43. Max

51.8K 4.8K 261
                                    

Binar kebahagiaan terpancar dari mata pria yang mengaku sebagai dokter umum tersebut. Kerinduan pada mendiang sang putra telah terobati karena adanya Charlie. Pria yang biasa dipanggil Max itu tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Harusnya, sang istri juga bisa merasakan kebahagiaan yang dia rasakan, tapi perempuan yang telah menjadi belahan hatinya itu masih disibukkan oleh kegiatan sosialnya di daerah terpencil.

Max dan sang istri pasangan yang harmonis dan romantis. Selama tujuh tahun pernikahan, akhirnya mereka dikaruniai seorang anak, namun takdir berkata lain. Bayi yang masih berusia enam bulan harus mengalami kecelakaan maut, hingga membuatnya tewas. Butuh waktu delapan bulan untuk Max dan sang istri mengobati rasa sakit akibat kehilangan anaknya. Bangkit dan kembali beraktivitas seperti biasa.

Kaila yang mendengar cerita pilu Max ikut meneteskan air matanya. Dibalik senyuman merekah Max, tersimpan luka yang mendalam. Luka yang tak pernah sembuh, meski berulang kali mencoba menyembuhkannya.

"Max, aku turut berduka cita," ucap Kaila.

"Terimakasih, Kaila. Oh, ya, saya harus kembali ke rumah sakit," balas Max sembari bangkit dari kursi.

"Senang bertemu denganmu dan Charlie. Saya harap, lain kali saya dan istri saya bisa bertemu denganmu dan Charlie lagi. Dia pasti senang bisa bermain dengan bayi selucu Charlie," tambah Max sembari menatap Charlie yang tertidur dengan sendu.

"Boleh. Max, kamu boleh menyimpan nomor teleponku. Kalau nanti istrimu pulang, kabari aku. Nanti aku, suami, Charlie, kamu dan istri bisa berlibur ke Pantai Whitstable bersama," tawar Kaila.

Max tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Kau sangat baik, Kaila. Baiklah, nanti aku akan menceritakan pertemuan ini pada Ainsley," ucap Max.

Setelah Max pergi, Kaila kembali ke apartemen. Suaminya tadi sudah mengabari jika sudah dalam perjalanan pulang. Dan Kaila juga sudah memberitahu Arzan soal Max. Awalnya, pria itu sangat marah, bahkan membentaknya, tapi setelah mendengar ceritanya, amarah Arzan padam.

Sesampainya di apartemen, Arzan tengah berdiri duduk di sofa. Lelaki itu mengambil alih Charlie. Dengan begitu, Kaila bisa menyiapkan makanan untuk suaminya. Kaila agak takut karena yang memasak makanan pasti adalah Astrid dan suaminya itu sangat mengenali masakannya. Biasanya, Arzan tidak berselera kalau bukan ia yang masak.

"Kak, ini yang masak Astrid. Maaf, ya, aku gak sempet masak," ucap Kaila.

Arzan tersenyum tipis. "Gakpapa. Asalkan, yang suapin kamu," balas Arzan sembari tersenyum genit ke arah istrinya.

Pipi Kaila bersemu merah. Suaminya itu selalu bisa membuat hatinya berbunga-bunga. Kaila mengambil nasi, sayur, serta lauk-pauknya, kemudian menuangkan teh hangat ke dalam gelas. Kaila mengambil sendok, menyendokkan makanan, lalu menyuapkannya pada Arzan.

Tatapan Arzan tak lepas dari istrinya. Meski, tubuh sang istri tak seindah dulu lagi, tapi kecantikan Kaila tidak pernah pudar. Kaila memang selalu cantik di matanya. Ya, tubuh Kaila sekarang berisi karena masih menyusui Charlie. Bagi Arzan, itu lebih baik. Dengan keadaan tubuh Kaila yang seperti itu tidak akan ada yang menyukai istrinya.

"Udah lama kita gak pacaran. Mumpung Charlie masih tidur, bisa kali main dulu," bisik Arzan sensual.

"Ada Astrid, Kak," balas Kaila seraya melirik Astrid yang sedang mencuci piring.

"Yaudah, yuk ke kamar." Arzan menarik tangan Kaila dan Kaila pun hanya pasrah.

Selanjutnya, hanya mereka berdua yang tau. Sementara Astrid yang melihat majikannya bermesraan jadi pengen. Sepertinya, dia harus segera mencari pasangan. Jujur, Astrid ingin berhenti bekerja. Jika dia menikah, suaminya lah yang akan bekerja memenuhi kebutuhannya. Sayang kalau pekerjaan ini dia tinggalkan, mengingat gajinya yang lumayan.

KAILA (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang