bab 31.

4.5K 250 29
                                    

Di dalam kamar Matteo aku menangis hebat, aku menangis seperti tidak pernah menangis sebelumnya. Aku menangis sampai tidak peduli pada suara gedoran anak-anak di pintu kamar Matteo. Aku menangis sampai seluruh air mataku tumpah, rasanya mataku jadi kering. Tidak peduli berapa lama aku menangis, rasanya masih tidak pernah cukup. Yang kupikirkan di kepalaku hanya kematian. Yang kupikirkan di kepalaku kenapa tidak kulakukan bertahun-tahun yang lalu, kenapa tidak dari dulu saja aku menghilang. Setidaknya jika aku menghilang  mungkin aku tidak akan sesakit ini. Mungkin aku tidak akan sekecewa ini pada ibu.

Aku tidak perlu repot-repot membangun harapan baru, aku tidak perlu repot-repot kecewa ketika harapanku dihancurkan dengan sadis.

Aku mau mati! Tidak ada lagi yang perlu kupertahankan di sini. Aku mengobrak-abrik laci Matteo, tidak kutemukan benda apapun. Aku beralih ke ruang kerjanya, kutelusuri satu persatu, pada laci mejanya, pada lemari buku-bukunya, hasilnya nihil, aku tidak menemukan benda apapun yang bisa membantuku. Aku harus mati tanpa membuat kegaduhan. Ada anak-anak, aku tidak mau anak-anak melihat mayatku mengenaskan. Aku teringat Matteo punya obat tidur. Aku mencarinya di nakas sebelah kanan tempat tidurnya. Begitu kutemukan, tekadku semakin membulat. Menghilang rasanya lebih baik ketimbang semua kegilaan ini. Aku capek. Aku sangat lelah. Aku mau mati.

Aku mengambil lima butir obat itu, aku menelannya susah payah, dua butir sudah kutelan, aku terbatuk-batuk, kuambil air putih di sisi nakas, kutenggak sampai tinggal separuh, lalu kutelan lagi tiga butir sisanya ketika pintu kamar Matteo tau-tau di buka dari luar, Matteo masuk dengan raut cemas sejadi-jadinya, dia menginstruksikan anak-anak untuk keluar dulu, di belakang Matteo ada Mike, dia melihatku waspada penuh kesiagaan, seolah ada pistol di tanganku yang bisa kutembakkan kapanpun dia lengah.

"Irene." Deru nafas Matteo memburu. Dengan gerakan tenang yang hati-hati Matteo mendekatiku. Bukannya mendekat, aku mundur menjauhinya. Meskipun dia ada di sini bersama anak-anak rasanya semua itu tidak pernah cukup. Duniaku sejak awal hanya tentang ibu, sampai kini dan selamanya tidak pernah tergantikan. "Sayang." Matteo memanggilku dengan suara lembutnya. Aku menggeleng sambil tetap saja menjauh.

Dengan tatapan kosong setengah linglung, entah efek obat tidur itu atau memang aku yang sudah sangat lelah, aku berkata di depan wajahnya. "Tolong mundur, aku mau mati."

"Sayang." Suara Matteo seperti jeritan tertahan. Saking paniknya Matteo jadi terlihat kacau, aku tidak pernah melihatnya begitu panik sebelumnya sekalipun sesuatu yang besar terjadi pada pekerjaannya seperti tadi pagi. Apa aku sangat berarti untuknya? Sayangnya itu tidak pernah cukup. "Sayang, kita bicara baik-baik. Apa yang kamu inginkan?."

"Mati."

Matteo menggeleng tergesa. "Kamu sudah berjanji untuk tidak pernah meninggalkanku, Irene. Kamu ...."

"Udahlah Matteo, bull shit. Aku mau mati." Aku menenggak tiga butir obat itu lagi, di depan wajahnya, ekspresi Matteo seperti dia yang akan di jemput malaikat maut.

Lalu ketika aku berhasil menelan semuanya, aku tidak punya kesiapan ketika Mike tau-tau mendorongku. Aku terjatuh, entah apa yang dia lakukan pada leherku, semua pil yang kutelan itu mendadak berhamburan keluar dari tenggorokanku. Aku terbatuk-batuk, Matteo langsung berjongkok di sampingku. Aku terbatuk-batuk hebat sampai kegelapan merenggutku. Samar-samar seperti dari tempat yang jauh sekali, aku mendengar Matteo meneriakkan namaku. Aku merasakan bahuku di guncang kuat sekali. Lalu gelap. Kegelapan menelanku kuat-kuat.

***

Aku terbangun, hal pertama yang kulihat adalah wajah cemas Matteo yang berada di atas wajahku. Wajahnya sangat dekat dan sangat cemas. "Irene." Aku melihat dia menghembuskan nafas penuh syukur. Guratan kecemasannya mulai menghilang, kerutan-kerutan di wajahnya itu mulai memudar. Sebelah tangannya memegang bahuku. "Apa yang kamu rasakan? Apa ada yang sakit?." Aku menggeleng. "Syukurlah, dokter Tedy tadi sudah menetralkan obat tidur di tubuh kamu. Sayang..." Dia memanggilku dengan setengah putus asa, setengah bersyukur dan cemas. "Sayang... Kamu membuatku seperti  diambang kematian Irene." Matteo menunduk, dia menyeka air mata dengan sebelah tangannya. Apa seberat itu ini untukmu?

It's My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang