49. Penyesalan

430 31 1
                                    

"Tidak ada gunanya kamu menangis, tidak ada gunanya kamu bersedih, dan tidak ada gunanya juga kamu menyesal. Dia kini sudah pergi, lalu apa lagi yang ingin diharapkan?"

"Kehilangan yang paling menyakitkan adalah ketika kamu merasakan kehilangan namun diikuti oleh kata penyesalan."

-Story of ALBIRU.

Happy reading ✨🌻

Derap langkah kaki yang menggema terdengar begitu menyayat. Bersamaan dengan langkah kaki yang melangkah, begitu banyak harap dan do'a yang tidak hentinya terucap. Air matanya kembali merembas namun tidak diikuti oleh isakannya, rupanya gadis malang itu sudah lelah untuk menangis, yang ada dimatanya hanyalah sirat kekosongan dengan beribu harapan.

Langkah terakhirnya berhenti di dekat ruangan yang disebutkan oleh temannya tadi. Ia mengedarkan penglihatannya, hatinya tersayat kala melihat orang-orang yang berada di sana tengah menangis keras seolah menyiratkan kesedihan yang mendalam. Gadis itu menoleh ke pria yang bernama Dermaga, pria itu tengah bersandar di dinding dengan tatapan kosong. Terlihat matanya memerah, sudah ditebak pria itu tengah menahan tangisnya mati-matian.

Gadis itu menggelengkan kepalanya. Firasatnya kini menjadi buruk, tidak jangan sekarang gadis itu mohon.

"Permata!" Vania datang menghampiri gadis yang melamun itu dan dengan cepat memeluknya kemudian menangis.

Permata masih geming. Tatapannya kosong, ia tidak bisa memprediksi apa yang terjadi saat ini lebih tepatnya takut.

Vania meleraikan pelukannya. Bibirnya terisak, gadis itu mengusap hidungnya yang memerah dan keluar cairan tentunya dengan wajah yang masih menangis.

"Di mana Berlian?" Selang beberapa menit Permata tersadar.
Mendengar nama Berlian, entah mengapa Vania menangis kembali membuat Permata bingung.

"B-berlian ... Berlian ... udah nggak ada Permata ...." Vania kembali menangis menyisahkan Permata yang mematung.

Bukannya menangis gadis itu malah terkekeh. Namun, kekehannya terdengar begitu pilu.

"Lo bercanda kan? Vania, gue nggak suka dibohongi."

Vania menggelengkan kepalanya keras.

"Tentang kematian Berlian apa gue bakal dijadiin bahan bercandaan?"

Sial, mata Permata menjadi memanas. Matanya memburam, hatinya perih seperti luka goresan yang disiram oleh alkohol. Sesak, sakit, perih, tercabik-cabik, pedih, semuanya terkumpul menjadi satu menyerang hati Permata dan menghantamnya keras secara bertubi-tubi.

Tak banyak kata, Permata melangkahkan kakinya untuk masuk ke ruangan. Gadis itu masih tidak menangis, hanya matanya saja yang kini sudah memburam.

Permata membuka pintunya dengan jiwanya yang kini sudah melayang. Menatap nanar pria yang terbujur kaku di atas ranjang dengan kedua orang tuanya yang terus memintanya bangun. Setitik air mata lolos dari sudut mata Permata.

Dengan derap kaki yang terdengar menyayat hati, gadis itu melangkahkan kakinya mendekat ke orang yang ia cintai sekaligus sakiti. Ia berdiri mematung tidak jauh dari ranjang Berlian.

"BERLIAN BANGUN! SAYANG BANGUN!! JANGAN TINGGALIN BUNDA SAYANG JANGAN!!!"

"Tenang Mentari tenang. Ikhlaskan Mentari Ikhlaskan, Berlian udah tenang ... Berlian udah tenang ...."

Mentari menggeleng kembali sembari menangis keras, "BERLIAN CUMA LAGI TIDUR MAS. SEBENTAR LAGI DIA PASTI BANGUN, ANAK KITA CUMA TIDUR MAS DIA PASTI BANGUN!"

ALBIRU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang