Erika melepas sepatunya dan menatanya di rak setelah ia menginjakkan kaki di mudroom rumahnya. Wanita itu kemudian melangkah masuk ke ruang tengah di mana terlihat Skylar tengah sibuk membereskan meja makan dari arah dapur.
"Wow, ada apa ini Sky?" Tanyanya menghampiri putranya tersebut. Ia lumayan terkejut dengan apa yang Skylar lakukan. Membersihkan meja makan? Beberapa piring lengkap beserta peralatan makan berjejer seakan satu dua orang baru saja menyantap hidangan di sana.
"Teman-temanku tadi berkunjung." Jawab Skylar santai. Ia menumpuk piring-piring menjadi satu dan membawanya ke kotak pencucian.
"Emma?"
"Bukan."
"Siapa?" Erika menarik salah satu kursi dan duduk di sana. Ia menyilangkan kakinya dan melipat tangannya di depan dada diiringi tatapan menyelidik.
Jujur Skylar selalu tak suka dengan sinyal itu. "Temanku, teman sekolah, tapi bukan Emma."
"Ya, teman satu sekolah, ibu tahu. Tapi tolong katakan siapa dia, kau tak memiliki banyak teman selain Emma di sekolah."
"Apa ibu akan tahu jika aku mengatakan namanya?"
"Sky,"
"Kau tetap tak mengenalnya jika aku menyebutkan namanya." Skylar menata rapi semua peralatan makan kotor itu di kotak pencucian sebelum ia mengunci penutupnya dan mengetuk tombol On.
Erika berpaling, menyabet sebuah apel yang berada di keranjang buah, melempar-lempar kecil di tangannya bak bola kasti. "Oke, ibu tak memaksamu. Tapi kuharap kau tak terlalu jauh menjalin hubungan dengan teman-temanmu itu. Ibu tak ingin sesuatu yang buruk mengancam kita, ini soal identitasmu."
Skylar tak menggubris, ia hanya memperhatikan kotak pencucian itu yang seakan lebih menarik ketimbang semua ujaran ibunya. Alat itu mengeluarkan suara dengung di mana kedengarannya sangat cocok untuk menjadi irama isi kepalanya yang juga tak henti berkutat memikirkan Abby dan NC yang kini sedang beristirahat. Kira-kira, kapan waktu yang tepat membicarakan dua tamu itu pada Erika?
"Sky, kau dengar ibu?"
"Aku dengar."
"Dengar, lalu kenapa cuma diam? Coba ulangi apa yang kukatakan tadi,"
"Aku tak boleh bergaul terlalu jauh dengan anak-anak lainnya karena akan mengancam kita, ini soal identitasku. Aku dengar, aku mengerti."
"Anak pintar." Erika menggigit apel itu dan mengunyahnya dengan lega. Namun, hal lainnya mendadak terbesit di kepalanya. "Oh ya, ibu hampir lupa."
"Apa lagi?"
"Nenekmu, dia tadi menghubungiku."
"Nenek?"
"Katanya seharian ini kau mencoba melakukan panggilan dengannya, kau bahkan mengiriminya banyak sekali pesan untuk membicarakan sesuatu. Apa itu benar?"
"Itu.. ya. Tadi, aku mencoba menghubungi nenek."
"Ada apa Sky? Apa terjadi sesuatu? Apa yang ingin kau bicarakan dengannya? Kenapa tidak berbicara saja dulu padaku?"
Skylar terdiam sesaat. Sekali lagi perhatiannya tertuju pada mesin yang terus mendengung di dekatnya tersebut. Sementara Erika berhenti mengunyah apelnya, ia mencoba fokus membaca pesan tersembunyi dari wajah putranya yang terhening, namun ternyata itu cukup sulit.
"Sky?"
"Aku, aku hanya merindukannya." Jawab bocah itu.
"Apa?"
"Rindu. Aku hanya merindukan nenek, bisakah kita mengunjunginya secepatnya, di Terea?"
"Astaga ada apa ini? Kenapa tiba-tiba kau..-"
"Aku ingin bertemu dengan nenek, secara langsung. Melihat keadaannya, berbicara-mengobrol, memeluknya. Kenapa? Kita sudah lama tak mengunjunginya bukan?"
"Aku tak tahu kenapa kau mendadak melantur begini." Erika menikmati apelnya lagi.
"Melantur?"
"Ya, kau melantur. Coba lihat, kau bahkan tak pernah suka berkunjung ke rumah nenekmu sebelumnya."
"Aku suka."
"Kau tidak suka. Kau tak pernah ingin pergi ke rumah ibuku karena.. karena kau benci dengan kucing-kucingnya. Wajahmu pernah dicakar saat usiamu lima tahun hingga terluka sehingga kau tak pernah mau jika kita pergi ke sana lagi. Lalu-sekarang, tiba-tiba kau melantur ingin mengunjunginya seperti ini?"
"Aku hanya...-"
"Jangan bersikap bodoh Sky. Kau membuatku bingung."
"Aku hanya ingin berkunjung. Aku tahu aku sangat konyol soal kucing itu, tapi..-"
"Kita tidak akan pergi."
"Ibu,"
"Ada apa? Aku merasa ini bukan sekedar rindu. Kau sungguh merindukannya atau hanya ingin meninggalkan Sythelhunts? Meninggalkan kota? Ya ampun Sky, kau tahu kita sama-sama pusing soal masalah yang ditimbulkan kakakmu, tapi ini bukan saat yang tepat untuk ber-libur!"
Mereka terdiam beberapa saat. Skylar akhirnya bisa memperhatikan wajah ibunya ketimbang mesin pencucian yang berhenti mendengung. Erika tampak sangat kacau. Tubuhnya makin kurus dari hari ke hari, cekungan terlihat jelas di ujung lehernya, sementara lingakaran hitam terlihat samar di bagian bawah dua matanya, Skylar tak tahu pasti sudah berapa lama ibunya itu tidak cukup tidur karena memikirkan NC.
"Maafkan aku, bu." Ujar anak itu mendekati Erika. "Bukan hanya sekedar rindu. Ya, kau benar. Ada maksud lain kenapa aku ingin mengunjungi nenek."
"Maksud lain?"
"Ini soal.. kakak, Nicholas. Aku berpikir kita harus ke Terea, kita harus pergi ke sana untuknya. Jangan terkejut, saat ini dia ada di..-"
"Terea?" Sela Erika. "Nicholas saat ini ada di Terea? Begitu maksudmu?! Jika memang dia ada di sana, itu sangat konyol. Dia bahkan tak tahu cara menggunakan terminal..-"
"Tolong dengarkan dulu," Sela Skylar ganti.
"Sudahlah Sky, sudah, cukup. Aku lelah. Jangan membahas tentang kakakmu." Erika tak kuat menahan gejolak hatinya mendengar putra pertamanya tersebut mendadak menjadi topik pembicaraan. Rasa sakit tentang kenangan-kenangan lama saat tangannya harus rela melepaskan bayi mungilnya itu seperti terulang lagi dan lagi, semakin dalam menggerus hatinya. Ia berdiri dari kursi, membuang bekas apel yang tadi ia nikmati ke tabung pembuangan yang langsung menghancurkan setiap materinya. "Lebih baik sekarang kau teruskan membersihkan meja ini, berhentilah mengungkit soal Nicholas. Aku tak ingin mendengar kekonyolan darimu tentang anak itu. Aku sudah muak, aku muak dengannya, aku muak dengan kehadirannya di hidupku!"
"Ibu,"
"Ya Tuhan, andai aku bisa memutar balik waktu, aku tak akan mengikuti eksperimen Eden itu untuk melahirkan bayi laki-laki. Aku berharap, aku tak pernah memiliki anak seperti kakakmu. Semuanya pasti lebih mudah jika seandainya dia, NC0012, MATI SAJA SAAT ITU, MATI SEPERTI ANAK LAKI-LAKI LAINNYA!" Erika melangkah pergi meninggalkan ruangan menuju ke kamarnya.
Skylar mematung. Kalimat-kalimat ibunya, mati? Hebat, ia tak berani bertaruh sudah berapa jauh rasa tertekan Erika soal NC. Keputusan tepat membawa kakaknya itu pulang kembali ke rumah seperti ini. Mungkin Erika tidak akan bergumam kalimat-kalimat kasar itu lagi besok, setelah ia bertemu dengan NC. Dengan pikiran yang terus saja resah, Skylar akhirnya memutuskan kembali melanjutkan aktifitasnya tanpa menyadari seseorang, yang rupanya sudah sejak tadi berada di balik dinding ruangan itu dan tak sengaja mendengar semua perbincangannya.
NC berjalan menuju pintu depan, membukanya perlahan dan keluar dari sana tanpa sepengetahuan Skylar. Ia melangkah, berjalan entah ke mana saja mengobati hatinya yang mendadak terasa sangat sakit mendengar perkataan Erika.
'Mati? Sepertinya ibu takkan senang jika bertemu denganku Sky. Dia bahkan sudah lama menginginkanku untuk, mati. MATI SEPERTI BAYI LAKI-LAKI LAINNYA.'[]
-
(Semoga cerita sederhana ini bisa tetap menghibur di waktu gabut kalian)
-
KAMU SEDANG MEMBACA
THE Y [COMPLETE]
Ciencia FicciónPara ilmuwan memprediksi bahwa kaum pria, akan punah dalam kurun waktu lima juta tahun ke depan karena penyusutan kromosom Y. Tapi bagaimana jika ternyata hal itu terjadi kurang dari sepuluh tahun? *** Dua ratus tahun setelah tragedi pandemi virus Y...