Aku langsung berdiri, berlari tertatih ketempat Matteo, kulihat Matteo berlari cepat menjangkauku. Lalu dia menangkap tubuhku. Aku seperti melayang, seperti berada ditempat yang berbeda. Dia mendekapku, rasanya hangat. Sangat nyaman. Seperti aku merasa terlindungi. Seperti aku tidak perlu merasa khawatir lagi. Aku percaya dia akan menjagaku. Aku percaya Matteo akan memastikanku baik-baik saja.
"Matteo...." Aku merengek.
"Shhttt." Katanya dengan suara pelan. Kurasakan tangan besarnya mengusap-usap rambutku. Lembut dan menenangkan. Aku memejamkan mata. Kurasakan sensasi itu dengan lebih baik. "Kamu baik-baik saja?." Aku mengangguk. Matteo tidak menanyai apa yang baru saja terjadi. Dia tidak bertanya apa yang keenam laki-laki itu lakukan padaku. Dia hanya ingin tahu aku baik-baik saja.
Aku menangis didadanya. Air mataku membasahi kaos polos hitamnya. Aku menangis lagi hanya karena Matteo menanyai keadaanku. Hanya karena Matteo peduli. Kurasakan tangannya membelai rambutku, kedua tangannya menangkup kepalaku. Dia membawa kepalaku untuk melihat matanya. Aku melihat matanya, meski air mata sialan ini menghalangi pandanganku. Tapi aku melihatnya, disana, dimata hijau itu ada kekhawatiran yang tidak main-main. Apa dia mengkhawatirkanku?
"Kamu masih ingin menangis, Irene?." Suaranya menenangakan. Aku menggeleng tapi air mataku malah meluncur turun. Dia tersenyum sebentar, lalu membawaku ke dadanya lagi. "Kamu masih ingin menangis? Baiklah bayi. Tapi kita harus masuk mobil dulu, di sini dingin. Nanti kamu masuk angin."
Aku semakin hebat menangis. Matteo mengkhawatirkanku akan masuk angin. Dia menyuruhku masuk ke mobilnya supaya aku tidak kedinginan. Hanya begitu. Tapi air mataku tidak berhenti mengalir. Kurasakan kedua tangan besarnya melingkari punggungku. Sebelah tangannya mengusap punggungku menenangkan. Aku kehabisan nafas. Rasanya lututku lemas. Rasanya tubuhku tidak bertulang. Aku yakin jika Matteo tidak menahan tubuhku, aku pakan jatuh.
"Ke mobil dulu, ya sayang. Nanti kamu boleh menangis lagi." Aku menelan ludah. Air mataku benar-benar tidak terkontrol. Dia mengatakan dengan suara paling lembut yang pernah kudengar. Bagaimana caranya aku tidak meleleh. Aku mengangguk. Cepat-cepat menghapus air mataku. Dia mendongakkan kepalaku. Mata hijau itu melihatku. Pasti aku kacau. Aku jelek sekali karena baru menangis. Kupalingkan wajahku menghindari matanya. Tapi kulihat dari ekor mataku dia tersenyum. "Kamu masih cantik. Sangat cantik sampai aku tidak berpaling melihatmu. Kenapa malu, Irene?."
Aku mengumpat dalam hati. Tidakkah dia tahu efek kalimatnya membuatku lupa cara berdiri dengan benar. "Kamu merona, Irene?." Dia menunduk sampai mata hijau itu bertabrakan dengan mataku. Aku menghirupnya dalam-dalam. Aroma nafasnya, harum aroma mint yang menyegarkan. Aku bukan hanya ketagihan merasakan aroma tubuhnya, aku juga ketagihan merasakan aroma nafasnya. Lalu ketika dia memamerkan senyum nakalnya. Kupukul dadanya.
"Matteo! Kamu gila!." Lalu cepat-cepat, dengan sedikit berlari kecil aku meninggalkannya. Masuk mobil dengan diperhatikan beberapa tetanggaku yang sudah berkerumun melihat kami. Astaga! Aku sampai tidak sadar mereka menonton kami terang-terangan. Beberapa dari mereka masih memakai mukenah, bapak-bapak memakai sarung dan peci. Ini masih subuh, dan tentu saja mereka baru saja pulang dari Masjid. Apa yang mereka pikirkan tentangku? Ada Matteo! Matteo bersamaku! Aku dipelukannya! Apa mereka melihat kami berpelukan? Apa mereka juga akan mengira aku salah satu wanitanya, seperti gosip-gosip yang selama ini beredar?
Kuberikan senyum tipis sebagai bentuk kesopanan sebelum masuk mobil. Beberapa dari mereka membalas senyumku, beberapa dari mereka terang-terangan menatapku tidak suka. Beberapa lagi terang-terangan berbisik sambil melihatku. Aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan. Yang jelas aku harus cepat-cepat pergi dari sini dan menuju Victorius Cafe secepatnya.
