Empat Puluh

24 19 8
                                    

Ditolak satu kali, jangan menyerah. Ditolak dua dan tiga kali? Ayolah, ini waktu yang tepat untuk mundur.
Via Agatha Lzora

Malam hari Aras lalui dengan video call bersama keluarganya di Jakarta. Mereka sangat antusias begitu melihat Aras yang sampai rumah dengan keadaan baik-baik saja. Mereka semua berbincang banyak hal mengenai perjalanannya saat ke Kebumen.

"Kak, tadi di jalan kakak lihat apa aja?" tanya Clara di balik telepon dengan nada bicara khas anak-anak, membuat semua orang tertawa gemas.

"Ehm ... ada sawah, gedung tinggi, banyak deh, Clara. Oh ya, tadi kakak lihat kerbau tauu ... lagi bajak sawah. Dua, pula," jawab Aras disertai tawaan dari neneknya yang ada di sebelahnya.

"Hah? Kerbau? Ihhhh ... Clara pengen liatttt!!!" Terlihat Clara misuh-misuh sambil mencebik kesal, lagi-lagi mengundang tawa siapapun yang melihatnya.

"Ya udah, kamu ke sini dong. Banyak sawah dan tanaman lain yang masih asri di sini. Semua sama kayak dulu, cuma ada sedikit perubahan kecil," ucap Aras. Diangguki oleh neneknya.

"Aras ... boleh Mbah pinjem hp-mu sebentar? Mbah mau bicara dulu sama ibu kamu," pinta nenek Aras yang diiyakan oleh cucunya. Aras memberikan handphone miliknya kepada sang nenek, dan mengundurkan diri agar neneknya memiliki ruang untuk melepas rindu dengan anaknya.

"Anna ... kepriwe kabare?" tanya nenek Aras dengan perasaan bahagia yang membuncah di hati.

"Anna sae, Bu. Ibu pripun, kan?" tanya Anna balik.

"Iya, Ibu waras slamet, Nduk, sehat wal afiat." Nenek Aras tersenyum begitu mendengar kabar baik dari anaknya.

"Alhamdulillah kalau begitu, Bu. Ibu, Anna minta tolong, jaga Aras baik-baik, ya."

Sang nenek tertawa pelan saat mendengar permintaan anaknya. "Tenang bae, nang kene Aras ra bakal nangapa-nangapa. Masa putune dhewek ra diopeni, sih?" Lalu ia tertawa kembali.

Mendengar suara tawa ibunya membuat Anna ikut tertawa juga. "Nggih, Bu, matursuwun. Anna matikan dulu teleponnya. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam," jawab sang nenek, dan video call dihentikan.

Aras yang melihat percakapan antara ibu dan neneknya yang sudah berhenti langsung meminta kembali handphone miliknya. Bukannya apa, hanya saja neneknya itu paham mengenai handphone. Bisa-bisa nanti isi chat WhatsApp nya dibongkar habis-habisan olehnya.

"Aras ... Sesuk sekolah, kan? Ndang turu, ben sesuk ora kawanen," titah neneknya yang langsung diangguki Aras. Jam dinding menunjukkan pukul 21.00 WIB, jadi sudah sepatutnya ia tidur.

***

Alarm alami bumi-ayam berkokok milik neneknya-sukses membangunkan Aras yang biasanya sangat susah untuk dibangunkan. Mungkin karena faktor di rumah orang menjadikannya harus lebih disiplin dari biasanya.

Ia membuka jendela kamar, dan terciumlah aroma pedesaan yang sangat sejuk. Yup, kampung halaman Aras terletak di sebuah desa yang masih sangat Asri, tapi letaknya tak terlalu jauh dengan perkotaan.

Jam di nakas kayu di samping kanan kasurnya menunjukkan pukul 05.00 pagi. Tanpa menunggu lama, ia langsung beranjak menuju kamar mandi dan membersihan tubuhnya.

Kamar mandi di sini sama saja dengan di rumah Aras, hanya saja tidak ada alat-alat modern yang mendukung. Cukup sumur, wc, dan bak dari kayu, dan gayung yang terbuat dan batok kelapa.

For You:Please Come Back (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang