bab 38.

2.5K 260 48
                                    

"Aku yakin kamu akan menjaga anak-anak dengan baik. Nggak ada yang perlu kukhawatirkan, aku akan pergi." Untuk terakhir kalinya kutatap mata hijau itu. "Mungkin terima kasih aja nggak cukup tapi cuma ini yang aku bisa, terima kasih buat semua waktu, perhatian, tenaga dan pikiran kamu. Makasih udah boleh mengenal anak-anak. Aku belajar banyak hal dari kamu, semoga kamu juga begitu. Sehat dan bahagia ya sama anak-anak." Aku mengangguk dan akan menyeret koperku. Lalu tertahan ketika sebuah ingatan muncul. "Lily udah gede dan nggak akan selamanya homeschooling terus, aku boleh minta Lily sekolah di sekolah biasa aja, dia harus bersosialisasi dan punya teman." Aku melihat matanya dalam-dalam. "Permintaanku emang terlihat kurang ajar tapi aku mohon Matteo." Dia mengangguk datar.

"Akan kupertimbangkan." Tidak terhitung rasa syukur yang kupanjatkan karena dia menyanggupi. Aku mengangguk dan benar-benar menyeret koper pergi dari sana dengan gemetar dan kepingan hati yang hancur lebur. Saat aku akan mendorong pintu dia memanggil.

"Irene?."

"Iya?." Aku menoleh seperti orang asing.

"Aku minta maaf." Aku mengangguk.

"Maaf diterima, justru aku yang bersyukur bertemu kamu dan belajar banyak hal." Untuk terakhir kalinya kuberikan dia senyum simpul yang terasa sakit sekali. Dia sudah memintaku pergi, bukankah itu sudah cukup jelas, kehadiranku tidak lagi diinginkan.

***

Aku memasuki taksi yang dipesankan Matteo, begitu pintu taksi kututup tangisku pecah luar biasa. Apa selama ini kisah kita tidak berarti apa-apa untuknya? Apa semua kenangan manis kita hanya pelampiasanmu saja? Apa aku sungguhan hanya pengganti? Apa aku begitu bodoh sampai gampang terperdaya?

Kemarin kita masih baik-baik saja, kemarin aku merasa seperti berada di surga. Lalu secepat ini aku menginjak bumi dan kembali ke tempat asalku? Secepat ini. Sangat cepat sampai aku tidak siap. Aku memang tidak pernah punya persiapan apa-apa. Pantas saja sewaktu kuminta menikahiku Matteo tidak bisa menjawab. Dia mengelak aku masih di bawah umur, ternyata ini jawabannya. Bodohnya kamu Irene.

Matteo tidak benar-benar mencintaimu, dia hanya memanfaatkan kebodohanmu. Matteo dengan segala kesempurnaannya tiba-tiba saja jatuh cinta denganmu, siswa SMA biasa saja, yang jelas bukan levelnya, lalu kamu mengira itu karena cinta. Kamu terlalu polos Irene. Aku menangis makin hebat, menangis seperti tidak pernah menangis sebelumnya. Aku menangis bukan untuk Matteo, aku menangis karena diriku sendiri, kenapa kamu terlalu gampangan, terlalu polos dan lugu sampai hanya mampu diam dan tidak melakukan apa-apa saat orang lain menyakitimu. Aku menangis untuk ketidakmampuanku.

Sampai taksi akan mencapai rumahku, tangisku masih hebat. Aku menyadari sesuatu, setelah hampir satu setengah bulan tidur dengan anak-anak kupikir kali ini aku tidak akan bisa jika kembali tidur seorang diri dan kesepian lagi. "Pak, ke kosan teman saja aja." Supir taksi itu mengangguk. Lalu dibawanya mobil menuju kosan mbak Nesa dan mbak Lia.

Supir taksi itu menurunkan tiga koper besarku. "Makasih, pak." Supir taksi itu mengangguk.

"Nggak sekalian dibawakan ke dalem, neng?."

Aku tersenyum sedikit, merapatkan jaketku karena hujan menguyur luar biasa deras. Kehujanan malam-malam begini membuat rasa dinginnya menusuk kian kuat. "Nggak usah pak, saya akan bawa sendiri." Bapak itu mengangguk lalu membawa taksinya pergi. Aku membuka pagar kosan mbak Nesa dan mbak Lia, begitu pagar berhasil kubuka aku menyeret dua koperku masuk ke dalam saat aku berbalik akan mengambil satu koperku lagi seorang wanita bule paruh baya yang masih sangat cantik diusianya yang tidak lagi muda. Wanita itu berdiri di sana dengan seorang ajudan yang memayunginya. Aku melirik Rolls Royce yang tau-tau terparkir di depan pagar. Tidak usah ditebak siapa pemilik Rolls-Royce itu, pasti wanita ini.

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang