Melihat sahabat yang lama tak jumpa dan dia masih mengingat kita adalah anugerah terindah dari alam semesta.
RizaJam terakhir di kelas 12 MIPA 1 adalah bahasa Jawa, membuat Aras bengong dari awal sampai akhir pelajaran. Ia benar-benar tidak paham. Namun karena tak ingin ditertawai oleh teman sekelas, ia berlagak pura-pura paham dengan materinya. Baginya, pelajaran fisika, kimia, dan matematika lebih mudah dari ini.
Susah payah Alfina menahan tawa saat melihat ekspresi Aras yang kebingungan. Ia tahu kalau sikapnya salah. Namun karena mereka berdua sudah sangat akrab walau baru satu hari bertemu, tak ada kata sungkan di antara mereka.
Bel pulang berbunyi. Akhirnya, inilah yang Aras tunggu, cepat pulang dan menikmati suasana rumah yang asri, dan meminta Riza untuk mengajaknya mengelilingi kampung halaman.
Semua murid membereskan alat tulisnya masing-masing, dan berjalan ke luar dengan tertib. Aras keluar paling akhir, untuk menghindari desakan. Langkah kakinya menuju kelas sebelah, kelas Riza.
Dilihat dari luar kelas, ada Riza yang sedang membereskan buku guru. Setelah itu, ia ke luar kelas. Senyumnya terbit begitu melihat ada Aras di luar kelas.
"Balik?" tanya Riza.
Aras mengangguk. "Nanti kita keliling désa dan kota, yuk! Gue udah lama lupa sama daerah sendiri," ucapnya sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
Riza tertawa, dan mengangguk. "Tenang bae, tanpa disuruh pun aku bakal ngajak kamu jalan-jalan."
Riza mengajak Aras untuk ke parkiran. Ia mengambil sepedanya dan menaikinya. "Yuk, pulang."
Aras tertawa pelan sambil menaiki sepedanya. Dirasa posisinya sudah pas, ia memberitahu Dika.
"Berangkat!!!"
***
Terlihat banyak sepeda berlalu lalang di jalan kota karena siswa yang pulang dari sekolah. Sepeda Riza salah satunya.
Aras melihat berbagai siswa yang mengendarai sepeda. Mereka semua tak membonceng siapapun, hanya Riza yang membonceng seseorang yang tak lain adalah dirinya. Ia merasa malu karena jadi satu-satunya siswa yang tidak bersepeda.
"Za, kok semua siswa pada naik sepeda sendiri-sendiri, ya? Gak ada yang ngebonceng, gitu?" tanyanya dengan mata yang masih menelusuri jalanan.
Riza menggeleng pelan. "Enggak, Aras, semua orang di sini bisa bersepeda."
Aras tertegun. Rasa malu makin menjadi mengingat dirinya tak bisa bersepeda. Kalau begini kasusnya, ia harus cepat-cepat berlatih sepeda agar tak merepotkan Riza.
"Oke, gue mau belajar sepeda," ucapnya mantap.
Mendengar pernyataan Aras, Riza mengerem mendadak. Untung saja tidak jatuh dan posisi mereka kini di pinggir jalan. Benak Riza dipenuhi tanda tanya. Ia menoleh kepada Aras.
"Kenapa kamu tiba-tiba mau belajar sepeda?" tanyanya. Ia tahu kalau Aras tidak bisa bersepeda. Namun pernyataan cewek itu membuatnya terkejut.
"Biar gue gak terus-terusan dibonceng sama lo, Riza," jawab Aras pelan.
Spontan Riza merasa tersinggung. "Memangnya kenapa kalau kamu diboncengi sama aku? Risih ya?"
"Enggak! Gak gitu maksudnya!" Aras menggeleng sambil menggerakkan kedua tangan membentuk simbol silang. "Gue gak mau ngerepotin lo terus. Siapa tahu di rumah Mbah atau Budhe ada sepeda, jadi gue bisa latihan. Gue gak enak kalau terus-terusan minta boncengan dari lo."
Ekspresi Dika melunak. Kini ia paham apa yang dimaksud oleh Aras.
"Owalah ... kaya kuwé, tho. Tenang bae, Ras, aku ra pernah merasa direpoti sama kamu. Semua ini ikhlas lahir batin."
KAMU SEDANG MEMBACA
For You:Please Come Back (TAMAT)
TienerfictieSesal dulu sependapat, sesal kemudian tiada guna. Itulah yang dirasakan Aras Oktarlyn, seorang gadis yang telah menyia-nyiakan seorang lelaki yang mencintainya dengan tulus. Sebenarnya dia tidak bermaksud untuk menyia-nyiakannya, namun ada suatu ala...