03 UNFULFILLED WISH

3.2K 515 29
                                    

Malam terasa lebih panas dari hari kemarin. Angin timur seakan tak bertiup. Sementara langit tanpa bintang menghias seperti atap petang di mana Abby, dengan malas menyeret kakinya menyusuri trotoar. Gadis itu, hatinya terasa makin buruk ketika ia memutuskan untuk tidur beberapa jam lalu. Bukannya rasa kantuk yang di dapat, malah emosi yang menjadi ketika mengingat perlakuan ibunya dan Carrie sore tadi karena menolak ide yang menurutnya sangat briliant, yakni membeli humanoid baru.

Entah ia tak dapat menemukan di mana titik kesalahannya. Ia hanya menginginkan pemuda untuk dijadikan pacar, untuk diajak berkencan atau sekedar dipamerkan ke teman-temannya. Ia hanya ingin melakukan apa yang remaja lain lakukan. Memiliki pasangan yang sesekali akan membuat jantungnya berdegup kencang, pasangan yang akan memberinya perhatian lebih ketimbang saudaranya sendiri, menanyakan apakah ia sudah makan, menghiburnya di kala ia sedih, atau yang lebih sederhana, hanya menjadi teman mengobrol yang akan membuatnya tertawa lepas hingga larut malam. Kedengarannya sangat indah. Tapi ia tak tahu kenapa Claire ibunya selalu menolak dengan alasan yang sama.

'Apa dia tidak pernah muda?!'

Abby merebahkan diri ke atas sebuah bangku taman ketika ia memasuki area penghijauan. Udaranya terasa sedikit segar, aroma tanah dan dedaunan selalu mendominasi tempat itu. Beberapa tahun belakangan para tetua menyarankan untuk membuka lahan penghijauan lebih banyak di sudut-sudut kota. Namun polemik mendapatkan tanah kosong lebih sulit dibanding membabat hutan rimba. Setengah populasi manusia memang telah berkurang, tapi proyek-proyek pembangunan gedung bertingkat makin hari makin merajalela. Lahan yang dijadikan taman seperti di mana Abby sekarang beristirahat, bagaikan sepotong emas yang tertimbun di gurun pasir, sangat sulit di dapat.

Gadis itu menegakkan kembali punggungnya ketika suasana malam semakin ramai. Orang-orang semakin banyak lalu lalang di sekitarnya. Dan beberapa dari mereka berjalan bersama-sama humanoid yang tampan dan terlihat sangat mahal.

Saat ini, tak penting secantik apa diri seorang wanita, yang penting adalah memiliki cukup banyak dana. Wanita-wanita kalangan atas, tak peduli serendah apa standar kecantikan mereka, asalkan nominal di chip mereka tertera sangat panjang, pria seperti apapun dapat mereka miliki.

Abby hanya mendesah tak habis pikir dengan keadaannya sekarang. Ia merasa seperti perawan tua-miskin jika melihat banyak gadis kini bergandengan tangan dengan pemuda-pemuda mesin yang sangat tampan itu. Astaga, ia begitu berharap ia bisa segera menyelesaikan pendidikannya, menerima surat kelulusan lalu mendapat lisensi dari kantor dinas ketenagakerjaan Eden untuk boleh segera berkarir dan memiliki banyak dana. Ia pasti segera memborong semua humanoid beragam ras di tahun pertamanya.

"Abby?" Sapa seseorang tiba-tiba sedikit mengejutkan alam pikirannya. Seorang gadis berambut panjang kemerahan yang tengah berjalan-jalan santai dengan humanoid kulit hitam-berbadan tegap.

"TINA MORALES?!" Abby bangkit dari bangku tamannya seketika.

"Hei Abby, apa yang kau lakukan di sini sendirian?" Tina menggandeng tangan robot prianya makin erat, kepalanya ia sandarkan di bahu pemuda itu seakan menunjukkan betapa mesranya mereka.

Abby menggaruk-garuk tempurung otaknya kikuk. "Hmm.. Aku..-"

"Jangan bilang kau sedang merajuk karena ibumu menolak membelikanmu humanoid baru." Sela Tina yang kemudian tertawa.

"Tidak-tidak, bukan begitu. Aku di sini bukan karena merajuk gara-gara ibuku tak membelikanku humanoid baru. Tidak-begitu, kau salah."

"Lalu?"

"Sebaliknya, kami akan segera membeli humanoid baru yang.. Yang jauh lebih bagus dari.." Gadis itu melirik pemuda kulit hitam di samping Tina.

"Paul. Namanya Paul." Kata Tina.

THE Y [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang