41. Masih Menjauh

181 22 0
                                    

Happy reading ✨🌻

Mentari melipat tangannya di depan dada dan bermuka kesal saat melihat Berlian tengah menyengir di depannya dengan seragam lengkap sekolahnya. Cowok itu memutuskan untuk sekolah hari ini, padahal ia harus beristirahat.

Beberapa menit yang lalu Berlian menyuruh salah satu pembantunya untuk membawakannya seragam sekolah ke rumah sakit dan tentu tanpa sepengetahuan Mentari. Awalnya pembantu itu menolak, tapi Berlian terus membujuknya sampai ia luluh.

Berlian merasa dirinya baik-baik saja. Kedua tangannya pun hanya luka biasa yang tidak perlu dipikirkan. Dari pada ia merasa bosan di ruangan ini lebih baik ia pergi ke sekolah bertemu dengan teman-temannya dan juga—Permata. Yah, meskipun gadis itu masih marah dengannya, tapi Berlian tidak akan menyerah. Ia akan menjelaskan semuanya berhubungan ingatannya sudah kembali lagi.

"Anak nakal. Udah Bunda bilang kamu jangan sekolah hari ini," omel Mentari bersedekap dada.

Berlian mendesah pelan, "Berlian baik-baik aja bund. Lihat wajah Berlian udah seger dan ganteng. Eh, Berlian emang selalu ganteng sih kaya Angga Aldi Yunanda haha." Berlian tergelak dengan perkataannya sendiri.

"Kamu itu sekali-kali nurut sama Bunda. Lihat tangan kamu, masih luka basah gitu." Mentari mengedikkan dagunya ke arah tangan Berlian yang diperban dan menampakkan sedikit bagian berwarna merah. Darah Berlian menembus sedikit dibagian permukaan putih perban itu.

Berlian melihat kedua tangannya, "Alah Bund. Cuma luka kecil biasa, Berlian kan jagoan." Berlian menaik-turunkan alisnya seraya tersenyum tengil.

Mentari menghela napas. Berdebat dengan Berlian tidak ada habisnya, maka dari itu ia memutuskan untuk mengalah.

"Yaudah kamu boleh berangkat."

"Yes—"

"Tapi, kamu janji sama Bunda, kamu jangan lakuin hal-hal yang berat di sekolah. Ingat!" putus Mentari.

Berlian melakukan gerakan hormat, "Siap 1945 komandan!"

Mentari terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia mencium dahi Berlian dan mengusap pipinya.

"Semangat sekolah ya sayang. Jaga diri baik-baik."

"Iya Bund. Yaudah kalau gitu Berlian pamit ya."

Berlian menyalami tangan Mentari kemudian beranjak pergi. Mentari hanya menghela napas.

***

"Kucril." Berlian menghampiri Permata yang baru saja keluar dari mobil.

Permata menatap Berlian tidak suka, tapi alisnya menyatu saat melihat kedua tangan Berlian yang diperban. Apa yang terjadi dengan cowok itu? Ah sudahlah, Permata tidak perduli.

"Malam ini jalan yuk. Gue mau jelasin semuanya ke lo," ujar Berlian saat sudah berada di depan Permata.

Permata menaikkan alisnya dengan raut wajah dingin. Kemudian gadis itu tersenyum miring.

"Sorry, gue malas jalan sama seorang pembunuh." Permata berdecih dan beranjak pergi, tapi langkahnya berhenti saat Berlian membuka suara lagi.

"Kenapa lo percaya banget kalau gue pembunuhnya?" tanya Berlian melihat punggung Permata sendu.

Permata memiringkan wajahnya sedikit menoleh ke belakang, "Karena lo ada di sana dengan kedua tangan kotor lo yang megang pisau," tekan Permata kemudian beranjak pergi meninggalkan Berlian yang mengembuskan napas sabar.

"Woy Jin Iprit!" Berlian menoleh saat Badai memanggilnya.

"Ebuset tangan lo kenapa?" Badai memegang tangan Berlian tidak santai membuat Berlian meringis sakit.

ALBIRU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang