"Orang-orang pada geger sebenarnya elo itu pacaran sama Matteo apa Mike sih?." Aku tertawa. "Yang diberitakan di media kedekatan elo sama Mike sedangkan kenyataannya yang sering nganter jemput elo adalah Matteo."
Aku meletakkan gelas kopiku. "Enggak sering, cuma dua kali aja. Orang-orang terlalu melebih-lebihkan." Kami, aku dan Tia sedang ada di Starbuck. Di salah satu mall dalam rangka menyegarkan pikiran setelah seharian bekerja. Hari ini masih sore, dan pekerjaanku sudah rampung semuanya. Arthur dan Alana katanya akan pulang terlambat. Jadwal syutingku selanjutnya juga masih nanti malam pukul tujuh. Aku punya beberapa jam untuk nongkrong sebentar.
"Lihat deh anak itu posturnya kayak Arthur." Tia menunjuk pada sekumpulan anak laki yang berdiri di dalam gramedia pameran, satu anak yang membelakangi kami mengingatkanku pada Arthur. Baju hitamnya, postur tubuhnya, warna rambut sampai tas punggungnya.
"Arthur katanya akan mampir ke kantor sebentar mangkanya dia pulang terlambat." Tia geleng-geleng kepala.
"Anak-anak elo emang hebat-hebat semua. Elo pinter banget jadi ibu, Ren."
"Gue masih belajar."
"Merendah seperti biasa." Tia mencibir.
"Oke." Aku membanting gelas pura-pura kesal. "Kopinya bayar sendiri, ya." Tia membuat ekspresi seperti akan ditembak mati.
"Ampun yang mulia." Aku melihatnya dengan tatapan pura-pura, seolah mengatakan 'jangan belagu elo'. Aku melihat lima anak laki-laki itu tadi. Mereka kelihatannya membeli banyak buku, keempatnya terlihat sangat songong kecuali si anak mirip Arthur yang terus-terusan membelakangi kami, dia sedari tadi paling banyak di dzalimi. Dia diminta membayar belanjaan teman-temannya. Dia juga diminta membawa tumpukan buku belanjaan teman-temannya. Si anak mirip Arthur itu menurut saja dan diam saja.
Aku yang melihatnya merasa kasihan. Untung anak-anakku tidak begitu, mereka pintar membawa diri dan tidak mungkin di bully atau malah membully. Apalagi si Alana. Yakin deh setelah kejadian tampar menampar kemarin tidak ada lagi yang akan mengganggunya. Anak itu pemberani sekali. Tidak sepertiku yang cenderung kalem. Alana melakukan apa yang dia mau.
"Gue mau ke toilet sebentar." Tia mengangguk, dia sedang memilih beberapa baju, aku membelikannya beberapa baju.
"Ma, aku sudah di apart, mama katanya jam empat udah selesai kerjanya." Aku sedang menjawab telfon dari Alana sambil berjalan ke dalam toilet.
"Mama sedang pergi sebentar dengan Tante Tia, kalau kamu sudah pulang mama akan pulang sekarang."
"Enggak deh, kalau mama mau pergi dengan Tante Tia pergi aja, lagian di sini ada Dadda sementara aku menunggu mama aku bisa sama Dadda."
"Mama sudah selesai, tinggal menunggu Tante Tia aja. Mama akan langsung pulang sekarang."
"Ma, nanti tolong belikan aku--"
"HEH! BABI! SINIIN DOMPET ELO! ELO KAN, KAYA! JANGAN BELAGU LAH ELO ORANG KAYA!." Aku mengernyit. Suara itu seperti suara anak laki-laki yang belum puber. Suaranya tidak jauh dariku, sepertinya dari toilet cowok disebelah toilet cewek yang akan kumasuki. Aku sampai berhenti mencuci tangan di wastafel. Alana sepertinya di sana juga mendengar, dia sampai berhenti berbicara.
"UDAH BURUAN SINI DOMPET ELO! ELO MAU GUE HAJAR SAMPAI GIGI ELO TINGGAL DUA!!!." Suaranya berat, seperti suara anak laki-laki yang baru saja puber.
"ALAH LAMA!!! ELO MAU TULANG RUSUK ELO JADI REMPEYEK!!." Suara cempreng yang berbicara.
"UDAH SIKAT AJA!! SIKAT!!." Aku terkesiap mendengar itu, suara tawa-tawa kemenangan, suara rintihan kesakitan. Suara tawa lagi. Aku berdecak. Melihat sekeliling, tidak ada orang lain selain aku di sini. Astaga. Aku mengerang kesal. Tidak ada orang yang bisa membantuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Dream
RomanceDinikahi laki-laki beranak tiga yang setampan David Beckham saat masih muda, disaat usiaku masih 17 tahun! Aku menelan ludah. Dia... uhm ... Bagaimana aku menggambarkannya... Aku kehabisan nafas. Dia luar biasa tampan. Sangat seksi dan matang. Ini...