Kulihat dari jendela mobil, Matteo mengatakan sesuatu pada keenam laki-laki itu. Yang jelas aku tidak bisa mendengarnya. Tapi dari ekspresi keenam laki-laki itu, kesemuanya terlihat segan. Mereka jelas tahu siapa Matteo, Matteo dengan reputasinya sudah melegenda di kota ini. Matteo memanggil supirnya, laki-laki yang setampan Lucas WayV. Matteo mengatakan sesuatu pada Lucas, dia melihatku didalam mobil sebentar lalu melihat Lucas lagi. Kulihat dari ekspresi Lucas, sepertinya mereka mengobrol serius. Matteo seperti mengancamnya, Lucas menganggukkan kepala patuh. Lalu berpamit menuju mobil yang kutumpangi, tapi Matteo memanggilnya lagi. Matteo mengatakan sesuatu sambil berpaling melihatku. Apa aku yang Matteo bicarakan? Lucas melihatku sebentar lalu mengangguk lagi dengan lebih tegas, seperti berusaha meyakinkan bosnya, tapi meyakinkan dari apa?
Lucas menuju mobil yang kutumpangi, dia duduk di kursi kemudi. Matteo dari sana masih mengawasi kami, Lucas mengangguk melihat Matteo masih mengawasinya. Dia berpaling melihatku dibelakang setelah memakai safety belt. "Saya akan mengantarkan nona, anda ingin diantar kemana?." Buset. Presiden saja tidak menggunakan bahasa sebaku itu.
"Matteo nggak ikut?." Tanyaku sponton. Aku merasa Matteo meninggalkanku ... Apa aku kecewa karena dia tidak ikut dengan kami?
"Tuan akan menyusul nanti."
"Nggak bisa ikut sekarang aja?." Aku memaksa. Seperti bertahun-tahun yang lalu ketika aku memaksa ayah membelikanku boneka yang bisa berkedip-kedip matanya. Saat itu aku menangis, tidak berhenti sampai ayah menuruti keinginanku. Sekarang, setelah bertahun-tahun, aku tidak pernah lagi memaksa siapapun untuk menuruti keinginanku. Tapi kini, aku memaksa Matteo menuruti keinginanku.
Kulonggokkan kepalaku di jendela mobil. Aku berhasil mengeluarkan kepalaku dengan baik. Aku melihat Matteo, aku mendengar suaranya. Dia memarahi keenam laki-laki itu, tapi yang membuatku bingung, cara marah Matteo tidak seperti orang marah yang selama ini kulihat. Ibu pernah marah, ibu membentakku dengan nada keras, ibu baru berhenti ketika aku menurutinya. Aku juga pernah melihat mbak Tere marah, atasanku di Victorius Cafe, mbak Tere meledak dan menyemprot kami habis-habisan. Dia mengancam akan memecat kami jika kesalahan kami terulang lagi. Tapi Matteo, dia marah dengan cara yang tidak pernah kutahu. Matteo tidak berteriak. Matteo tidak berbicara dengan nada tinggi. Matteo tidak menyumpah sumpah serapah apalagi menghajar mereka. Dia hanya berbicara dengan nada tenang yang sopan. Membuatnya tampak berwibawa. Aku tidak tahu, apa memang begitu caranya marah atau dia hanya ingin terlihat lebih sopan karena tetanggaku masih mengerumuni kami. Tapi yang kulihat keenam laki-laki itu hanya menunduk dan berkali-kali meminta maaf.
Aku melihat langit sudah mulai cerah. Jangan sampai aku terlambat. Spontan kupanggil Matteo dengan suara keras yang kubisa, posisi mereka agak jauh dari mobil yang parkir ini. "Matteo! Kata Lucas kamu nggak ikut, aku mau kamu ikut. Anterin aku ke Victorius Cafe!." Begitu mendengar suaraku, Matteo langsung menoleh melihatku. Lucas juga berpaling cepat ketempatku. Ekspresinya syok. Seperti melihatku baru saja melompat dari pesawat dan berhasil mendarat tanpa luka apapun.
"Apa yang baru saja anda lakukan!." Lucas menegurku. Dengan kemarahan tertahan yang menyala-nyala. Tapi dimata itu, aku melihat ketakutan. Ketakutan yang tidak biasa. Apa yang baru saja kulakukan adalah kesalahan yang besar? Astaga. Kamu bodoh, Irene. Jelas saja! Tidak ada orang yang pernah menyuruh-nyuruh Matteo, kecuali kamu. Lihat saja, betapa kepala sekolah menghormatinya seolah-olah dia presiden. Kok bisa sih aku bertidak lancang begini? Kok bisa sih aku bertindak semauku seperti ini, Matteo kan barangkali ada urusan dengan mereka, dia harus memastikan beberapa hal. Tapi anehnya, dia tidak memarahiku, dia menurut, dengan cepat berlari menuju ketempatku. Aku melihat Lucas, dia melihat Matteo seperti Matteo baru saja terjebur ke kawah gunung berapi tapi sejam kemudian Matteo pulang ke rumah dengan selamat.
###
Haloooo,
Aku up lagi, pagi-pagi bgttt~mumpung semangat~Semoga suka ya sama ceritaku🐰
Jangan lupa vote sama coment,Love u all guys, sehat-sehat selalu ya.❣️
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Dream
RomanceDinikahi laki-laki beranak tiga yang setampan David Beckham saat masih muda, disaat usiaku masih 17 tahun! Aku menelan ludah. Dia... uhm ... Bagaimana aku menggambarkannya... Aku kehabisan nafas. Dia luar biasa tampan. Sangat seksi dan matang. Ini...