bab 59.

1.7K 183 12
                                    

Seumur hidup menginjakkan kaki di The Secret Bar hanya tiga kali dalam sejarah hidupku, pertama ; terpaksa karena harus merayakan pesta ulang tahun salah satu rekan artis yang kuhormati, kedua terpaksa dengan alasan yang sama ke tiga sewaktu Kalla Shasa merayakan perayaan pesta ulang tahunnya. Kalla Shasa memaksaku ikut dengan menyeretku ke mobilnya. Kurang sadis apa si artis baru itu. Satu-satunya artis baru yang tidak punya hormat ke senior, bukannya aku gila hormat, hanya saja dia memang kurang ajar. Tapi aku menyayanginya, dia seperti adik perempuan yang tidak kupunya.

Dentuman musik menggila saat aku masuk ke The Secret Bar, di sana sudah ada banyak manusia yang menari liar seolah tidak ada hari esok. Perempuan-perempuan dengan pakaian ketat yang mini, laki-laki dengan pakaiannya mahalnya yang sama-sama gila dengan tarian. "OMG! Ya tuhaaaaan! Keajaiban dunia Irene Ava tau-tau mendatangai The Secret Bar dengan suka rela." Lihat, betapa histerisnya Katrin melihatku ada di sini. Dia berlari menyongsongku dan langsung menyeretku untuk mengikutinya menari. Aku mengikutinya menari, berjoget menyesuaikan irama musik yang diputar. Meski tidak yakin, aku menari saja sebisaku. Sampai akhirnya aku menyerah dan menggeleng pada Katrin.

"Irene, lemas kan badan elo, elo terlalu kaku, babe." Katrin tentu saja tidak akan membiarkanku melakukannya. "Ikuti gue, elo harus tahu cara menyenangkan diri." Aku memberinya gelengan tegas. Dia mengerang kesal. "Elo kapan sih membahagiakan diri elo sendiri?." Kedua tangannya memegang bahuku. Aku terdiam mendengar kalimatnya. Apa begitu terlihat? Apa terlalu mudah untuk dibaca bahwa selama ini aku tidak bahagia? Katrin yang baru mengenalku saja sampai bisa menyimpulkan begitu. Jadi ini alasannya dia begitu keras kepala mengajakku ke club. Karena dimatanya aku tidak bahagia. Aku memeluknya sebentar, menyampaikan terima kasih yang tidak bisa di ucap. Terima kasih karena sudah mau peduli.

"Gue cuma butuh sendiri." Lalu aku pergi meninggalkannya. Suara langkah kaki mengejar, itu Katrin. Dia tidak membiarkanku sendiri, padahal dia bisa saja bersenang-senang dengan teman-temannya. Tapi dia memilih menemaniku yang menyedihkan begini.

Katrin duduk di sofa, kedua kakinya di silangkan. Dia menyalakan rokok dan menghisapnya. "Dunia memang kurang ajar." Dia menuang minuman keras ke gelasnya. "Setinggi apapun elo terbang, sebesar apapun yang elo capai, tetap aja dunia selalu mengusik elo. Dunia nggak membiarkan kita hidup dengan tenang."

"Kecuali kalo elo mati." Katrin tertawa sebentar lalu menenggak alkoholnya.

"Kematian memang terdengar yang paling tepat, supaya dunia berhenti menganggu kita. Tapi gue bukan orang bodoh." Dia membuang asap rokoknya lalu melihatku. "Gue harap elo juga begitu."

"Dunia mengusik elo lebih kejam ketimbang gue." Katrin mengangkat bahu.

"Mana gue tahu, gue nggak tahu apa yang baru aja di perbuat dunia sama elo." Aku tertawa keras. Kupikir Katrin juga begitu kalau tahu yang kulakukan ini karena patah hati. Karena Matteo sialan yang seenak jidatnya pindah ke sini. Katrin menuangkan alkohol ke gelasku. "Gue tebak, ini pertama kalinya elo minum." Aku tidak menjawab. Katrin tertawa keras. "Ya tuhan. Ini harus dirayakan." Dia tertawa lagi lebih keras.

Sampai pukul dua dini hari Katrin masih menemaniku, dia tadi pergi sebentar dengan teman-temannya lalu menemaniku lagi. Tidak mengatakan apa-apa, hanya duduk di sampingku sambil menghisap rokoknya. Dulu, pertama kali mengenalnya adalah dua tahun yang lalu, saat itu kami sama-sama menghadiri sebuah acara award televisi swasta. Dia lebih tua tiga tahun dariku, dia juga seniorku. Saat itu, entah kenapa punggung gaun yang dipakainya robek, aku yang melihat berinisiatif meminjaminya blazer yang kugunakan.

Saat itu, publik begitu heboh membicarakan skandal perselingkuhannya dengan bos maskapai BUMN. Tidak ada yang bersimpati padanya, semua orang ramai-ramai menghujatnya. Bahkan melihat gaunnya robek saja tidak ada satu orangpun yang mau menolongnya. Mungkin aku menolongnya saat semua kepala berpaling menghujatnya. Dia jadi memperhatikanku terlalu banyak. Mungkin itu bentuk rasa terima kasihnya.

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang