32. Pengakuan Elisa

64.8K 6K 338
                                    

Happy Reading ❤️

Rafael menyipitkan matanya saat melihat siluet tubuh yang ia kenal. Itu Elisa. Ngapain Elisa sendirian melamun di bawah pohon beringin? Pikirnya. Dengan sedikit ragu, Rafael pun berjalan menghampiri Elisa.

Tepukan pada pundak Elisa membuat Elisa menoleh ke belakang. Elisa menaikkan satu alisnya. Tidak salah Rafael menghampirinya? Dulu saja kalau di dekati langsung menghindar, jual mahal. Saat memintanya untuk ikut liburan pun harus melalui perantara. Yuda.

"Apa?" tanya Elisa ketus.

"Ngapain di sini?" tanya Rafael balik.

Elisa mencibir. "Terserah gua, dong. Kenapa juga lo ke sini? Masih banyak, noh, tempat yang gak ada orangnya."

Rafael agak terkejut dengan perubahan sikap Elisa padanya. Dulu gadis itu kalau berada di dekatnya selalu salah tingkah. Namun, sekarang? Galaknya minta ampun. Apa gadis itu sudah tidak menyukainya lagi?

Rafael menepis rasa penasaran tersebut. Apapun yang terjadi pada Elisa itu bukan urusannya. Lagipula, bagus, 'kan, jika Elisa sudah tidak menyukainya lagi?

"N--nggak," jawab Rafael asal.

"Yaudah. Ngapain masih di sini? Pergi sono!" usir Elisa.

Rafael masih diam di tempat. Elisa berdecak kesal. Menganggu ketenangannya saja. Elisa tidak suka jika saat dirinya ingin tenang dan sendiri, tiba-tiba ada orang yang menghampiri. Baginya, itu sangat mengganggu.

Tidak ada pergerakan dari pria itu. Elisa pun mengalah. Biar dia saja yang pergi. Namun, belum sampai dua langkah, tangannya sudah dicekal oleh Rafael.

"Lo ada hubungan apa sama si Kafka?" tanya Rafael datar.

Elisa mengernyitkan dahinya. Yang Elisa tau, Rafael bukan orang yang mau tau tentang hidup seseorang. Dia terlalu cuek dengan sekitar. Lantas, ada apa gerangan Rafael bertanya tentang hal tersebut? Sangat aneh.

"Urusannya sama lo?" Elisa menatap Rafael penuh tanya.

Rafael menghembuskan nafas berat. Jujur, dia tidak tau kenapa terlalu penasaran dengan Elisa dan Kafka. Kemarin dia melihat Elisa dan Kafka jalan bareng. Tatapan Kafka jelas sekali kalau cowok itu menyukai Elisa. Hatinya agak terganggu melihat kedekatan Elisa dan Kafka. Ada rasa tak rela.

"Lo berubah, Lis. Dulu lo selalu kepo soal gue. Tapi, kenapa sekarang terkesan cuek saat sama gue? Lo udah gak suka sama gue?" Akhirnya, pertanyaan itu meluncur dari bibir seorang Rafael.

"Setiap orang pasti berubah, El." Elisa menjeda ucapannya. Atensinya berpaling ke sebuah tanaman bunga yang sangat cantik.

"Kalo boleh jujur, gue masih suka sama lo. Tapi, gue bukan cewek bodoh yang begitu tau kalau cowok yang gue sukai gak cinta sama gue, tetep aja ngejar-ngejar. Waktu gue sangat-sangat berharga. Rugi, dong, kalo cuma gue habisin buat kepo tentang lo. Gak ada gunanya juga," jelas Elisa.

Hati Rafael seperti tertusuk belati saat mendengar ucapan Elisa. Dia tidak terima saat Elisa mengatakan jika tentang dia itu tidak berguna untuk Elisa.

"Dahlah, gue cabut dulu," ucap Elisa sembari melenggang pergi.

***
Pasangan muda tersebut sedang mesra-mesranya. Mereka baru saja sampai Jakarta. Kaila masih mau menempel pada suaminya. Arzan mau mandi, dilarang. Mau ambil minum, dilarang. Mau ambil remote televisi yang berada di nakas pun juga dilarang. Arzan hanya boleh berada di sampingnya tanpa gerak.

Kalau saja Arzan itu tidak mencintai Kaila. Dia pasti sudah memaki, bahkan memukul Kaila karena telah memperlakukannya semena-mena. Untung aja cinta. Mau diapain aja, gak bakal marah.

"Gak kerasa, ya, Dedek bayinya udah mau lahir aja," ucap Kaila sembari mengelus perut buncitnya.

"Eh, iya, ya. Aku udah nyiapin nama buat anak kita nanti." Arzan mengecup singkat pucuk kepala istrinya.

"Kalau laki-laki namanya Charlie Nathaniel Adiyatma. Dan kalau nanti perempuan aku kasih nama Ailen Ravina Adiyatma. Gimana? Bagus, gak?" lanjut Arzan.

"Bagus banget," puji Kaila.

Usapan tangan Arzan pada perut istrinya berpindah ke pucuk kepala. Kaila yang terlena dengan usapan Arzan tak lama kemudian terlelap. Dengkuran halus terdengar dari bibir Kaila. Arzan berhenti mengoceh. Dia tersenyum simpul sembari meletakkan kepala istrinya ke bantal.

Dengan hati-hati, Arzan beranjak dari ranjang. Penyusunan strategi untuk membalas perbuatan Reylan akan dibahas nanti malam di rumahnya. Arzan harus mempersiapkan banyak makanan dan minuman.

"Pokoknya, beli makanan ringan yang banyak. Jangan lupa nanti bilangin ke Chef masak dengan porsi yang banyak. Saya tidak mau menanggung malu karena kehabisan makanan. Mengerti?!" perintah Arzan pada Astrid.

Astrid mengangguk patuh. "Baik, Tuan." Setelah itu, Astrid melenggang pergi saat Arzan dengan isyarat tangannya mengusirnya.

"KAKAK!"

Teriakan membahana dari sang istri terdengar menggelegar. Arzan sampai memegangi dadanya karena kaget. Buru-buru dia menghampiri sang istri sebelum ngambek lagi.

"Ada apa, Sayang?" tanya Arzan khawatir.

"Sini!" rengek Kaila manja.

Cup!

"Kenapa, hm? Kamu pengen apa?" tanya Arzan perhatian.

"Mau Kakak," jawab Kaila lirih.

Arzan membulatkan matanya. Kata-kata Kaila itu terdengar ambigu. Ditatapnya wajah sang istri yang tampak manis. Apalagi, bibirnya. Perlakuan Arzan membuat Kaila memejamkan matanya.

"Sekarang?" Kaila mengangguk.

Arzan tersenyum tipis. Kemudian, terjadilah apa yang seharusnya terjadi. Mengabaikan para asisten rumah tangga yang sibuk mempersiapkan kedatangan anggota Black Wolf nanti malam.

                             ***
Jangan lupa vote and comment!

KAILA (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang