Tiga Puluh Tujuh

27 18 6
                                    

Sekuat-kuatnya ikatan cinta, dapat diputus dengan mudah oleh takdir. Begitu juga apabila dua orang berusaha saling melupakan. Kalau takdir menginginkan mereka bersatu, cepat atau lambat, hal itu akan terjadi.
Melinda Maulina

Aras menatap kamar dengan pandangan bosan. Sudah 3 hari ia melewatkan sekolah karena kecelakaan tempo lalu. Terdapat jahitan yang dalam di dahi, dan luka memar di kedua siku serta lutut yang tak kunjung sembuh.

Saat Aras dan Dika kecelakaan, banyak orang mengerubungi dan membawa mereka ke rumah sakit terdekat. Salah satu saksi yang mengantarkan menelpon ibu Aras dan bunda Dika agar segera ke sana. Saat kedua ibu itu datang, para saksi pun pergi.

Anna merasa terpukul atas kecelakaan yang menimpa anaknya, menjadikannya sempat berseteru singkat dengan bunda Dika. Anna merasa bahwa Dika lah dalang dibalik kecelakaan anaknya, walau sebenarnya benar, tapi tak sepenuhnya salah Dika. Aras turut andil dalam hal ini. Sampai pada satu perawat lewat dan menegur mereka, baru mereka mau berdamai.

Kata Anna—saat Aras bertanya tentang keadaan Dika, Dika Baik-baik saja. Hanya sedikit lecet dan memar yang tak perlu perawatan lebih. Ia bisa langsung sekolah setelah keluar dari rumah sakit. Berbanding terbalik dengan Aras.

"Ibu ... kapan Aras sekolah? Aras bosan di rumah terus." Aras bertanya sambil mengeluh, betapa ia merindukan sekolah. Merindukan Rely dan Asya.

Anna yang kebetulan melewati kamar Aras, mendekati anaknya. Ia lalu duduk di pinggir kasur milik anaknya. "Kamu harus sembuh total, jadi belum boleh membebani pikiran dengan pelajaran," jawabnya sambil mengelus kepala Aras dengan penuh kasih sayang.

"Kalau gitu, Aras boleh ke perpustakaan kota, enggak? Di sana kan, Aras cuma baca buku, gak perlu mikir," tanya Aras lagi. Kali ini ia ingin permintaannya dipenuhi oleh ibunya.

Anna yang mendengar permintaan Aras, seketika mengerutkan dahi. "Lho, bukannya di rumah kita juga sudah ada perpustakaan? Kenapa gak di sana aja?"

"Aras udah berkali-kali ke sana dalam keadaan seperti ini. Aras bosan, pengen ke perpus kota. Siapa tahu ada buku baru di sana," keluhnya.

Mendengar keluhan dan rajukan dari anaknya membuat Anna tak tega untuk terus mengekang Aras di rumah. Ia pun mengizinkan, yang tentu dibalas dengan sukacita oleh anaknya.

"Makasih, Ibu!" Pekiknya gembira sambil memeluk Anna.

"Tapi, kalau nanti ketemu teman-temanmu yang lain, bagaimana? Apa kamu gak malu?" tanya Anna dengan senyum meledek.

Aras menggeleng tegas disertai tawa ringan. "Enggak, Bu. Sakit kan bukan berarti gak boleh keluar rumah," balasnya sambil tersenyum manis.

Dengan gemas Anna mengacak-acak rambut Aras, yang membuat si empunya rambut kesal, lalu tertawa lepas.

"Baiklah kalau kamu mau ke perpustakaan. Hati-hati dengan lukanya, jangan sampai tergores apapun. Oke?" Anna memberi simbol 'OK' dengan tangannya kepada Aras. Ia lalu ke luar kamar, meninggalkan anaknya.

"Oke, Ibu!"

***

Suasana perpustakaan kota yang sepi dan bau buku yang khas, membuat para pecinta buku rela berlama-lama di sana, hanya untuk membaca beberapa buku. Ditambah apabila posisi kita tepat di samping jendela, akan nampak padatnya pemandangan kota yang memperindah suasana.

Dan keindahan dan kenyamanan itu juga didapatkan oleh Aras. Saat ini Aras tengah fokus membaca sebuah novel horror, novel yang selalu membuat mood-nya membaik.

Lalu, saat ia membaca scene sebuah penampakan yang muncul di sudut ruangan kamar si tokoh, Aras terkejut. Ia melihat wajah Dika yang sedang tersenyum terpampang jelas di buku yang sedang dibacanya. Berusaha menepiskan wajah itu, ia menggeleng pelan dan menutup mata. Namun bukannya hilang, bayangan tentang wajah Dika justru semakin jelas.

For You:Please Come Back (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang