Tiga Puluh Enam

21 19 13
                                    

A.N: ini full lanjutan dari part sebelumnya, hehe.
.
.
.

Menyerah mendapatkan hatimu? Tentu tidak. Banyak jalan menanti, dan kamu akan takluk padaku.
Dika Wijayandra

Rely masih gelisah dengan ancaman Aras. Ia tidak mungkin tidak berbicara kepada sahabatnya, walau hanya lewat chat yang dilarang. Sudah pasti memengaruhi kehidupan nyata juga.

Tanpa mereka berdua sadari, seseorang tiba-tiba mendekati. Orang itu membawa berlembar-lembar uang, entah dari mana.

"Permisi, mana yang bernama Aras?" tanya orang itu. Suara beratnya mengagetkan Rely. Spontan ia menunjuk kursi sebelah yang ditempati oleh sahabatnya.

Aras yang merasa dipanggil langsung melepas headset-nya, dan menjawab. "Anda memanggil saya, Pak?" tanyanya.

Orang itu—yang ternyata pria pendamping supir—mengangguk. Ia mengulurkan tangannya. "Sudah bayar ongkos?"

Aras mengernyit tanda bingung,dan merasa ada yang janggal.

"Ehm ... maaf? Bukannya bus ini gratis untuk anak sekolah, Pak?" tanyanya.

Pria itu menggeleng. "Khusus hari ini, semua penumpang wajib bayar ongkos." Ia menjawab dengan tangan yang masih mengulur, bermaksud menagih uang.

Aras mengangguk sekilas, lalu merogoh saku roknya. Tiba-tiba mimiknya berubah pias. Ia baru sadar, kalau sisa uang jajannya telah habis untuk membeli batagor untuk teman membaca buku di taman.

"Kenapa? Tidak punya uang?" tanya pria itu lagi.

Aras dengan terpaksa—sekaligus malu—menganggukkan kepala. Pria itu spontan berdecak dan menggeleng. "Anda bisa turun sekarang, Aras."

Aras terkejut, pupil matanya sejenak membesar. Spontan menoleh ke jendela, dan melihat jalanan yang tidak dikenalnya. Tidak ada siapapun, terlalu sepi.

"T-tapi ... saya masih jauh. Boleh besok saja ba—"

"Tidak ada penolakan. Tidak ada uang, harus turun sekarang."

Nyali Aras menciut melihat wajah pria di depannya yang terlalu serius. Auranya mencekam, seolah ucapannya adalah perintah. Dengan sangat terpaksa, ia menghentikan bus, dan turun di sebuah halte.

Sedangkan Rely? Ia sibuk memainkan game online, hingga tak menyadari perdebatan singkat Aras dan pria itu. Nampaknya, hanya Aras sendiri yang diusir karena tidak bayar ongkos.

Kini ia duduk di halte. Jalanan yang sangat sepi membuatnya sedikit ketakutan. Netranya menyelisik berusaha mengenali jalanan di hadapannya, tapi tetap saja ia tak mengenalinya. Kebiasaannya membaca buku saat sedang berangkat dan pulang tanpa melihat sekeliling, membuatnya merasa jera.

Duduk dan berdiam diri, tak bisa berbuat apa-apa. Mendesah pasrah, dan menunggu nasib baik, yang saat ini hanya bisa ia lakukan.

Dengan kaki yang berayun, beberapa kerikil terlempar pelan ke sembarang arah, membuat Aras tertawa pelan. Merasa terhibur dengan kegiatan absurd-nya, ia menendang banyak kerikil lagi dan lagi. Alhasil, mereka terlempar dan membuat lingkungan halte menjadi berantakan. Namun, ia tak peduli.

For You:Please Come Back (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang