Tiga puluh satu

45 23 7
                                    

Kasih tips move on dalam waktu 1 menit dong, butuh nih!
Aras Oktarlyn

Gimana cara biar cepet move on?

Kenapa sih harus ada yang namanya perasaan?

Kira-kira, move on itu butuh waktu berapa lama, ya?

Gue harap, move on itu bukan suatu hal yang sulit. Semoga.

Perasaan gue udah nyoba berbagai cara buat move on, deh. Kenapa sampai sekarang gue masih keinget Dika?

Move on. Hanya dua kata namun awet bersarang di otak Aras. Entah mengapa tiba-tiba perasaannya mengatakan bahwa ia harus melupakan cowok ganteng itu.

Diawali mencari definisi move on dari berbagai sumber, melakukan riset pada orang di sekitarnya, mencari cara terrrmudah untuk move on dari YouTube, hingga masih banyak lagi usaha yang telah Aras lakukan.

Tapi sayangnya, rasa yang diberikan Dika masih membekas dengan tebal di hati Aras.

Berhari-hari ia menjauhi Dika hanya untuk bisa melupakan cowok itu. Tapi apa yang Aras ekspektasikan sangat berbanding terbalik dengan kenyataan. Ekspektasinya ia bisa kembali akrab dengan Dika hanya dengan embel-embel teman, tanpa perasaan yang lancang ikut campur. Tapi ternyata? Setiap melihat Dika, bahkan dari kejauhan dan Dika membelakanginya, hati Aras dag-dig-dug tidak karuan.

"Aargghhh!!! Kenapa sih gue jatuh cinta di waktu sekolah? Ngeselin tau!"

Aras mengerang frustasi. Semua benda yang ada di dekatnya ia banting—kecuali buku dan handphone. Ia sangat frustasi dengan perasaannya sendiri. Sungguh, sebelumnya belum pernah ia merasa sebingung ini.

Baginya, lebih baik dihadapkan rumus matematika, fisika, dan kimia dalam satu waktu, dibandingkan dihadapi rumitnya cinta.

Benda-benda yang ia banting tadi, segera dibereskan. Tangannya tanpa sengaja menyentuh pecahan kaca hasil bantingan tadi, dan mengeluarkan darah yang lumayan banyak.

"Astaghfirullahh, harus cari P3K!" pekiknya panik. Langkah kaki menuntunnya ke kotak P3K di kamarnya. Tangan yang tak terluka mengambil obat merah dan mengobati tangan yang terluka.

"Aw! Pelan-pelan, dong!" Aras mengaduh sambil mengomeli dirinya sendiri.

"Kenapa sih gue tadi pake acara banting-bantingan segala? Astaghfirullahh."

Akhirnya, tangannya telah selesai terobati.

"Gue kapok ah main banting-banting barang."

***

Di sisi lain Dika duduk sendiri di taman belakang rumahnya. Ia tampak asyik memandang foto Aras di handphone-nya yang ia ambil diam-diam.

"Aras cantik, gue jadi cinta."

"Tapi kenapa dia nolak gue?"

Tiba-tiba air mata menetes di mata Dika. Mengalir melalui pipi tanpa diseka. Hatinya hancur saat Aras menolaknya secara terang-terangan.

"ngapain pula lo halu begitu, kita kan cuma temen. Dari dulu sampai sekarang. Inget itu."

Setitik air mata kembali hadir di mata Dika ketika mengingat ucapan Aras saat itu.

"Kenapa Aras nolak gue? Padahal gue kan, ganteng," ucapnya sambil menyeka air matanya. Malu kalau dilihat orang lain. Apalagi ini gara-gara cewek.

Tiba-tiba aktivitas menyeka air mata terhenti. Dika kembali memikirkan kalimat yang diucapkan Aras, namun berusaha untuk tidak sedih. Ia mencerna kata demi kata karena merasa ada yang janggal. Dan senyum pun terbit di wajah Dika, menggantikan air mata.

Masih tersenyum, dia bergumam, "lagi itu kan, Aras bilang kalau gue sama dia cuma temen dari dulu sampai sekarang. Jadi, kalau suatu hari nanti gue bisa dong jadi pacarnya Aras?"

"Yes! Masih ada harapan!!"

Dika bersorak girang. Tangannya diangkat-angkat ke atas seperti orang yang sedang menonton konser. Ia lalu berjoged goyang mamah muda, dan goyang ubur-ubur. Entah darimana ia mengetahui gaya-gaya tersebut.

***

Pagi hari di sekolah. Aras terlihat sedang membaca buku—namun dengan ekspresi sedih. Tidak biasanya ia seperti itu. Pasalnya, setiap Aras membaca buku, pasti mood Aras bertambah baik dan selalu tersenyum.

"Aras, lo kenapa sih manyun gitu? Lama-lama jadi Bimoli, loh!"

"Emang Bimoli tuh apaan, Rely?"

"Bibir monyong lima senti."

Salsa tergelak. Ia tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Rely. Rely yang melihat Salsa seketika bingung, kenapa salsa tertawa? Padahal ia rasa ia tidak sedang melawak.

"Asya kemana?" tanya Aras berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Dia sakit, Aras. Lo tadi gak merhatiin guru pas absen, apa?" Rely menghela nafas gusar. Firasatnya mengatakan Aras sedang tidak baik-baik saja. Tidak biasanya Aras melamun saat pelajaran berlanggsung.

"Oh," balas Aras singkat.

Mendengarnya, Rely menggeram. "Ni anak belum ngerasain rasanya dibacok pake sejuta kerinduan deh, kayaknya."

Salsa yang menyimak seketika menahan tawa saat mendengar ucapan Rely.

"Udah-udah, jangan buat kelas jadi ring tinju." Salsa melerai, namun tawanya masih tak berhenti. "Mending lo curhat sama masakan lo saat ini," lanjutnya.

"Masalah," ralat Rely. "Typo merusak martabak."

"Martabat."

Lagi-lagi Salsa tertawa, namun kini disusul oleh Rely.

Mendengar ucapan Rely tentang martabak, Aras semakin sedih. Tiba-tiba dia teringat momen dimana ia dibelikan martabak oleh Dika.

Rely yang menyadari perubahan Aras menghentikan tawanya.

"Aras kok makin sedih, sih? Kan kita mencoba untuk menghibur," ucap Rely.

"Iya tuh, bener," dukung Salsa.

Ya niat kalian emang baik, tapi bukannya menghibur, malah bikin gue tambah terpukul, jawab Aras dalam hati.

"Gue gak lagi sedih, gue cuma lagi akting sedih."

Aras tersenyum palsu, namun terlihat sangat asli di mata sahabatnya.

"Ohh ... gitu ya. Gue kira lo sedih beneran," ucap Rely lega. Ternyata firasatnya tidak benar.

"Iya tuh, syukur deh kalau akting mah." Salsa pun ikut menghela nafas lega.

Dalam lubuk hatinya, hati Aras kembali sakit.

Maaf gue harus bilang pura-pura sedih, gue gak mau ngerepotin kalian.
_________________________________________

To be continued.

Mau cepet update? Ayo semangatin aku dengan vote dan komen. 1 vote dari kalian mengandung benih-benih semangat untuk aku melanjutkan cerita ini.

For You:Please Come Back (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang