24. Kesempatan Terakhir

81.7K 7.3K 150
                                    

              Happy Reading ❤️

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Perut Kaila semakin membuncit. Arzan juga semakin possesive. Lupakan sejenak tentang masalahnya dengan sang ayah. Kaila dan Arzan berencana akan liburan ke puncak. Masih direncanakan, bisa saja sewaktu-waktu tidak jadi.

Sebentar lagi Arzan akan lulus sekolah, dia juga mau seperti temannya yang lain. Kuliah. Arzan rencananya akan kuliah di London. Bukan keinginannya, sih, sebenarnya. Tapi, Arzan mau istrinya itu bisa merasakan tinggal di London seperti impiannya, meskipun tidak bisa kuliah.

Arzan akan memboyong istrinya ke London. Itu artinya, Kaila harus meninggalkan ayah, bunda, adik, dan sahabatnya. Tentu tidak mudah. Namun, bagaimana lagi? Sekarang keadaannya berbeda. Ia sudah memiliki suami dan harus ikut ke manapun suaminya pergi.

"Tuan Alexander mengundang kita makan malam, Kai. Kesempatan terakhir kita. Karena setelah ini aku tidak punya waktu untuk memikirkan soal Ayahmu," ucap Arzan yang baru saja pulang sekolah.

"Beneran? Wah, apa artinya Ayah udah bisa menerima pernikahan kita?" tanya Kaila girang.

"Maybe."

"Kapan?" tanya Kaila lagi dengan senyuman lebar.

"Besok," jawab Arzan singkat.

"Kalau gitu, besok aku mau ke pasar, ah! Aku mau masakin makanan kesukaan Ayah!"

Aktivitas Arzan terhenti setelah Kaila mengucapkan kalimat tersebut. Apa ia tidak salah dengar? Bagian belanja-belanja seperti itu sudah diurus oleh asisten rumah tangga. Kaila pun juga tau.

"Mau apa kamu ke pasar?" tanya Arzan seraya berjalan mendekati istrinya.

"Main bola pingpong! Ya, belanja lah! Gimana, sih?" gerutu Kaila. Lagian, pertanyaannya kok gak bermutu gitu.

"Sensi amat! Maksud aku, tuh, ngapain repot-repot belanja? Kan udah ada yang ngurus. Dena pasti sudah belanja juga," balas Arzan.

"Mau aja. Udah lama juga gak ke pasar. Lagian, ada bahan yang kurang. Izinin, ya, Kak?" Kaila pasang wajah imutnya. Kalau seperti itu, Arzan mana bisa nolak.

Arzan mengangguk, menyetujui. Kaila bersorak senang. Arzan tak membiarkan Kaila bepergian sendiri, ia akan mengerahkan beberapa bodyguard untuk menjaga istrinya. Lebay, sih, tapi demi kebaikan Kaila juga.

Makan malam yang akan menjadi kesempatan terakhir untuk Kaila memperbaiki hubungannya dengan sang ayah. Karena setelah itu, dia dan Arzan akan disibukan oleh urusan kepindahannya ke London.

Tangan mungil Kaila meraih ponselnya. Menekan aplikasi galeri, banyak sekali foto-fotonya dengan Pelangi, Keenan, ayah, bunda, tapi ia hanya punya sedikit foto Arzan.

Jarinya scroll ke atas. Menemukan sebuah foto masa kecilnya. Foto di mana Kaila disuapi es krim oleh Yohan. Tanpa sadar, ia meneteskan air mata.

"Maafin Kaila, Ayah. Kaila udah buat Ayah kecewa. Maaf, Kaila harus ikut Kak Arzan pindah. Kata Ayah dulu, kalau Kaila udah bersuami, Kaila harus nurut sama perintah suami Kaila. Begitupun sekarang, Ayah," lirih Kaila seraya terisak.

Dadanya begitu sesak saat mengingat betapa marahnya dulu sang ayah ketika Arzan datang dan membongkar semuanya. Kemarahan yang tak pernah Yohan tunjukkan.

Diam-diam Arzan mendengarkan ungkapan Kaila. Merasa bersalah telah membuat Kaila rusak. Andai saja dulu Pelangi tidak menjebak dirinya, pasti kehidupan Kaila masih baik-baik saja.

Arzan menggeleng pelan sembari memejamkan mata sejenak.

'Ini kesalahan terindah. Kalau nggak ada kejadian seperti ini, gue gak bakal merasa berwarna seperti ini lagi,' batin Arzan.

***
Pagi-pagi sekali Kaila sudah rapi, mau pergi ke pasar dengan Dena---asisten rumah tangganya. Sementara Arzan, ia baru bangun tidur. Menatap heran sang istri yang tampak bersemangat. Senyuman tipis terbit dari bibirnya. Syukurlah, setidaknya hari ini Kaila merasa bahagia.

Sesudah Kaila pergi, Arzan baru beranjak dari kasur, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Hari ini adalah hari pertama ujian. Harus semangat dan fokus. Tadi malam belum sempat belajar, jadi sampai sekolah dia harus belajar terlebih dahulu.

Semenjak ada Kaila di hidupnya, Arzan sangat fokus dengan sekolah dan urusan kantor. Ia tak mau ambil resiko karena bermalas-malasan. Harus mendapatkan nilai yang bagus dan membuat Kaila bangga.

Arzan pergi tanpa sarapan, tapi membawa kotak bekal. Belajar dengan perut kosong tidak akan membuat materi-materi yang ia pelajari masuk di otak. Dia mengabaikan gengsinya kali ini.

"Weh, tumben pagi-pagi udah nangkring di kelas. Mana bawa bekel lagi. Rajin amat lu," cibir Agra. Emang, anak itu rese setelah sadar dari koma.

"Bacot!"

"Tumben amat, Zan!" timpal Rafael.

"Kalau lu pada di sini cuma mau bacot doang, mending pergi sana!" usir Arzan.

Agra, Adenito, dan Yuda pergi. Sementara itu, Rafael duduk di sebelah Arzan sembari mengeluarkan buku pelajarannya. Arzan melirik sekilas.

"Gue mutusin buat kuliah di London. Lo yang bakal gantiin gue sebagai pemimpin Black Wolf," ucap Arzan tanpa menoleh.

"Kenapa gak di sini aja?" tanya Rafael dengan nada tak suka.

"Gue mau wujudkan impian Kaila. At least, dia bisa ngerasain tinggal di London, meksipun gak bisa kuliah," jawab Arzan.

"Tapi, balik lagi, kan? Lo gak bisa ninggalin Black Wolf gitu aja."

"Balik, kalau kuliah gue udah selesai. Black Wolf tetep gue pantau dari sana. Tapi, Black Wolf juga butuh pemimpin. Gue mau lo gantiin gue sementara," balas Arzan.

Sebagai pemimpin, Arzan tak melepas tanggung jawabnya begitu saja. Ada Rafael yang mengatasi, tapi dari jauh dia juga mengawasi. Tanggung jawab semakin banyak, Arzan berusaha mengendalikan amarahnya yang akan membuat orang terdekatnya itu terdampak.

"Gue lagi, gue lagi," keluh Rafael.

"Ngeluh lagi gue gampar lu!"

                                  ***
Jangan lupa vote and comment!

KAILA (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang