Lima Puluh Lima (SELESAI)

14 0 0
                                    

Salah satu cara keluar dari suatu siklus rumit adalah jujur, memvalidasi perasaan dan mengakui semuanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Salah satu cara keluar dari suatu siklus rumit adalah jujur, memvalidasi perasaan dan mengakui semuanya. Jika itu semua sudah dilakukan, balasan setimpal akan muncul. Akhirnya, situasi menyesakkan ini berakhir.
Aras Oktarlyn

Aras Oktarlyn
Dika, kita ketemuan di Kota tua, siang ini.

Mendesah pelan, jemari terangkat begitu selesai mengetikkan pesan. Ia menaruh handphone tanpa mengembalikannya ke beranda lebih dulu. Semangat Aras menghilang pagi ini, terlalu banyak peristiwa di awal bulan yang membuatnya emosional.

Aras menjatuhkan badan ke meja, lemas, membiarkan lelah dan emosi sedih menguasai diri. Begitu berkedip, air mata lolos keluar dari pertahanan. Ia kembali bangkit menyeka air mata. Pagi ini jangan diawali dengan sedih.

Terdengar ketukan pintu dari luar, dibuka oleh Bagas, adiknya. Bagas membawa nampan berisi roti bakar dan susu, lalu menaruhnya di meja depan kakaknya.

"Kata ibu, lo sakit, Kak," ucapnya. "Sakit apa kak? Sampai loyo begitu."

"Keliatan banget ya, kalau gue begini?" Aras terkekeh, mengambil roti bakar dan memakannya. "Gue gak sakit, cuma ... banyak pikiran aja."

Satu alis Bagas terangkat, "lo mikirin bang Dika sampai segitunya, Kak?"

"Eh? Dari mana lo tahu?" Sang kakak menghentikan kunyahan di mulut, memicingkan mata pada Bagas. "Ibu tahu gak?"

"Enggak, tenang aja," jawab Bagas santai. "Semenjak lo kenal bang Dika, lo jadi begini, padahal dulu enggak. Jadi gue ambil kesimpulan kalau akhir-akhir ini, dia lagi penyebabnya."

Aras terkekeh, mendorong pelan tubuh adiknya. "Sok tau lo."

"Tapi bener fakta, kan?" tebak Bagas, telak membuat Aras membisu. "Gini-gini juga gue paham tentang cinta. Daripada lo, udah jomblo 12 tahun, bego soal cinta pula. Katanya pinter."

"Heh, jaga mulut lo ya!" Aras menoyor kepala Bagas agak keras, adiknya terhuyung lalu tertawa kencang.

"Gue kan lulusan S3 pakar percintaan," kelakarnya.

"Tapi lo jomblo."

"Woy!" Gantian Bagas yang menjitak kepala Aras. Sang kakak bersungut kesal, tapi digantikan tawa dengan adiknya.

Cukup lama tawa yang mereka keluarkan, bermenit-menit. Hingga Aras mengakhiri tawa lebih dulu, disusul adiknya.

"Kalau soal ginian ya Kak, yang penting itu jujur," cetus Bagas tiba-tiba. "Mau lo nerima perasaan dia atau enggak, jujur. Jangan sampai lo juga cinta dia, tapi lo malah nolak dia. Sama aja memperumit diri sendiri. Paham, Kak?"

For You:Please Come Back (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang