47. Keikhlasan dan Melepas

48.9K 4.3K 383
                                    

Pelangi mulai menjalani hidupnya dengan keikhlasan. Ikhlas melepas Bara yang telah menikah dengan wanita lain, bahkan mau punya anak. Pelangi sempat melabrak Lolita dan melontarkan kata-kata yang kasar dan malah berakhir dihina oleh Bara dengan membawa-bawa masa lalunya yang dulu pernah menjebak Kaila.

Kini ia sadar, tak semestinya ia bertindak seperti itu. Percuma saja, semuanya telah terjadi dan takkan bisa kembali seperti semula.

Sydney, Australia. Menjadi tempat pelarian gadis malang tersebut. Bahkan, Pelangi sudah mendaftar di salah satu Universitas di Sydney. Dulu Pelangi berkeinginan untuk melanjutkan perguruan tinggi ke Belanda, namun entah kenapa tiba-tiba ia ingin sekali ke Australia. Selain Negara asal ibunya, Opa Pelangi juga menyuruhnya tinggal di sana.

Pelangi memulai kehidupan barunya di sana. Ia hanya berharap, bisa melupakan mantannya itu. Agar hidupnya bisa tenang dan tidak terbayang-bayang oleh masa lalunya lagi.

"Hei, Rainbow," sapa seorang pria. Ia langsung duduk di sebelah Pelangi begitu gadis itu menoleh.

"Kau sedang mengerjakan apa? Sibuk sekali hingga tidak mendengar salamku," tanya pria itu sembari mencomot cookies milik Pelangi.

"Oh, maaf. Tugas dari dosen kemarin membuatku sangat pusing," jawab Pelangi seraya memegangi kepalanya.

Buku-buku, alat tulis, dan bungkus makanan ringan berserakan di lantai yang beralaskan karpet bulu. Pria itu berdecak melihat ruangannya berantakan. Ya, sekarang Pelangi sedang berada di rumah pria itu.

"Kebiasaan kau, Rainbow. Huwoh! Ruanganku sangat berantakan," decak pria itu.

"Tenang saja, Matthew. Ada Alyne. Dia akan kemari sebentar lagi," balas Pelangi santai sembari membuka makanan ringan lagi.

"Rainbow! Kau keterlaluan! Selalu Alyne yang membereskan kekacauan yang kau buat!" bentak Matthew.

Matthew. Sahabat masa kecil Pelangi yang kebetulan satu fakultas dengan gadis itu. Jika Pelangi berkunjung ke Sydney untuk menjenguk opa-nya, pasti ada Matthew yang menemani. Entah jalan-jalan, makan, liburan, bahkan mengantarkan opa-nya ke rumah sakit sekalipun.

Matthew menyukai Pelangi, Alyne menyukai Matthew. Rumit. Alyne yang menemani hari-hari Matthew yang sepi tanpa hadirnya Pelangi. Matthew yang selalu menanti kehadiran Pelangi. Bagi Matthew, Pelangi adalah segalanya dan Alyne adalah seseorang yang harus ia lindungi.

"Kenapa nggak suka? Yaudah, aku gak akan ke sini lagi!" ketus Pelangi yang merasa tersinggung saat Matthew membentaknya.

"Bukan begitu, Rainbow. Aku hanya tidak mau merepotkan Alyne," ucap Matthew yang seketika merasa bersalah telah membentak Pelangi.

"Bisa bilang baik-baik, kan? Nggak perlu bentak aku. Aku capek dibentak terus," lirih Pelangi.

Matthew semakin merasa bersalah. Dia tau masalah gadis itu. Matthew selalu menjaga Pelangi, tapi kali ini ia malah menyakitinya.

Matthew membawa Pelangi ke dekapannya seraya menggumamkan kata maaf. Pelangi membalas pelukan Matthew. Untuk keadaannya saat ini, ia memang sangat membutuhkan pelukan hangat dari orang terdekatnya.

"Aku lelah, Matthew. Hatiku sakit. Bara dan Lolita terlihat sangat bahagia. Mereka berbahagia tanpa memikirkan aku yang tersakiti," gumam Pelangi.

Matthew mengepalkan tangannya. Lagi dan lagi Bara yang selalu Pelangi sebut. Tidak sadarkah gadis itu akan perasaannya? Ia tulus. Ia sanggup menunggu Pelangi sampai bertahun-tahun. Tapi, kenapa selalu Bara yang Pelangi pikirkan?

"Sudah. Tidak usah membahas si bastrad itu. Lebih baik sekarang kita pergi ke taman," ajak Matthew. Pelangi mengangguk antusias.

Tanpa mereka sadari, Alyne sedari tadi mengintip di balik pintu. Sakit memang melihat orang kita cintai lebih mencintai orang lain. Segala yang telah ia lakukan, nyatanya tidak berarti apa-apa bagi Matthew. Matthew hanya menganggapnya sebagai sahabat, tidak lebih.

Puncak dari mencintai seseorang, yaitu mengikhlaskan. Alyne akan mencoba mengikhlaskan Matthew untuk Pelangi. Alyne sadar, yang lebih dulu hadir di kehidupan Matthew adalah Pelangi. Maka, yang seharusnya mengalah ialah dirinya.

***
Liburan sudah berakhir. Kini Arzan kembali masuk kuliah. Kebetulan tidak ada kelas pagi, jadi Arzan gunakan untuk mengajak Charlie bermain. Tapi, bayi gembul itu belum bangun.

Arzan dengan jailnya menoel-noel pipi dan hidung Charlie. Si bayi terusik, namun tidak membuka matanya. Dengan gemas, ia mencubit pipi gembul Charlie. Seketika tangisan terdengar di seisi kamar.

Arzan langsung menggendong anaknya. Beberapa menit kemudian, tangisan Charlie mulai mereda setelah dibuatkan susu formula oleh Kaila.

"Nangis mulu. Jadi cowok jangan cengeng, dong. Masa anaknya Daddy Arzan cengeng, sih," cibir Arzan seraya menjawil pipi Charlie.

"Da-da kakal," ucap Charlie dengan menatap sengit ayahnya.

"Kakal apaan, yak?" gumamnya bingung.

"Da-da mau icu!" tunjuk Charlie pada toples berisi cemilan kesukaan Kaila.

Mata berotasi mengikuti arah tunjuk jari mungil anaknya. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia nol besar kalau urusan bahasa bayi. Yang ditunjuk Charlie adalah toples, tapi yang dikatakan olehnya kata icu. Sungguh, itu sangatlah susah, daripada membuat laporan keuangan.

"Ambil sendiri coba. Daddy gak ngerti," keluh Arzan.

"No! Da-da mbil!" tolak Charlie.

"ARGH! SAYANG, AKU PUSING!"

***
Setelah keributan tadi pagi yang berakhir kena omelan sang istri, Arzan pun sudah nongkrong di kantin. Kelas akan dimulai satu jam lagi, masih ada waktu untuk mengerjakan tugas. Gitu-gitu Arzan pintar, ia tidak perlu contekan.

Abraham datang dengan membawa setumpuk buku. Ia meletakkan buku-buku itu dengan keras, hingga membuat Arzan terperanjat kaget. Arzan menatap tajam Abraham.

"Bisa nggak santai aja naruh bukunya?" sinis Arzan.

"Sorry, aku kesal dengan Alfred. Dia memutuskan Jennifer demi pembantumu itu! Ternyata, mereka menjalin hubungan di belakang adikku," ucap Abraham menggebu-gebu.

"Maksudnya, Astrid jadi selingkuhan Alfred gitu? Wah ... wah ... wah. Eh, tadi apa? Adik?"

Abraham salah tingkah. Mau ditutup-tutupi seperti apa, Arzan sudah mendengarnya.

"Ya, Jennifer adalah adik tiriku. Tapi, kau jangan bilang siapa-siapa," bisik Abraham.

"Kenapa? Alfred tau tentang itu?" tanya Arzan penasaran.

"Ibuku istri kedua dari ayahnya Jennifer. Mereka menikah satu tahun yang lalu tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Jennifer tau tentang hal ini, tapi dia tutup mulut karena ibunya sedang sakit. Kita semua harus tutup mulut demi kesehatan ibunya Jennifer. Alfred tidak tau," jelas Abraham.

"Ibumu pelakor?"

"Pelakor? Apa itu?" tanya Abraham tak mengerti.

"Lupakan. Perusahaan keluarga ayah tirimu sedang menjadi incaranku. Kalau perusahaanku bisa bekerjasama dengan perusahaan itu, maka keuntungan yang kudapat akan sangat besar. Aku bisa apa untuk membuat hubungan Jennifer dan Alfred bisa kembali seperti semula?"

Begitulah Arzan, langsung to the point. Ini rahasianya, namun berhubung Abraham adalah temannya dan anak tiri dari pemilik saham terbesar dari perusahaan yang sedang ia incar itu, Arzan pikir tidak apa-apa kalau ia membocorkan rahasianya.

"Jennifer tidak menginginkan Alfred kembali padanya, tapi dia menginginkan balas dendam. Sakit harus dibalas rasa sakit juga," balas Abraham.

"Jadi, sekarang Alfred musuh kita?" Arzan menaikkan satu alisnya.

"Ya, anggap aja seperti itu. Tapi, kalau di depan dia, kita berteman seperti biasa saja," ucap Abraham sembari tersenyum licik.

Abraham tersenyum senang. Ia tau, Arzan bukan orang sembarangan. Cukup tau mengenai hidup, perusahaan, dan kehormatan pria yang sudah memiliki anak dan istri itu. Dengan campur tangan Arzan, maka dendam Jennifer akan lebih mudah terbalaskan. Dendam Jennifer adalah dendamnya juga.

Jennifer---adik sekaligus cinta pertamanya.

***
Sedikit konflik sebelum menuju ending.
Cast menyusul, ya.
Di GC lebih dulu gue kirim.












KAILA (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang