42. Hidup Tenang

61.6K 5.4K 265
                                    

Kehidupan rumah tangga Arzan dan Kaila berjalan dengan baik selama 1 bulan tinggal di London. Arzan mulai kuliah, Charlie mulai banyak ngoceh, kosakatanya pun bertambah, dan Kaila yang tampak enjoy menikmati kehidupannya. Setelah kejadian itu, semua berjalan dengan normal kembali. Namun, Arzan belum berhasil menemukan si pemilik nomor misterius tersebut. Susah dilacak.

Charlie merangkak ke arah box mainannya. Ia menggulingkan box itu, hingga seluruh mainannya berserakan di lantai. Kaila yang sedang mengawasi anaknya dari sofa hanya menghela nafas. Kaila menghampiri Charlie agar bisa lebih teliti mengawasi gerak-gerik anaknya.

"Charlie, no!" tegur Kaila begitu melihat Charlie memasukkan mainan mobil-mobilan kecil ke dalam mulutnya.

"Da-da," panggil Charlie sambil memperhatikan sekitar ruang tamu.

Ini kebiasaan Charlie yang baru. Kalau Kaila menegur atau memarahinya, pasti bayi gembul itu mengadu pada daddy-nya. Kaila tertawa. Anak bayi apa emang gitu, ya? Gampang lupa. Padahal, tadi pagi Arzan sudah berpamitan dengan bayi gembulnya.

Kaila gemas sendiri dengan anaknya. Pipinya yang gembul itu dicubit pelan, takut anaknya nangis. Jika Charlie tidur, maka Kaila bisa leluasa menguyel-uyel pipi gembul Charlie. Kalau masih melek mana bisa? Bayi itu malah akan menangis.

"Mana Daddy? Daddy school, Sayang," goda Kaila.

Bibir Charlie manyun, matanya sudah berkaca-kaca. Kaila yang melihat itu langsung menggendong anaknya.  "Cup ... cup ... cup. Anak Mommy jangan nangis. Smile." Charlie menyunggingkan senyumnya.

"Mi, cuu!" Charlie menunjuk ke arah pintu.

"Charlie mau keluar? Nunggu Daddy pulang dulu, ya, Sayang?" Kaila belum tahu-menahu tentang apartemen dan jalan sekitarnya. Ia takut nyasar, jadi lebih baik kalau keluar menunggu Arzan saja.

Charlie terus merengek, minta keluar dari apartemen. Kaila akhirnya menuruti permintaan anaknya, tapi sebelum itu mengambil ponsel terlebih dahulu. Kalau ada apa-apa, dia bisa menghubungi suaminya.

Kaila bingung begitu sampai di lobi. Ia melihat sebuah pusat perbelanjaan. Kaila memutuskan untuk kesana. Begitu memasuki pusat perbelanjaan tersebut, Charlie ribut menunjuk kedai es krim.

"No, Charlie. You can't eat ice cream," larang Kaila dengan menggunakan bahasa Inggris. (Kamu gak boleh makan es krim.)

"Kim! Kim, Mi!" teriak Charlie berontak dari gendongan.

"Mommy said no, right?" Kaila tetap kekeuh tidak ingin menuruti permintaan anaknya. (Mommy bilang gak, kan?)

"Excuse me. I have a toy car. This is for you, Cute Baby," ucap seorang pria sembari menyodorkan mobil-mobilan yang masih terbungkus rapi.
(Permisi. Aku punya mobil-mobilan. Ini untukmu, bayi lucu.)

"Oh, no, Sir. I can't take it," balas Kaila menolak pemberian pria itu.
(Oh, tidak, Tuan. Aku tidak bisa menerimanya.)

Pria itu mendesah kecewa. Tapi, begitu melihat Charlie menatap lekat toy car yang dia beli, pria itu kembali excited. Ia menyerahkan toy car itu tanpa persetujuan dari Kaila. Kaila menatap tajam pria itu. Ia menduga, pria itu ada maksud tertentu. Untuk apa dia memberi?

"Your son loves those cars. What is wrong with it?" tambahnya sembari menatap Charlie yang tampak menggemaskan. (Anakmu suka mobil-mobilan itu. Apa salahnya?)

Kaila menghembuskan nafasnya kasar. "Thank you," ucapnya yang akhirnya menerima pemberian pria tersebut.

Kaila hendak melenggang pergi. "Wait!" Kaila menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya. (Tunggu.)

"Your son is so adorable. He's like my son who died one year ago," ucapnya dengan wajah yang murung.
(Anakmu sangat menggemaskan. Dia seperti anakku yang meninggal satu tahun yang lalu.)

Kini Kaila mengerti kenapa pria tersebut memberikan Charlie toy car. Ia sedikit merasa bersalah karena telah membentaknya dan menolak pemberian pria tersebut. Kehilangan anak yang memang sangat menyakitkan.

"Sorry, Sir." (Maaf, Tuan.)

"It's okay. But, may I invite your child to play there?" Pria itu menunjuk taman bermain. "I hope. I want to treat my homesickness for my son."
(Tidak masalah. Tapi, boleh saya mengajak anakmu bermain di sana?) (Aku mohon. Aku mau mengobati kerinduanku pada anakku.)

***
Hari pertama masuk kuliah, Arzan harus mulai beradaptasi. Arzan sudah memiliki dua orang teman. Abraham dan Alfred. Mereka bersaudara, meski tidak kandung. Abraham yang gemar menggoda perempuan, bahkan memiliki pacar lebih dari sepuluh. Alfred yang setia dan murah senyum. Senyumannya manis, membuat para gadis jatuh hati.

Arzan, Abraham, dan Alfred---triple A---kini sedang makan di kantin. Abraham dan Alfred menceritakan tentang Universitas mereka. Arzan juga sangat terbantu berkat Abraham dan Alfred. Kini Arzan yang bercerita tentang dirinya. Tentang Kaila dan Charlie, sahabatnya yang ada di Indonesia, dan tentunya Black Wolf.

"Your son must be handsome like me," ucap Abraham.
(Putramu pasti tampan sepertiku.)

"How confident you are!" sengit Alfred.
(Yakin sekali kamu!)

"Arzan, I want to get into the core of Black Wolf," lanjut Alfred.
(Arzan, aku mau masuk ke inti Black Wolf.)

"Can. When we have graduated, you will come with me to Indonesia," jawab Arzan.
(Bisa. Saat kita lulus nanti, kamu akan ikut denganku ke Indonesia.)

"Okay, but recruit me to work at your company," balas Alfred.
(Oke, tapi rekrut aku bekerja di perusahaan kamu.)

"Easy." Arzan menenggak minuman yang baru saja datang hingga tandas.
(Gampang.)

Abraham tak memperhatikan pembicaraan para temannya. Ia sedang fokus menatap seorang gadis yang sejak awal masuk kuliah sudah ia incar, tapi sangat sulit untuk bisa dekat dengan gadis itu. Gadis itu menoleh ke arah mejanya, kemudian senyum-senyum pada teman-temannya dan seperti membicarakan sesuatu. Abraham jadi geer.

Gadis pujaan hati Abraham itu berjalan menuju ke mejanya. Hati Abraham semakin tak karuan. Namun, gadis itu malah menyapa teman barunya yang tak lain dan tak bukan adalah Arzan. Abraham menghembuskan nafas kecewa.

"Hi," sapa gadis berambut pirang itu pada Arzan.

"Hadley, he already has a wife," ucap Alfred datar. Dia tau maksud gadis itu.
(Hadley, dia sudah memiliki istri.)

Hadley mendesah kecewa. Pria tampan yang manarik perhatiannya itu ternyata sudah ada yang punya. Hadley pergi begitu saja membuat Alfred terkekeh. Sedangkan, Abraham tersenyum senang karena Arzan sepertinya tipe pria yang setia.

"Abraham, she never thought you existed," ucap Alfred.
(Abraham, dia tidak pernah menganggap kamu ada.)

"I don't care," desis Abraham.
(Aku tidak peduli.)

Arzan yang mendengarnya hanya geleng-geleng kepala. Playboy seperti Abraham begitu gigih mengejar cinta gadis itu? Padahal, Abraham bisa mendapatkan yang lebih baik daripada Hadley yang menatapnya saja tidak pernah.

Arzan menepuk bahu Abraham keras. "Lots of girls, My Friend."
(Banyak gadis, temanku.)

***
Karna banyak yang protes nyuruh kasih translate. Oke lah gue revisi.
Untung masih inget tadi dialognya.

Guys, gue punya cerita baru yang pastinya tak kalah menarik.

Nathan yang memiliki Om yang super protektif padanya. Nathan yang pembangkang. Penasaran? Kuy, baca ceritanya.
Cek work gue, ya!


KAILA (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang