Suasana cafe masih tampak sepi karena baru saja dibuka. Biasanya, cafe ini ramai kalau jam makan siang. Seorang pria tengah menunggu seseorang sembari menyeruput kopinya. Tak lama, datanglah seorang pelayan memberikan pesanannya yang lain. Sesekali pria itu melihat arlojinya.
Kira-kira sekitar lima belas menit kemudian, datanglah seseorang yang sudah nanti-nanti oleh pria itu. Dengan tidak sopannya, orang itu menyerobot kopinya. Membuat pria itu bertambah kesal.
"Maaf, sedikit lama. Lagipula, kenapa pagi-pagi sekali? Nanti di kampus, 'kan, bisa," ucap orang itu komplain.
"Ini sangat penting, Alfred. Menyangkut Astrid."
"Yang benar saja, Arzan?"
Kedua orang itu adalah Arzan dan Alfred. Ada hal penting yang akan Arzan bicarakan pada Alfred. Alfred yang mendengar nama Astrid dibawa-bawa, langsung penasaran.
"Dengarkan." Arzan mendorong ponselnya ke depan.
Rekaman percakapan antara pria dan wanita. Alfred sangat mengenal suara itu. Yang tak lain adalah kekasihnya sendiri. Kenyataan dan pernyataan Astrid membuat hati Alfred hancur. Kaget, marah, kecewa, sesak, rasanya tak karuan. Pertama kalinya ia dihianati.
Sebuah hubungan yang berawal dari penghianatan, pada akhirnya akan berakhir dengan penghianatan juga. Sudah jadi hukum alam, yang menyakiti suatu saat nanti akan disakiti juga.
Alfred meremas rambutnya frustasi. Padahal, ia telah merancang sebuah pernikahan yang bahagia. Masih teringat jelas, di mana ia dan Astrid telah berjanji akan bersama-sama sampai tua nanti. Namun nyatanya, cinta Astrid hanyalah kebohongan belaka.
Pada saat itu, Astrid dan Panji memang menggunakan bahasa Inggris, sehingga Alfred bisa memahaminya.
"Aku tau, kamu sudah tau tentang rencanaku dengan Abraham. Aku melakukan ini demi hidup kalian. Ya, aku harap, kalian masih berteman setelah masalah ini selesai," ucap Arzan.
"Aku kira, kau mau menghancurkan hubungan pertemanan kami, Arzan," gumamnya.
"Aku bukan tipe orang yang seperti itu, tapi aku juga akan melakukan apa saja demi mendapatkan apa yang aku inginkan," balas Arzan, setelah itu menenggak minumannya hingga tandas.
Alfred hanya diam. Ia tidak bisa menangkap apa yang Arzan katakan. Pikirannya dipenuhi oleh pengakuan Astrid yang membuat dunianya runtuh seketika. Ia begitu yakin, jika Astrid adalah calon istri yang tepat untuknya. Namun, takdir berkata lain. Meskipun demikian, Alfred berterimakasih kepada Arzan karena menyelamatkannya dari wanita itu. Lebih baik hal seperti itu memang diketahui sejak awal.
"Jangan larut dalam kesedihanmu. Ingat tugas dari Mrs. Kelly deadline-nya siang ini," ucapnya disertai kekehan kecil. "Aku pergi. Aku harap, kamu tidak menyesal, Alfred," lanjutnya sembari beranjak pergi.
Alfred masih termenung. Menyesal? Yah, tentu saja. Dirinya telah menilai Astrid lebih baik daripada Jennifer, tapi kenyataannya, Jennifer lah yang lebih baik daripada Astrid. Namun, ia tidak akan mengemis meminta kembali pada Jennifer seperti apa yang dilakukan oleh orang kebanyakan ketika menyesal karena telah berkhianat. Ia cukup punya rasa malu untuk melakukan hal itu.
Pria itu mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah kotak beludru berwarna biru. Ia menatap nanar benda itu. Alfred beranjak dari cafe dengan wajah datarnya, tapi baru saja keluar dari pintu masuk cafe, ia menabrak seseorang.
"Maaf," ucapnya.
Alfred pun mendongak. Betapa terkejutnya dia bahwa orang yang ia tabrak adalah mantan kekasihnya. Orang yang ia hianati, setelah itu ia tinggal dengan cara yang sangat kejam. Jennifer. Berbeda dengan Jennifer yang tampak biasa saja.
"Jennifer, kau---"
"Sweetheart!" Alfred maupun Jennifer pun menoleh ke arah sumber suara.
"Jason? Kau di sini?" tanya Jennifer yang tampak terkejut dengan kehadiran seseorang yang sepertinya, sangat dekat dengannya.
"Akhirnya, aku memutuskan untuk menyusulmu. Kau tau, aku tidak bisa hidup tanpamu, meskipun hanya sehari," ucap pria bernama Jason itu.
"Oh, ya. Dia siapa?" tanyanya sembari menatap Alfred.
Jason mengulurkan tangannya. "Jason. Calon suami Jennifer," ucapnya memperkenalkan diri.
Alfred tak menyambut uluran tangan Jason. Ia masih terkejut dengan pengakuan pria itu. Calon suami? Secepat itukah?
***
Kaila bingung dengan Astrid yang dari kemarin tidak berhenti tersenyum. Sepertinya, ia sedang bahagia. Rasa penasaran Kaila makin besar ketika suaminya sedari tadi menatap Astrid sinis. Sangat berbanding balik. Namun, ia tak kunjung menanyakannya karena putranya itu tidak memberikannya waktu untuk berbincang.Suaminya baru keluar dari kamar dengan memakai baju santai. Sepulang dari cafe tadi, wajah masam Arzan yang ia lihat. Sampai sekarang pun masih. Arzan memeluknya dari samping, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Kaila.
"Ada apa, sih, Kak? Kakak ada masalah, ya?" tanya Kaila lembut.
"Gak ada. Aku cuma lagi kesel sama Papa aja," jawab Arzan pelan.
"Lho, kenapa?"
"Masa dia gak mau diajak kerjasama. Padahal, aku butuh banget," adu Arzan.
"Emang kamu minta apa sama Papa?" tanya Kaila sambil menyuapi Charlie.
"Nanti kamu juga akan tau." Jawaban Arzan membuat Kaila berdecak kesal.
Arzan melepaskan pelukannya. Ditatapnya sang anak yang juga sedang menatapnya. Uluran kedua tangan mungil nan gembul itu ia sambut dengan menggendongnya. Dipeluknya tubuh gempal sang anak dengan erat, hingga membuat Charlie merasa risih dan berteriak.
Arzan langsung menurunkan anaknya. Charlie kembali ke aktivitas awal. Arzan pun menyenderkan kepalanya di bahu sang istri. Terlalu banyak waktunya untuk pekerjaan, tapi sedikit untuk istri dan anaknya. Miris memang. Dan hal itu yang membuat Arzan menyerahkan pekerjaannya pada orang yang ia percayai.
Minimal beberapa hari yang akan datang, ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk istri dan anaknya. Entah itu liburan atau sekedar menghabiskan waktu bersama di rumah.
"Liburan, yuk." Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba Arzan mengajak liburan. Membuat Kaila mengernyitkan dahinya.
"Tumben ngajak liburan. Udah gak sibuk lagi?" Entah itu sekedar pertanyaan atau sebuah sindiran.
"Nggak. Aku mau ngajak kalian ke Spanyol. Sekali-kali ke tempat yang belum pernah kita kunjungi," ucap Arzan.
"Hm, kayaknya menarik. Aku belum pernah ke Spanyol. Kamu tau destinasi liburan yang menarik di sana?" balas Kaila yang tertarik dengan tawaran suaminya.
"Ibiza. Mumpung di sana sekarang lagi musim panas. Kamu juga bisa kulineran di sana. Pokoknya, tempatnya indah banget," jawab Arzan sembari mendudukkan anaknya ke paha istrinya.
Kaila mengangguk-angguk antusias. Rasanya sudah lama ia tidak pergi liburan. Apalagi, ke luar negeri dan tempatnya pun belum pernah ia kunjungi. Wanita itu selalu tertarik dengan tempat-tempat yang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAILA (On Going)
Teen FictionBagaimanakah jika seorang gadis yang masih sangat muda dan masih duduk di bangku SMA hamil? Apalagi, hamil dengan pria yang selama ini sangat ia takuti. Bukan hanya dia saja yang takut, bahkan seluruh warga sekolah pun juga takut padanya. Dia adalah...