"Assalamualaikum, Aras!"
Riza mengetuk pintu rumah. Aras yang sedang ada di kamar, mempelajari beberapa kosakata bahasa Jawa, seketika menghentikan aktivitasnya.
"Waalaikumussalam, Riza. Masuk aja! Gue di kamar!"
Riza mengangguk—walau seketika sadar kalau anggukannya tidak dapat dilihat oleh Aras. Ia memasuki rumah nenek Aras, dan duduk di kursi tamu. Di meja tamu, terlihat ada beberapa buku non-fiksi dan novel. Sembari menunggu, Riza membaca buku yang terlihat paling tipis di antara yang lain.
Begitu Riza membuka akhir halaman, ia terkejut. Buku yang terlihat 'paling tipis' itu nyatanya berisi 200 halaman, dan itu non-fiksi. Riza tertawa hambar, lalu mengembalikan buku itu ke tempatnya.
"Bisa mati aku, kalau baca buku itu," gumamnya.
Bangunan rumah yang masih tradisional—terbuat dari kayu—menampilkan daya tarik tersendiri bagi Riza. Karena, di antara rumah-rumah lain yang berdinding tembok, hanya rumah Nenek Aras yang masih mempertahankan kesan tradisional itu.
Walau begitu, nyatanya rumah ini sangat bersih. Perabotan tertata rapi, berbagai foto terpajang di dinding rumah dengan formasi yang indah. Salah satu di antara foto itu, ada foto Aras waktu kecil.
Riza menghampiri foto itu, dan mengambilnya. Untunglah letaknya tak terlalu tinggi. Setelah berhasil ambil foto, ia duduk di tempat semula.
Riza menyentuh foto itu, tersenyum. Terlihat Aras kecil berdiri, dan tertawa riang di perpustakaan. Gigi ompongnya terpampang jelas, membuat Riza tertawa pelan. Di kedua sisi, ada ayah dan ibunya, berjongkok, menjaga anaknya agar tidak terjatuh.
"Ternyata, dari kecil Aras sudah akrab dengan buku."
"Riza, lo lagi ngapain?"
Pertanyaan Aras membuat Riza terkesiap. Ia tertawa canggung, dengan tangan masih memegang foto Aras.
Namun, tawanya terhenti begitu melihat Aras. Ia pangling. Rambut Aras yang biasanya digerai, kini digelung. Anak-anak rambut yang berjatuhan di leher, menambah kesan manis bagi cewek itu. Pakaiannya sederhana, Hoodie berwarna abu-abu dan celana levis berwarna gelap, yang tidak terlalu ketat. Juga, jangan lupa dengan tas selempang yang setia menemaninya, untuk menyimpan buku. Kali ini berwarna putih.
"Riza, kok bengong?" tanya Aras lagi. Ia menghampiri Riza dan melambaikan tangan di depan wajah Riza.
"Eh?" Lamunan Riza menghilang, kesadaran kembali mengambil alih. "Aku pangling, Ras. Biasanya rambutmu digerai, saiki digelung," terangnya, sambil tertawa canggung.
Mendengar tawa Dika, Aras jadi ikut tertawa. "Perasaan biasa aja deh. Gue lagi gak mau gerah, makanya digelung."
Riza ber-oh-ria, sambil mengangguk.
Tatapan Aras mengarah ke tangan Riza. Dia terkejut, dan langsung merebut foto itu.
"E-eh? Kenapa, Ras?" tanya Riza bingung.
"Gue malu, foto gue diliatin sama lo. Lagipula, ngapain sih lo ngambil ini dari dinding?" jawab Aras, mencebik sebal.
"Gapapa, aku cuma ingin melihat fotomu." Riza tertawa pelan. "Ngomong-ngomong, kowe sing biyen, lucu juga ya?"
"Rizaaaa!!!!" Aras berteriak pelan, meninju lengan Riza. Riza segera menyingkir, dan untunglah tinju itu hanya menyentuh angin.
"Gue dulu jelek tau! Dah lah, ayo ke perpus!"
"Oke, oke."
Riza tertawa terbahak-bahak, begitu Aras mendahuluinya untuk ke luar rumah. Langkah kaki Aras sengaja dihentakkan, tanda ia masih emosi. Sikap cewek di depannya, membuat Riza gemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
For You:Please Come Back (TAMAT)
Teen FictionSesal dulu sependapat, sesal kemudian tiada guna. Itulah yang dirasakan Aras Oktarlyn, seorang gadis yang telah menyia-nyiakan seorang lelaki yang mencintainya dengan tulus. Sebenarnya dia tidak bermaksud untuk menyia-nyiakannya, namun ada suatu ala...