41. THE LAKE

734 162 7
                                    

Red akhirnya menemukan tempat yang cocok dengan suasana hatinya saat itu, sebuah tempat di mana ia sempat bercakap-cakap dengan Skylar kemarin, di dekat danau di taman tengah kota Sythelhunts.

Ia menghampiri pohon yang sebelumnya sempat menjadi tempat persembunyiannya mengamati Skylar, pohon besar yang terletak beberapa meter dari garis air di danau mungil tersebut, tempat yang mungkin bisa ia jadikan sebagai tempat pelarian barunya jika muak dengan apapun di Laboratorium selain tempat perkumpulan para anggota di distrik satu Sythelhunts. Red duduk di sana, menyandarkan punggungnya ke batang pohon tersebut. Daun-daun dari setiap ranting di atas kepalanya seakan menyaring cahaya matahari menjadi potongan-potongan kecil bak puzzle yang berserakan di atas rerumputan.

Dengan santai, ia kemudian mengeluarkan sebuah alat sebesar kepalan tangan orang dewasa yang ia curi dari tempat Nora, alat yang biasanya digunakan untuk melakukan pencarian informasi dengan detail dan akurat, tak sembarang orang diperbolehkan memiliki alat itu. Seperti halnya searcher, alat itu sebenarnya hanya boleh digunakan oleh pihak-pihak yang berwenang saja. Dan Nora, rupanya ia memilikinya juga.

Red berani jamin jika Nora tahu apa yang dilakukannya sekarang dengan alat itu, ia pasti ditegur dengan kata-kata yang kurang enak masuk ke telinganya. Apalagi mengingat aturan pemerintah yang melarang melakukan penelusuran terkait identitas pribadi masing-masing individu. Nora tak mau terlibat masalah apapun sebelum visi misinya tercapai.

Anak itu mulai mengaktifkannya, membuat ujungnya berpendar kebiruan, mengeluarkan jutaan titik-titik cahaya kecil yang menyembur dan saling merangkai hingga membentuk sebuah gambar tujuh dimensi tentang beberapa gadis bernama depan, Sky.

"Tidak, bukan yang itu." Red menepiskan tangan mengalihkan ke gambar berikutnya, memeriksa satu per satu foto dari gadis-gadis yang memiliki nama Sky. Ia tahu ini mungkin akan memakan banyak waktu, namun mau bagaimana lagi, hanya nama itu informasi yang ia tahu tentang pujaan hatinya tersebut selain tentang Sky-yang adalah saudara dari Nicholas, putra Eden yang hilang itu.

Mencoba lebih santai ia meletakkan kedua tangannya sebagai bantal ke bawah kepala, meluruskan kaki-kakinya tenggelam di rerumputan yang lembut. Untungnya tak banyak orang yang ada di sana pagi itu. Membuatnya merasa lebih aman tampil sebagai seorang remaja laki-laki, dengan tanpa adanya gadis di dekatnya.

"Berikutnya," Red mengunci kata itu sebagai perintah otomatis agar gambar yang ditampilkan terus menggulir dengan sendirinya sebelum uraian ciri yang ia masukkan cocok. Ternyata, ada banyak gadis yang sangat mirip dengan Skylar. Ada yang memiliki warna mata yang sama, atau warna dan model rambut yang tak berbeda jauh. Namun tetap saja, yang Red inginkan hanyalah Skylar yang ia temui, bukan sembarang gadis yang hanya persis secara fisik.

Hampir sepuluh menit berlangsung, ia mulai sedikit bosan. Sistem sudah mulai merebak ke luar kota Sythelhunts. Menampilkan beberapa gadis yang memiliki ciri seperti Skylar. Begitulah alat yang ada saat ini, jika ia tak mampu menjelajahi satu wilayah, ia akan menunjukkan data dari wilayah lain, namun kemudian kembali lagi ke awal, menjadi sangat random dengan data yang tersedia.

Red hampir menonaktifkan alat itu ketika akhirnya satu sosok yang ditampilkan, cocok dengan seseorang yang ia inginkan.

"SKYLAR-HOLM, 14 y.o.."

-

Sejauh kaki mereka melangkah, tak banyak kata yang keluar dari Emma dan Skylar, bahkan saat mereka memasuki area hijau di sana. Tempat yang ditunjuk Emma agar Skylar bisa lebih tenang untuk setidaknya, mendinginkan emosinya tentang kejadian pagi itu.

"Kau tidak apa-apa Sky?" Sapa Emma lembut.

Sejenak Skylar hanya diam, seisi pikirannya hanya tertuju pada Erika, pada tamparan keras wanita itu. Jujur baru kali ini Erika bersikap seperti itu. Sejak ia kecil, Skylar tak pernah mendapat perlakuan kasar secara fisik dari ibunya tersebut, namun entah dengan hari ini, apa karena ucapannya yang kedengaran menyakiti Erika? Atau karena ia telah berani membanting jepit rambut itu sebagai tanda pemberontakan? Tidak, Skylar tak ingin mengakui kalau dialah yang membuat Erika jadi seperti tadi. Wanita itulah yang memang sudah bersikap menyebalkan. Ketakutannya semakin memburuk dari hari ke hari. Entah sampai kapan ia dan ibunya itu bisa memiliki cara pikir yang sama mengenai statusnya.

"Sky, kau harusnya tak sekasar itu pada ibumu tadi, dia pasti sedih." Ujar Emma. "Kalian bisa bicarakan masalah ini baik-baik."

"Aku selalu mencobanya. Tapi dia sangat keras kepala, dia begitu kokoh dengan keputusannya yang makin tak waras itu."

Emma menggiring langkah mereka menuju tepi danau di mana terlihat beberapa angsa berenang dan bermain-main menghiasi tempat itu. "Ibumu hanya ingin melindungimu. Dia takut terjadi sesuatu denganmu."

"Melindungi? Dengan menjadikanku anak perempuan-seutuhnya? Melawan kodratku? Jika dia bukan wanita yang egois, dia tidak akan melakukan itu."

Emma mencubit halus pipi Skylar yang kini merona terkena sorot sinar mentari. "Jangan berkata seperti itu tentang ibumu, egois, itu tidak baik Sky. Seperti yang pernah kukatakan, paling tidak kau harus berpikir dari sudut pandangnya juga. Apalagi melihat kakakmu yang sampai berani kabur dari Laboratorium."

"Nicholas sama seperti dia." Skylar menyentuh bekas cubitan Emma. Cubitan yang lebih terasa seperti obat untuk bekas tamparan Erika. "Kau tahu, saat aku membawa kembali kakakku pulang ke rumah, itu semata-mata bukan hanya untuk menyelamatkannya saja. Tapi, aku berencana bertukar tempat dengannya, di Laboratorium."

"Apa kau bilang?"

"Nicholas, jika dia tak sanggup dengan semua tujuan Eden untuk turut ambil bagian mengatasi dampak buruk dari wabah ini, aku yang akan menggantikan posisinya." Tegas Skylar. "Sejak dulu Nicholas juga sudah ingin bebas. Ia ingin menjalani hari-harinya yang normal di luar Laboratorium sebagaimana layaknya orang lain, dan Erika juga begitu. Jadi kupikir ini akan cocok, aku yang akan berurusan dengan semua projek Eden di Laboratorium, dan dia yang akan menemani ibuku dengan identitas-palsunya, di Terea."

Emma terdiam sebentar, tak percaya apa yang baru saja menyentil indera pendengarannya. "Ibumu pasti tak menyukai idemu itu."

"Aku tahu, tapi aku tak peduli. Lagi pula ia pasti akan segera membaik karena Nicholas sudah ada bersamanya, anak yang selalu diinginkannya itu sudah kembali ke pelukannya, ini takkan terlalu bu-ruk." Ujar Skylar yang kemudian terdiam ketika matanya tak sengaja saling menangkap pandang dengan Emma. Menurutnya, ya, bagi Erika memang tidak terlalu buruk, tapi tidak jika ia mengingat Emma. Skylar yakin ia pasti sudah melakukannya sejak dulu kalau saja, ia tak takut untuk tidak melihat Emma lagi, atau setidaknya bertemu muka dengan muka, mengobrol dan menghabiskan waktu bersama gadis itu seperti sekarang.

Gelombang kecil air mendekati ujung sepatunya ketika seekor angsa di dekat mereka menceburkan diri masuk ke dalam air. Riak air tak sengaja membawa tatapan Skylar pada cermin dirinya yang terpantul di atas permukaan, pantulan seperti malam itu, hanya saja sekarang yang berdiri di sampingnya adalah Emma, gadis yang memang ia inginkan, bukan seorang androgini bernama Red yang saat itu berhasil membuatnya-risih dengan beragam basa-basinya.

"Kupikir rencanamu itu benar-benar gila." Kata Emma menghapus bayang-bayang Red. "Bertukar tempat dengan kakakmu, kembali ke Laboratorium, itu sama seperti kau menghianati ibumu sendiri. Kau merusak harapannya untuk kalian tetap bersama."

"Aku tahu kau pasti akan berkata seperti ini." Skylar kian murung seakan tak memiliki satu suara pun yang mendukung pemikirannya tersebut.

Namun tak disangka Emma tiba-tiba memalingkan wajah remaja itu yang tertunduk lesu untuk mereka kembali berhadapan. "Ya, sebagian hatiku memang tidak mendukungmu untuk ini, bahkan mungkin akan menilaimu sebagai anak yang tak tahu diri terhadap ibunya, apalagi mengingat perjuangan yang telah ia lakukan agar kau bisa tetap hidup bersamanya. Tapi," Emma berbicara lebih pelan. "Sebagian hatiku yang lain juga tak bisa menilai buruk keputusanmu itu." Ia meraih dagu Skylar, membuat wajah mereka jadi begitu dekat. "Bahkan kalau boleh aku bilang, aku salut denganmu, kau benar-benar laki-laki sejati, Skylar Holm." Ia mendaratkan ciumannya ke atas bibir Skylar.

Red, dari balik pohon besarnya, tak sadar hampir meremas kulit dari batang pohon tersebut mendapati momen yang rupanya, juga dapat diterima sangat baik oleh Skylar itu.


THE Y [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang