Tiga Puluh Sembilan

24 20 9
                                    

Note : jangan lupa baca Author Note di bawah(・∀・)

Sungguh, rindu terhadap kampung halaman itu tak bisa dibandingkan dengan rindu terhadap pujaan hati.
Aras Oktarlyn

Ternyata lumayan indah pemandangan Jakarta kalau sedang dalam perjalanan jauh. Hiruk pikuk kota dan macetnya kendaraan, entah kenapa menimbulkan ciri khas tersendiri untuk ibukota Indonesia ini. Terkadang ada sekelebat pemandangan sawah dan kebun yang tersembunyi dari padatnya kehidupan kota.

Itu yang Aras pikirkan dan ucapkan dalam benaknya. Netranya tak henti-henti memandang keluar lewat kaca mobil, di bangku tengah.

"Bu, saya belum tahu lokasi SMA Pisces. Memang itu di mana?" tanyanya pada Bu Rani yang ada di bangku depan, dengan tatapan masih berpaku pada pemandangan di luar.

"Di Kebumen, Aras. Menyenangkan bukan bisa sekolah di kampung halaman sendiri?" jawab Bu Rani sambil menyunggingkan senyum.

Aras tertegun.

Kebumen? Apakah ini mimpi? Ia benar-benar sekolah di kampung halamannya sendiri, walau hanya 2 bulan.

Ini sungguh mengejutkan!

Pantes aja ibu mau ngerelain gue sekolah di tempat orang, gak taunya ke kampung halaman gue sendiri. Duh ... pengen nangis saking bahagianya ....

"Aras, ayo turun. Kita sholat Dzuhur dan beristirahat dulu." Ajakan Bu Rani berhasil membuyarkan lamunan Aras. Mengangguk, langsung mengambil mukena dan keluar dari mobil.

Begitu keluar, terlihat sebuah masjid besar yang dulu pernah disinggahinya untuk beristirahat, tapi lupa nama dan lokasinya. Ia mengecek lokasi di perangkat handphone-nya, dan ternyata sekarang berada di kota Brebes, Jawa Tengah.

Aras menginjak kaki di masjid itu, menaruh mukenanya di dalam masjid. Bergegas ia mengambil wudhu dan menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim. Bu Rani juga demikian, hanya saja ia lebih dulu selesai.

Setelah itu, Bu Rani mengajak Aras untuk makan siang di teras masjid. Aras kembali lagi ke mobil, menyimpan mukena dan mengambil bekal makanannya. Ia membuka kotak bekal, dan terhidang nasi goreng spesial buatan ibunya. Di sebelah nasi goreng, ada tempat kosong yang biasanya diisi oleh makanan lain, kini terisi sebuah surat yang telah dilipat sampai sangat kecil. Dibukanya surat itu dan dibacanya.

Kalau kamu makan bekal ini, berarti kamu sedang istirahat dan sholat Dzuhur. Ayo makan nasi goreng ini, Aras. Ibu membuatnya bersama Dika tadi pagi sebelum kamu bangun.

Hah?

Tolong katakan kepada Aras kalau surat itu hanya halusinasinya semata. Ia benar-benar tak percaya kalau Dika datang pagi-pagi buta sebelum dirinya bangun, lalu membantu sang ibu untuk membuat nasi goreng yang sedang ia lihat ini.

"Masa sih nasi goreng ini buatan Dika juga?" Aras bermonolog, membuat Bu Rani menolehkan pandangan kepadanya. Namun untunglah nasib baik berpihak padanya, membuat Bu Rani tidak mengatakan apapun dan kembali makan.

Kalau buatan Dika, gue sangsi mau makannya juga. Tapi ... gak tega juga karena ibu sama Dika udah susah-susah buat ini.

Aras bimbang, antara ingin makan nasi goreng ini karena lapar dan tidak enak hati, dan malas untuk memakannya karena ini buatan Dika.

Makan aja deh, kasian udah buat susah-susah tapi gak dimakan, putus Aras pasrah. Ia pun memakan nasi goreng itu. Ternyata nikmat juga.

Beberapa saat kemudian, Aras dan yang lain bersiap untuk kembali menempuh perjalanan. Waktu istirahat yang cukup membuat semua merasa bugar kembali.

For You:Please Come Back (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang