"Wajah adalah topeng dan mata adalah pintu dari topeng itu."
-Story of ALBIRU.
Happy reading ✨🌻
Pagi-pagi ini Permata sudah bersiap-siap dengan seragam sekolahnya dan juga persiapan lainnya. Gadis itu bangun lebih cepat pada pukul empat pagi, dan sekarang pukul lima ia ingin pergi dari rumah. Bukan, bukan untuk pergi ke sekolah melainkan pergi ke suatu tempat yang semalam gadis itu minta alamatnya ke kedua orang tuanya.
Pagi ini sangat dingin, sedingin wajah Permata yang kini nampak lebih berbeda, gadis itu terlihat begitu dingin dari hari-hari biasanya. Entahlah, mungkin moodnya sedang tidak membaik mengingat kejadian akhir-akhir ini yang membuatnya sedikit down.
"Permata sarapan dulu sayang."
Permata mendengar suara seseorang yang ia sayangi. Gadis itu buru-buru mengambil ranselnya dan mulai beranjak dari kamar dan turun ke bawah.
Saat sudah berada di bawah ia berjalan ke arah dapur. Terlihatlah Melati yang sedang menyiapkan sepiring nasi goreng untuk putrinya. Permata berjalan mendeket ke arah Melati dan duduk dikursi dekat Melati berdiri.
Melati melihat Permata. Wanita itu sontak tersenyum.
"Pagi sayang," sapanya sembari mendekatkan nasi goreng ke arah Permata.
Permata tersenyum sekilas.
"Pagi juga." Gadis itu mengambil sendok dan mulai melahap nasi gorengnya.
Melati menuangkan air putih di gelas dan menarohnya di dekat Permata, untuk gadis itu minum. Kemudian Melati duduk di samping Permata dan memerhatikan anaknya itu makan.
Hati Melati mencelos, saat melihat mata Permata yang sedikit redup karena kehilangan cahaya. Yah, Permata makin hari terlihat kaku dan juga datar. Gadis itu bahkan lebih asik membaca novel di kamar ketimbang bermain dengan teman-temannya. Melati sedih karena melihat hidup Permata yang dipenuhi oleh masalah, tetapi wanita itu juga bersyukur karena bisa dikasih kesempatan untuk membesarkan Permata dan menjadikannya anaknya.
Sadar sedari tadi menjadi pusat perhatian Melati, Permata pun menolehkan kepalanya. Melihat ibu angkatnya itu dengan alis kanan yang dinaikkan ke atas.
Melati tersentak. Wanita itu terkekeh gugup karena Permata melihatnya.
"Ayo dimakan sampai habis. Agar kamu tidak terlambat untuk pergi ke tempat itu," ujar Melati mengalihkan suasana.
Permata tidak berbicara lebih. Gadis itu hanya mengangguk dan juga meminum segelas air putihnya. Kemudian mengambil ranselnya dan juga beranjak dari duduknya.
"Permata selesai. Pamit, assalamualaikum." Permata mencium tangan Melati setelah itu beranjak pergi, tetapi sebelum melangkah Melati memanggilnya membuat Permata berhenti dan mengembalikkan badannya menoleh ke arah Melati.
"Permata!"
"Iya?" tanya Permata dengan wajah bingung.
Melati mendekati Permata dengan cemas.
"Biar Mamah saja yang antar," katanya membujuk Permata agar ia ikut bersamanya.
Mendengar itu Permata sontak menggeleng. Bukannya ia tidak membiarkan mamahnya ikut, tetapi ia hanya ingin ke sana sendiri dan menemui pria itu dengan seorang diri.
"Aku bisa. Mamah tetap di rumah."
"Ta—"
"Mah."
Melati menghela napas. Permata memang keras kepala, ia tidak membiarkan dirinya ikut bersamanya. Padahal Melati khawatir, khawatir jika pria itu berani melukai Permata, tetapi walaupun begitu ia tidak bisa memaksa Permata. Mungkin Permata hanya ingin bicara berdua dengan dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALBIRU [END]
Teen Fiction(DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA) (Note : Mengandung bawang, menguras emosi, memutar otak, jadi bijaklah dalam membaca) Kehilangan kedua orang tua saat usia dini adalah saat-saat yang memberatkan. Ditambah ketika beranjak dewasa kakek dan nenekn...