Happy Reading ❤️
"Maap, Bos. Gak sengaja liat kita." Arzan menatap ketiga pemuda di depannya tersebut tajam. Jika, tidak ada Kaila dan Charlie mungkin mereka sudah dihabisi olehnya.
Yuda, Andreas, dan Adenito menatap Arzan memelas. Semoga saat mereka pulang, tidak ada satupun bekas pukulan tercetak di wajah tampan mereka. Arzan yang berada di sebrang mereka masih menatap dengan tatapan elangnya. Pria itu masih tidak terima, ketiga temannya itu melihat aset berharga yang hanya dia dan Charlie saja yang bisa melihatnya.
Kaila datang dengan membawa nampan. Charlie yang masih berada di gendongan Daddy-nya itu berteriak heboh sembari menyodorkan kedua tangan ke arah Kaila.
"Bentar, ya, Nak. Sama Daddy dulu, Mommy mau masak," ucap Kaila.
"Bukannya, mau prepare baju?" tanya Arzan sinis.
"Aku masak dulu buat temen-teman Kakak," jawab Kaila.
Raut wajah Arzan berubah masam. Setelah kejadian tadi, istrinya itu bersikap biasa-biasa saja. Dengan kesal, Arzan menghampiri istrinya yang sudah berjalan ke arah dapur. Tak lupa, memberikan tatapan tajam pada ketiga orang menyebalkan tersebut.
"Kamu biasa aja gitu setelah 'itu' kamu dilihat sama mereka?" tanya Arzan sinis.
Kaila membalikkan badannya, lalu menghela nafas. Ia melihat ke arah anaknya, ternyata sudah tidur. Wanita itu mengambil alih Charlie. Kemudian, berjalan menaiki anak tangga. Arzan hanya melihatnya. Melirik sekilas dengan kesal ke arah teman-temannya itu yang sedang tertawa terbahak-bahak tanpa merasa dosa.
Istrinya itu kembali. Menghampirinya tanpa membawa Charlie. Ia semakin mendekat, Arzan hanya menatapnya datar. Masih kesal dengan sikap istrinya yang terkesan biasa saja, padahal baginya itu adalah masalah besar.
"Jangan cemberut mulu, ih! Lagian, Kak, mereka itu gak lihat semuanya, kan? Kan, aku tutup pakai gendongan Charlie," kata Kaila sembari mengelus rahang tegas suaminya.
"Jangan mancing!" ketus Arzan sembari memalingkan wajahnya.
Kaila tersenyum tipis. Ia kembali melakukan aksinya. Arzan menggeram tertahan. Meraih tangan istrinya itu seraya menatap bola mata Kaila lekat.
Cup!
"Gak rela aku 'milik' kamu dilihat sama mereka. 'Ini' cuma milik aku," ucapnya sembari menunjuk ke arah dada istrinya.
"Mereka gak liat kok, Sayang." Arzan yang mendengar panggilan sayang dari istrinya itu langsung luluh.
"Udah, ah! Aku mau masak dulu. Sana temenin temen kamu," titah Kaila sembari melepaskan diri dari pelukan Arzan.
Arzan mendengus kesal. Padahal, masih ingin romantis-romantisan. Mereka merusak momen romantisnya dengan Kaila!
"Pulang lewat mana?!" tanya Arzan sinis.
Ketiga orang itu meneguk ludahnya kasar. Pertanyaan Arzan seperti menjurus ke arah 'situ'. Bukannya, mereka tidak berani melawan, mereka bisa saja melawan, tapi ini Arzan. Sahabat, sekaligus saudara mereka sendiri.
"Kita minta maaf, Bos. Gak sengaja, elah," ucap Yuda.
"He'em, Bos. Jangan bikin wajah ganteng gue ini babak belur, kalau mereka berdua gakpapa," timpal Andreas.
"Heh! Harus solidaritas, dong!" sahut Adenito tak terima.
"Gue maafin kalian bertiga. Asal ...." Arzan menggantung kalimatnya. Ia menatap ketiga temannya itu lekat.
"Asal apa, Bos?! Buruan!" desak Andreas.
Arzan tersenyum miring. Senyumannya itu tidak bisa diartikan. Membuat ketiga orang yang sedang dibuat penasaran olehnya perasaan mereka jadi tidak enak.
"Bantuin gue beres-beres barang!"
Tuh, 'kan!"
***
Niat baik, tidak selalu berakhir baik. Awalnya, ke rumah Arzan untuk menjenguk Charlie, eh, malah disuruh beres-beres. Untung temen. Tapi, mereka ikhlas kok. Sebentar lagi Arzan dan keluarga kecilnya akan pindah ke luar negeri. Mereka akan kehilangan sahabat, saudara, dan pemimpin bijaksana seperti Arzan. Sementara, kepemimpinan Black Wolf akan diserahkan pada Rafael.Oh, ya. Rafael dan Agra baru saja datang. Akilla dan anaknya juga ikut. Para wanita dan bayi sedang santai-santai di kamar, sedangkan para lelaki sedang beberes.
"Aku sebel sama Rafael. Dia deketin Elisa cuma buat manas-manasin Anaya. Aku kasihan sama Elisa," ucap Akilla.
"Elisa mau dideketin Rafael? Aku kira, dia deketnya sama Kafka. Aku sering lihat status dia bareng Kafka," balas Kaila
"Aku gak tau. Aku juga sering lihat Elisa bareng Kafka, tapi aku juga lihat Elisa bareng Rafael," timpal Akilla.
"Kita udah jarang main bareng semenjak lahiran. Elisa gak bisa ke sini karena ada urusan penting, katanya," ucap Kaila.
Sementara itu, kedua bayi beda jenis kelamin tersebut sedang membuat berantakan tas make up milik Kaila. Oh, ya, anaknya Agra dan Akilla cewek. Namanya Divania Aruna Tifanka. Mereka memanggilnya Aruna.
Aruna sedang asik bermain blush-on, sedangkan Charlie sibuk mencoret-coret lantai dengan menggunakan pensil alis warna hitam. Charlie sesekali menatap Aruna, lalu terkekeh geli. Bayi perempuan itu terlihat lucu, pipi gembulnya terlihat merah merona.
"Una! Hihihi!" Charlie menunjuk-nunjuk wajah Aruna sembari terkikik geli.
"Mimimi! Una!" panggil Charlie pada Mommy-nya.
"Astaghfirullah, anak kamu, Kil!"
Akilla langsung menghampiri anaknya dan membersihkan pipi Aruna. Sedangkan, Kaila membereskan alat make up-nya. Kedua ibu-ibu tersebut memberikan anak-anaknya biskuit. Kemudian, kembali melanjutkan ghibah yang tertunda.
"Anak-anak tingkahnya," gumam Kaila.
"Tapi, lucu."
"Kamu bakal jauh. Aku gak ada temen sesama ibu-ibu lagi," lirih Akilla.
Kaila mendelik tak terima. "Enak aja, ibu-ibu!"
"Kan, faktanya begitu, Kai."
"Hilih!"
"HEI, WANITA-WANITA CANTIK! GIBAHANNYA UDAHAN, DONG! KITA UDAH PADA LAPER, NIH. GAK MAU NYIAPIN MAKAN? KALAU GAK MAU, BULANAN DIPOTONG LIMA PULUH PERSEN!"
***
Gimana kalo cerita ini dijadiin novel?
Ada yang mau beli, kah?

KAMU SEDANG MEMBACA
KAILA (On Going)
Teen FictionBagaimanakah jika seorang gadis yang masih sangat muda dan masih duduk di bangku SMA hamil? Apalagi, hamil dengan pria yang selama ini sangat ia takuti. Bukan hanya dia saja yang takut, bahkan seluruh warga sekolah pun juga takut padanya. Dia adalah...