Tere akan marah dalam hitungan satu ... Dua ...

"Irene! Apa sih yang bisa kamu lakukan! Nganterin pesanan aja nggak becus! Kamu mau dipecat? Hah?!." Aku menelan ludah, menunduk sedalam-dalamnya. "Mbak Zoya sejak sepuluh menit yang lalu sudah menghubungi saya, katanya pesanannya belum nyampe-nyampe, saya pikir kamu masih di jalan, ternyata malah balik ke sini tanpa nganterin pesanan! Kamu dari mana aja, Irene?!.".

Kuberanikan diri bersuara meski takut-takut. Beberapa karyawan melirik kami sambil melakukan pekerjaan mereka. "Anu mbak ... Tadi aku .. ditabrak motor sama ibu-ibu, ibu-ibu itu ...."

Mbak Tere memotongku cepat. "Halah alasan aja kamu! Bilang aja nggak mau bonus, kamu seharusnya ngomong sejak awal. Dibanding saya udah nyuruh kamu tapi kamunya malah kayak gini! Mulai besok kamu nggak usah dateng lagi kesini! Kamu dipe--."

"Irene." Aku melihatnya. Kurasakan jantungku lupa cara berdetak dengan benar. Kupu-kupu yang berterbangan seperti memenuhi perutku. Dia datang!

###

Haiiiii, aku update

Jangan lupa votenya ya,
Love u all❣️🤗

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang